Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

1977: kembali ke klasik

Komentar suka hardjana, frans haryadi, dll. tentang musik klasik. komposisi belum begitu banyak dan masih dangkal. imbalan untuk mereka kurang layak.

19 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERASNYA para pengunjung yang merebut kursi-kursi pertunjukan musik di TIM sepanjang tahun lalu, membuat prospek musik tahun 1977 cerah. Khususnya di bidang musik klasik atau kalau boleh untuk sementara kita sebut musik "serius". Banyak lomba menyanyi tidak lagi hanya menguji popularitas, tetapi juga cara menyanyi dengan teknik yang baik. Resital gitar dikunjungi beramai-ramai tanpa mengacuhkan hujan. Ini amat menarik, karena semuanya terjadi tanpa adanya pengendoran di sektor musik pop. Berbagai jenis musik itu makin lama makin menjadi bukan hanya sekedar pelampias mu. sim-musiman yang sifatnya lebih condong pada kelatahan. Di bawah ini adalah kata-kata yang keluar dari beberapa gembong musik "serius". TEMPO sengaja mengunjungi mereka, untuk mendengarkan rencana dan gagasan mereka dalam waktu yang dekat ini. Kalau ini lapangan bola maka bola sedang berada di kaki mereka, sehingga kalau kelak terjadi kemunduran lagi, akan jelas siapa sebenarnya yang salah. Mereka tidak tangkas menjawab kesempatan, atau memang publik selalu "tolol" dan "terlambat" sebagai yang selama ini mereka keluhkan. Kita 'kan sama-sama suka kalau musik yang berbobot mempunyai kehidupan yang kuat sebagai imbangan musik sampah dan musik pop. Saya optimis terhadap prospek musik klasik di Indonesia. Lihat saja, berapa jumlah calon yang masuk Akademi Musik LPKJ. Dulu cuma 15-an, sekarang sekitar 50. Lembaga-lembaga pendidikan musik lain saya rasa juga kebanjiran peminat. Sekarang diperlukan mendidik dan menambah perbendaharaan repertoar kepada masyarakat. Sejak tahun 50-an sampai kini belum banyak lagi komposisi lahir. Banyak orang yang mengaku komponis, tapi mana itu komposisinya". Kalau pop, banyak sekali. Mereka produktif. Ada yang mengaku komponis tapi nggak ada komposisinya. Nanti cari kambing hitam, nggak ada pemainnya. Wah! Bikinlah komposisi yang sesuai dengan kapasitas pemain. Pemain, jelek-jelek ada, tapi lagunya nggak ada. Tahun 1977 ini wanted komponis Indonesia". Dulu yang saya tantang pers, kenapa cuma memberitakan musik pop. Sekarang yang saya tantang kolega saya, setelah klasik memperoleh tempat di pers. Frans Haryadi, komponis. Mungkin saja di Indonesia lahir komposisi. Tapi yang menunjang kelahiran itu tidak ada. Komponisnya jadi tidak terangsang. Kenapa? orang 'kan mau hidup juga, dengan imbalan yang layak. Saya pernah diprodeokan ketika seorang musikus memainkan hasil komposisi saya. Untuk situasi Indonesia kini, kita memang tidak baik mengutamakan imbalan. Tapi kalau diprodeokan terus, ya repot. Kalau toh ada imbalan, ternyata tidak memberi semangat. Pernah juga seorang pimpinan ensembel meminta komposisi saya, tapi bezettingnya nggak cocok. Untuk dia itu saya kini tidak punya komposisi. Cobalah lihat, di tangan orang seperti Sudjasmin atau FX Sutopo masih banyak komposisi. Hanya persoalannya kemudian, apakah ada sebuah grup yang sanggup memainkannya? Dan kemudian memadaikah imbalannya? Iskandar, komponis. Kita punya OSJ - Orkes Simphony Jakarta. Tapi harus diketahui. para musisi di OSJ tidak semuanya lulusan akademi musik, jadi jelas para konduktor akan mengalami kesulitan. Bergantian, sejak lahir 1976 kemarin. Idris Sardi, Suka Hardjana, Frans Haryadi dan Praharyawan Prabowo memimpin OSJ dalam beberapa penampilan. Musisi klasik yang baik dengan konduktor yang baik untuk memimpin OSJ masih belum tersedia. Sayang kita hanya punya satu OSJ. dengan konduktor yang banyak. Mencari pemain fagot dan peniup hobo saja susah sekali, apalagi menampilkan sebuah orkes simponi lengkap dengan susunan yang seharusnya. Mengatasi kelangkaan pemain sebuah alat orkes simponi, sebenarnya bisa ditempuh dengan mengambil tenaga asing. Orkes simponi studio NHK, Jepang, pernah mengambil jalan ini. Sementara itu, memang dalam beberapa penampilannya OSJ tidak pernah mengadakan publikasi yang bagus. Undangan hanya disebarkan secara gratis kepada orang-orang tertentu, yang belum pasti menyukai. Cobalah tanda masuk itu dijual, meskipun hanya berharga Rp 200 atau Rp 300. Dengan membayar orang akan menghargai tontonan. Kalau perlu mempublikasikannya lewat TV. Saya rasa akan banyak yang datang. Pranajaya, pengasuh Bina Vokalia. Dalam tahun 77 ini hendaknya dunia penciptaan di-stress. Membikin komposisi itu bukan kayak pisang goreng. Pesan ini-itu. Ia ibarat seorang ibu rumah tangga menyiapkan hidangan, memerlukan bumbu yang cermat. Untuk memperoleh bekal pendidikan komposisi di akademi diperlukan 4 tahun. Tapi kini komposisi yang lahir sudah banyak yang dangkal. Coba bandingkan dengan komposisi Ismail Marzuki, Iskandar atau Gesang. Akhir-akhir ini - Bimbo misalnya - dangkal juga. Memang posisi kebanyakan musikus repot. Bukan mereka yang mengendalikan arah perkembangan musiknya sendiri, tapi masih tetap pengusaha. Sampai-sampai tokoh seperti Binsar Sitompul ataupun RAJ Sudjasmin, sudah tidak bisa berbuat apa-apa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus