DERASNYA para pengunjung yang merebut kursi-kursi pertunjukan
musik di TIM sepanjang tahun lalu, membuat prospek musik tahun
1977 cerah. Khususnya di bidang musik klasik atau kalau boleh
untuk sementara kita sebut musik "serius". Banyak lomba menyanyi
tidak lagi hanya menguji popularitas, tetapi juga cara menyanyi
dengan teknik yang baik. Resital gitar dikunjungi beramai-ramai
tanpa mengacuhkan hujan. Ini amat menarik, karena semuanya
terjadi tanpa adanya pengendoran di sektor musik pop. Berbagai
jenis musik itu makin lama makin menjadi bukan hanya sekedar
pelampias mu. sim-musiman yang sifatnya lebih condong pada
kelatahan.
Di bawah ini adalah kata-kata yang keluar dari beberapa gembong
musik "serius". TEMPO sengaja mengunjungi mereka, untuk
mendengarkan rencana dan gagasan mereka dalam waktu yang dekat
ini. Kalau ini lapangan bola maka bola sedang berada di kaki
mereka, sehingga kalau kelak terjadi kemunduran lagi, akan jelas
siapa sebenarnya yang salah. Mereka tidak tangkas menjawab
kesempatan, atau memang publik selalu "tolol" dan "terlambat"
sebagai yang selama ini mereka keluhkan. Kita 'kan sama-sama
suka kalau musik yang berbobot mempunyai kehidupan yang kuat
sebagai imbangan musik sampah dan musik pop.
Saya optimis terhadap prospek musik klasik di Indonesia. Lihat
saja, berapa jumlah calon yang masuk Akademi Musik LPKJ. Dulu
cuma 15-an, sekarang sekitar 50. Lembaga-lembaga pendidikan
musik lain saya rasa juga kebanjiran peminat. Sekarang
diperlukan mendidik dan menambah perbendaharaan repertoar kepada
masyarakat. Sejak tahun 50-an sampai kini belum banyak lagi
komposisi lahir. Banyak orang yang mengaku komponis, tapi mana
itu komposisinya". Kalau pop, banyak sekali.
Mereka produktif. Ada yang mengaku komponis tapi nggak ada
komposisinya. Nanti cari kambing hitam, nggak ada pemainnya.
Wah! Bikinlah komposisi yang sesuai dengan kapasitas pemain.
Pemain, jelek-jelek ada, tapi lagunya nggak ada. Tahun 1977 ini
wanted komponis Indonesia". Dulu yang saya tantang pers, kenapa
cuma memberitakan musik pop. Sekarang yang saya tantang kolega
saya, setelah klasik memperoleh tempat di pers.
Frans Haryadi, komponis.
Mungkin saja di Indonesia lahir komposisi. Tapi yang menunjang
kelahiran itu tidak ada. Komponisnya jadi tidak terangsang.
Kenapa? orang 'kan mau hidup juga, dengan imbalan yang layak.
Saya pernah diprodeokan ketika seorang musikus memainkan hasil
komposisi saya. Untuk situasi Indonesia kini, kita memang tidak
baik mengutamakan imbalan. Tapi kalau diprodeokan terus, ya
repot. Kalau toh ada imbalan, ternyata tidak memberi semangat.
Pernah juga seorang pimpinan ensembel meminta komposisi saya,
tapi bezettingnya nggak cocok. Untuk dia itu saya kini tidak
punya komposisi. Cobalah lihat, di tangan orang seperti
Sudjasmin atau FX Sutopo masih banyak komposisi. Hanya
persoalannya kemudian, apakah ada sebuah grup yang sanggup
memainkannya? Dan kemudian memadaikah imbalannya?
Iskandar, komponis.
Kita punya OSJ - Orkes Simphony Jakarta. Tapi harus diketahui.
para musisi di OSJ tidak semuanya lulusan akademi musik, jadi
jelas para konduktor akan mengalami kesulitan. Bergantian,
sejak lahir 1976 kemarin. Idris Sardi, Suka Hardjana, Frans
Haryadi dan Praharyawan Prabowo memimpin OSJ dalam beberapa
penampilan. Musisi klasik yang baik dengan konduktor yang baik
untuk memimpin OSJ masih belum tersedia. Sayang kita hanya punya
satu OSJ. dengan konduktor yang banyak. Mencari pemain fagot dan
peniup hobo saja susah sekali, apalagi menampilkan sebuah orkes
simponi lengkap dengan susunan yang seharusnya.
Mengatasi kelangkaan pemain sebuah alat orkes simponi,
sebenarnya bisa ditempuh dengan mengambil tenaga asing. Orkes
simponi studio NHK, Jepang, pernah mengambil jalan ini.
Sementara itu, memang dalam beberapa penampilannya OSJ tidak
pernah mengadakan publikasi yang bagus. Undangan hanya
disebarkan secara gratis kepada orang-orang tertentu, yang belum
pasti menyukai. Cobalah tanda masuk itu dijual, meskipun hanya
berharga Rp 200 atau Rp 300. Dengan membayar orang akan
menghargai tontonan. Kalau perlu mempublikasikannya lewat TV.
Saya rasa akan banyak yang datang.
Pranajaya, pengasuh Bina Vokalia.
Dalam tahun 77 ini hendaknya dunia penciptaan di-stress.
Membikin komposisi itu bukan kayak pisang goreng. Pesan ini-itu.
Ia ibarat seorang ibu rumah tangga menyiapkan hidangan,
memerlukan bumbu yang cermat. Untuk memperoleh bekal pendidikan
komposisi di akademi diperlukan 4 tahun. Tapi kini komposisi
yang lahir sudah banyak yang dangkal. Coba bandingkan dengan
komposisi Ismail Marzuki, Iskandar atau Gesang. Akhir-akhir ini
- Bimbo misalnya - dangkal juga.
Memang posisi kebanyakan musikus repot. Bukan mereka yang
mengendalikan arah perkembangan musiknya sendiri, tapi masih
tetap pengusaha. Sampai-sampai tokoh seperti Binsar Sitompul
ataupun RAJ Sudjasmin, sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini