Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam jatuh di Surabaya awal 1962. Di sudut-sudut kampung yang lusuh di ibu kota Jawa Timur itu ludruk membuncah. Pertunjukan rakyat yang lahir di Jombang dan berkembang pesat di Surabaya itu merupakan satu paket kesenian berisi sandiwara, tari, nyanyi, musik, dan lawak secara serempak. Setiap kelompok, selain menghibur, juga selalu menyampaikan pesan dari dan untuk penonton, kritik dengan sindiran tajam dan bahasa Jawa Timuran yang lugas.
Saat itulah, antropolog Amerika, James L. Peacock, hadir di Kota Pahlawan. Surabaya dekade 1960-an adalah sebuah kota yang tengah bergerak dalam arus modernisasi. Geliat ekonomi, pendidikan, politik, dan rekreasi telah bergeser dari kampung dan diambil alih oleh unit-unit spesialis ekstra-kampung. Peran kampung dalam kehidupan para penduduk kian susut. Itu ditandai dengan gejala menurunnya ritus-ritus dan simbol-simbol (bersih desa, danyang) yang menandai makna pentingnya kampung (atau desa) sebagai unit sosial.
Ludruk ikut tenggelam dalam kecenderungan itu. Lakon-lakon dalam ludruk tak lagi mementaskan gambaran karakter-karakter orang kampung yang homogen, seperti dalam ludruk gaya Besutan yang populer pada 1930-an. Ludruk makin mengidealisasi masyarakat ekstra-kampung yang heterogen dan menjadikan warga kampung bahan tertawaan.
Dengan gamblang, buku Ritus Modernisasi: Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia karya Peacock menggambarkan pergeseran ludruk dari seni tradisi menuju modernisasi. Dalam buku hasil penelitiannya sepanjang 1962-1963 itu, Peacock mengkontraskan ludruk sebagai ritus modernisasi dengan apa yang disebutnya selametan, ritus tradisional, pusat dari keseluruhan sistem keagamaan masyarakat Jawa.
Selametan tak diarahkan untuk mengharmonisasi masyarakat kota yang heterogen. Selametan digelar untuk mengharmonisasi masyarakat desa yang homogen. Sedangkan ludruk melakukan hal yang sama terhadap masyarakat ekstra-kampung yang heterogen.
Pengidung dalam ludruk yang waria itu men-generalisasi ide kerukunan kampung ke tingkat nasional. Ia menganjurkan dan menggambarkan harmoni di antara beragam orang dan etnis yang ada di Surabaya kepada para penduduk kampung yang homogen. Jadi, lewat pementasannya, pengidung ludruk, dalam gaya perlawanan, berupaya menggantikan ritus-ritus kampung dengan ritus-ritus nasional, masyarakat kampung dengan masyarakat nasional yang simbolis, dan kesetiaan kepada kampung dengan kesetiaan nasional.
Seperti diketahui, interaksi langsung—nyaris tak berjarak—antara pemain dan penonton adalah salah satu kekuatan ludruk. Suara penonton (rakyat) yang tak tersalurkan akan menemukan ruang. Sementara itu, improvisasi aktor secara spontan membuat suasana panggung menjadi hidup, mengalir, dan dinamis, bercorak kebebasan rakyat.
Lewat pementasannya, ludruk mengambil peranan penting dari pergeseran nilai selametan (baca: tradisional) yang semula murni berurat akar dari kampung menjadi selametan berslogan nasionalisasi. Saat partisipan ludruk (penonton dan pemain ludruk) yang notabene kaum abangan Jawa Timur sibuk di luar kampungnya, seperti di pabrik, mereka semakin sering bertemu dengan beragam orang dengan bermacam latar belakang. Di sinilah ludruk hadir sebagai ritus modern menjadi alat harmonisasi interaksi mereka.
Singkat kata, Peacock dalam bukunya ingin menyodorkan pandangan bahwa ludruk merupakan sejenis kekasaran dalam kesenian Jawa yang memang diizinkan. Ludruk yang ”kasar” juga alat pembaruan kebudayaan Jawa yang halus. Dan kita tahu, dengan cara itu ide demokrasi, pemilihan umum, koperasi, Pancasila, dan sebagainya menembus ide-ide tradisional.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo