Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

'Seni Berpameran' Dokter Lintas Batas

Pameran Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter tanpa Perbatasan tak kalah menarik dibanding pameran "seni" pada umumnya.

27 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pameran Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter tanpa Perbatasan tak kalah menarik dibanding pameran "seni" pada umumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari nahas itu, Sabtu, 3 Oktober 2015, tak akan terlupakan. Pada pukul dua dinihari, sejumlah pasien tengah beristirahat dan semua pegawai Rumah Sakit Kunduz Trauma Centre di Kota Kunduz, Afganistan, amat sibuk. Tiba-tiba terdengar suara berdesing, dan maut datang bersama suara ledakan yang memekakkan. Rumah sakit itu dibom! Pesawat-pesawat pengebom AC-130U Amerika Serikat secara brutal meluluhlantakkan tempat itu, menewaskan 42 orang, menyisakan puing-puing dan puluhan orang luka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pameran "Medicines Not Bombs" yang diadakan organisasi Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter tanpa Perbatasan di Grand Indonesia, Jakarta, pada 16-20 Mei 2018 ini memang tidak biasa. Para dokter lintas batas yang pada 1999 memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian itu menyajikan "rekaan" benda-benda nyata dari peristiwa Kunduz untuk mengingat kembali kejadian tragis tersebut. Di sebuah ruangan yang dibangun di Exhibition Hall, West Mall lantai 5 Grand Indonesia, ada sebuah penanda bertulisan huruf-huruf besar tanggal kejadian, "Saturday 03 - October 2015", di atas warna merah darah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebelahnya tergantung jam dinding bundar yang, seperti paras yang kotor, lengket dengan coreng-moreng abu. Jarum jam menunjukkan waktu lebih-kurang pukul dua. Tabung oksigen, tempat tidur pasien, dan lemari obat porak-poranda; tiang-tiang kayu penyangga bangunan hangus, patah, dan roboh. Semua jejak penyambung hidup berantakan di atas lantai yang setengah gosong. Melihat rekonstruksi itu, kita seakan-akan tengah menyaksikan kemuraman paling jauh dari karya instalasi rumah sakit seniman terkenal Amerika Serikat, Edward Kienholz, yang gemar membuat karya yang merefleksikan kepedihan rumah sakit.

Di sisi ruang muram rumah sakit "Kunduz", dengan dinding berlubang sebesar moncong rudal, kita melihat benda-benda lain. Ada sebuah kursi di pojok yang menandai ruang tunggu, seragam dokter lintas batas yang putih netral, lemari obat-obatan esensial, kereta dorong untuk pasien gawat darurat, dan foto-foto.

Beberapa foto menampilkan suasana kaos di luar rumah sakit. Rumah Sakit Malakal di Sudan Selatan diserang orang-orang bersenjata pada 18 Februari 2014. Para relawan MSF menemukan sejumlah mayat, termasuk mereka yang ditembak di atas tempat tidur. Foto baju-baju dan selimut para korban atau pasien yang berceceran di belakang mobil ambulans sangat kontras dengan jaket seragam relawan yang putih bersih. Kekontrasan itu menyedihkan. Apa yang bisa dilakukan para dokter lintas batas, yang "bersenjatakan" alat-alat medis, untuk menghadapi granat dan bom?

Karya lainnya adalah foto yang bercerita tentang Amal, seorang perempuan yang tinggal di Kota Kirkuk, bagian utara Irak. Perang sengit terjadi di wilayah itu antara pasukan Irak dan Kurdi yang baru saja berhasil mengusir kaum militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Amal semula bekerja sebagai penjahit, mengikuti jejak ibunya. Suatu ketika, pada 2014, sebuah bom mobil meledak persis di dekatnya ketika ia berada di Kota Sauk bersama neneknya. Sebagian tubuhnya dilalap api, leher dan dadanya lengket menyatu.

Keajaiban hidup dan harapan Amal tiba bersama kehadiran para dokter MSF. Organisasi kemanusiaan di bidang medis ini didirikan pada 1971 oleh para dokter dan wartawan. Mereka membangun prasarana rumah sakit dan layanan medis di seluruh dunia bagi mereka yang terkena penyakit endemis hingga para korban di wilayah perang. Tidak hanya memberikan layanan kesehatan, lembaga ini juga menyediakan bantuan psikologis dan gizi, bahkan membantu membuat jamban. Kantornya berkembang di 70 negara-termasuk di Indonesia-dan kini memiliki puluhan ribu pegawai.

Berkerudung warna biru yang cukup kontras dengan sekelilingnya, foto Amal sedikit menyingkapkan bagian punggung tangan kanannya yang terbakar. Tangan itu kini sudah kembali mampu memasukkan benang ke dalam jarum jahit. Cahaya yang datar pada foto itu tidak melenyapkan raut kegembiraan dan senyum Amal, yang sedang menatap gaun yang dibuatnya untuk sepupu kecilnya.

Foto Mohammad, gembala domba berusia 23 tahun yang tinggal di sebuah desa di Provinsi Homs, Suriah, juga memilukan. Foto yang menampilkan setengah wajah Mohammad yang terang dengan dagu diperban itu seakan-akan menjadi latar terdepan kisah korban perang pada November 2016. Mohammad tengah menggembalakan domba-dombanya ketika peluru berseliweran, menandai pertempuran antara pasukan pemerintah Suriah dan oposisi untuk mempertahankan wilayah Suriah tengah. Giginya rontok dan dagunya hancur ketika sebuah granat meledak di wajahnya. Diperlukan 35 kali operasi selama dua tahun untuk memulihkan kondisi Mohammad agar ia bisa kembali berbicara, makan, dan pulang kepada domba-dombanya. Dan, kita tahu, perang masih terus berlangsung di wilayah itu sampai sekarang.

Yang jadi soal, serangkaian foto dalam pameran itu diberi tajuk "Dokter Lintas Batas" berukuran besar yang sebenarnya malah mengganggu, karena tertera di atas citra-citra yang memang kuat. Foto dokter Lukman yang di lehernya bergantung stetoskop, misalnya. Ia sedang tidak berada di ruang unit gawat darurat pada 15 Agustus 2016 sore, ketika rumah sakit yang didukung MSF di Kota Hajjah, Yaman, hancur karena serangan udara. Di ruangan itu pula, ketika bom berjatuhan, sepasang bayi baru saja dilahirkan dan mengambil napas kehidupan pertama. Ekspresi sang dokter menunjukkan rasa penasaran dan ketidakmengertian atas peristiwa itu.

Tanpa tajuk dan logo MSF, pasti citra pada foto-foto itu menjadi lebih kuat. Semua foto dijelaskan dengan keterangan atau narasi panjang. Tapi kita tahu bahwa foto pertama-tama adalah sebuah karya, entah rekaan entah kejadian. Citra fotografis memancarkan kisahnya sendiri, sesuatu yang tak sepenuhnya terjelaskan melalui teks atau narasi.

Meski acara ini bukanlah sebuah pameran dengan label representasi "seni", apa yang kita lihat di ruang pamer menggugah. Pameran ini menunjukkan bahwa fakta-fakta atau peristiwa nyata bisa dihadirkan sebagai "seni berpameran" yang tak kalah menarik dibanding "pameran seni" yang selama ini kita saksikan. Pada masa kini, di antara keduanya sering kali hanya ada batas yang kabur. l Hendro Wiyanto, Penulis Seni Rupa

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus