Sesudah mengutik-utik soal yang peka, Fosko TNI AD dibubarkan KSAD Widodo. Mengapa Fosko dihubung-hubungkan orang dengan Petisi 50? MUNCULNYA gerakan Petisi 50 pada 1980 sering dihubung-hubungkan sejumlah pengamat politik Indonesia dengan keberadaan Fosko (Forum Studi dan Komunikasi) TNI AD, yang dibentuk KSAD (waktu itu) Jenderal Widodo. Ini boleh jadi karena di antara tokoh Petisi 50 tercatat nama Letjen. (Purn.) A.Y. Mokoginta dan Letjen. (Purn.) M. Jasin, yang juga duduk dalam keanggotaan Fosko yang didirikan pada 12 April 1978 itu. Fosko semula dibentuk KSAD Widodo untuk memberikan masukan berupa konsep-konsep pengembangan TNI AD. Maka, selain Mokoginta (almarhum) dan Jasin, di situ juga ada bekas KSAD Letjen. (Purn.) G.P.H. Djatikusumo, Letjen. H.R Dharsono, Mayjen. Achmad Sukendro, Letjen. (Purn.) Soedirman, Brigjen. Daan Jahja, Kolonel (Purn.) Alex Kawilarang, dan sejumlah staf Seskoad. Pada awalnya, kerja Fosko dinilai KSAD Widodo bermutu. " Ide-ide dari sana cukup bagus," tuturnya seperti diungkapkannya kembali kepada Nunik Iswardhani dari TEMPO, Ahad kemarin. Berikutnya Widodo mulai sering dibuat pusing kepala. Soalnya, usul-usul Fosko, yang mestinya bersifat rahasia, mulai bocor keluar. "Padahal, yang berwewenang menyampaikan keluar adalah saya," kata Widodo lebih lanjut. Kemudian Widodo membekukan kegiatan Fosko yang baru setahun berdiri itu. Alasannya? "Karena mereka tidak disiplin, ya saya bubarkan saja," ujar Widodo. Versi lain menyebut pembubaran Fosko karena lembaga ini mulai mengutak-utik hal-hal yang peka. Disebut-sebut Fosko mulai mempertanyakan doktrin dan pelaksanaan dwifungsi ABRI, dan beberapa anggota mempersoalkan kekuasaan intelijen yang terlalu jauh dari pengawasan Panglima ABRI. Sesudah pembubaran Fosko, Widodo mengumumkan pembentukan FKS (Forum Komunikasi dan Studi) Purna Yudha. Dalam lembaga baru ini pengaruh purnawirawan dikurangi agar sikap mereka lebih lunak. Ternyata, meleset. Dharsono dan Sukendro tetap berapi-api. Awal Mei 1980, misalnya, dengan mengatasnamakan FKS Purna Yudha, Dharsono mengkritik Pemerintah lewat pengganti Widodo, Jenderal Poniman. Tak lama setelah itu, Poniman membekukan FKS Purna Yudha. Semangat Fosko itu kemudian mengilhami beberapa tokoh nasional, seperti bekas Wapres Mohammad Hatta (almarhum), A.H Nasution, Ali Sadikin, dan Hoegeng Iman Santoso, membentuk Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB). Di sini ikut pula bergabung tokoh eks Fosko, seperti Sukendro. Pendukung lain tercatat pula Mayjen. (Purn.) Azis Saleh, dan tokoh-tokoh sipil, seperti Mr. Soenario, Mochtar Lubis, Nuddin Lubis, Sanusi Hardjadinata (tokoh PDI), Sabam Sirait (tokoh PDI), Anwar Haryono (bekas pimpinan Masyumi), dan bekas Menteri Perhubungan Frans Seda. Kendati tidak terlalu aktif, Dharsono dikenal dekat dengan YLKB. Sebagaimana anggota Fosko, sebagian anggota YLKB itu juga ada yang begitu bersemangat, dan melahirkan Petisi 50. Tindakan itu kemudian membuat penanda tangan petisi dikenai tindakan "cekal" untuk ke luar negeri. Acara reuni tokoh-tokoh Petisi 50 itu dengan tokoh-tokoh eks Fosko di Gedung Graha Purna Yudha, Jakarta, sejak 1984 mulai sepi -- lebih-lebih sepeninggal Sukendro dan Mokoginta. Akhir 1984, Dharsono -- yang dituduh melakukan tindakan subversif, merongrong kekuasaan negara -- divonis 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah mendapatkan remisi 14 bulan, Dharsono bebas pada bulan September 1990 lalu. Putut Trihusodo dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini