Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini, empat dasawarsa lebih sejak James L. Peacock meneliti ludruk di Surabaya. Peacock datang ke Surabaya bersama istrinya dan tinggal di Kampung Gundih sepanjang 1962–1963. Berikut petikan keterangan Peacock tentang masa itu. Melalui surat elektronik ia menjawab pertanyaan Bina Bektiati dari Tempo:
Apa latar belakang dan mengapa Anda meneliti ludruk?
Waktu itu, saya adalah mahasiswa tingkat doktoral jurusan Antropologi, Universitas Harvard. Saya ingin memahami masyarakat kalangan rakyat jelata di negara baru. Saya beberapa kali mendengar tentang ludruk. Clifford Geertz, misalnya, pernah menjelaskan itu dalam Religion of Java. Willard Hanna menilai ludruk bukan sebagai drama klasik seperti wayang kulit.
Saya ingin memahami beberapa hal, seperti bagaimana kelas pekerja melihat kehidupan di kota industri di Jawa dan Indonesia di masa Demokrasi Terpimpin. Saya juga ingin memahami hubungan saling mempengaruhi antara bentuk-bentuk simbolis atau perilaku dan masyarakat lokal. Ludruk sangat intens dibentuk sekaligus ditonton kelas pekerja di Surabaya. Dan saat itu pengaruh PKI sangat kuat, 26 dari 27 distrik di Surabaya dikuasai PKI.
Bagaimana kondisi komunitas ludruk di masa itu?
Para aktor dan penonton ludruk umumnya tinggal di kampung. Kami pun pindah tinggal di kampung, Kampung Gundih, dekat Pasar Turi.
Saat itu, kami benar-benar merasakan suasana senja Year of Living Dangerously. Kondisi ekonomi sangat buruk, ribuan orang tinggal di jalanan dan pinggiran sungai. Meskipun kemiskinan sangat parah, orang-orang Jawa sangat sopan dan menghargai orang lain. Pernikahan dan upacara rakyat lainnya pun dijalankan secara layak. Kami sering menghadiri acara-acara komunitas setempat.
Pada masa itu, Gunung Agung di Bali meletus. Debunya menyelimuti Surabaya. Beberapa hari sebelumnya, istri saya digigit anjing rabies. Untungnya, ada yang membantu mendapatkan serum antirabies. Dan ketika istri saya lumpuh pas hari gunung meletus, Machfoed, tukang becak yang mangkal di sebelah rumah, langsung membawa istri saya ke dokter.
Bagaimana Anda melakukan penelitian?
Saya mendatangi 83 pertunjukan dan mewawancarai pendukung ludruk. Mereka malah bertanya mengapa saya tertarik pada ludruk. Ada yang mengira saya waria.
Suatu hari, saya pernah ikut truk yang mengangkut rombongan pemain ludruk ke sebuah desa. Piet, seorang pelawaknya, meminta saya memakai sarung yang dia beri agar kami bisa menjadi seperti saudara.
Menurut Anda, dapatkah ludruk dipahami benar oleh orang non-Java?
Ya, untuk hal-hal tertentu; tapi humor dengan bahasa Suroboyoan sulit dipahami. Saya harus berusaha sangat keras mengerti semuanya. Istri saya, penyanyi yang dapat gelar sarjana di bidang musik dari Universitas Yale, juga bekerja keras mempelajari musik ludruk.
Untung saja, kami banyak mendapatkan bantuan dari teman-teman setempat. Maklum, dialog-dialog ludruk sangat cepat dan kompleks. Tapi kemampuan berakting dan bahasa tubuh mereka luar biasa, sehingga pesan mereka begitu jelas dipahami, bahkan oleh orang asing.
Bagaimana ludruk mencerminkan realitas sosial?
Ludruk adalah cermin akurat kehidupan masyarakat setempat dibandingkan film-film Amerika terhadap masyarakatnya. Ludruk seperti esensi dari kondisi hidup masyarakat, meskipun di pentas, para pemain melebih-lebihkannya, membuatnya sebagai bahan tertawaan atau mengubah cerita sedih menjadi komedi.
Apa yang paling unik tentang ludruk?
Humor. Dagelan-dagelan yang dipentaskan luar biasa. Para pemainnya adalah komedian berbakat alami. Saya tidak heran jika Semar disebut dewa. Seperti Semar, ludruk adalah bagian dari masyarakat bawah, tapi cara mereka bertahan hidup, sekaligus mempertahankan kesenian, merefleksikan keberanian luar biasa.
Apakah Anda berencana melanjutkan penelitian?
Pada 1996, saya kembali ke Surabaya dan mencari ludruk di THR (Taman Hiburan Rakyat) dan tempat-tempat lain, tapi semuanya sudah tak berbekas. Saya diminta mencari mereka di desa-desa. Karena gagal menemukan grup ludruk, saya dan teman makan di McDonald’s. Ya, yang dicari ludruk, yang ketemu McDonald’s.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo