Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA Rabu, 11 Mei 2016, senja hari, berita duka bersambung-sambung di gawai masyarakat seni rupa. Pelukis Abas Alibasyah meninggal pukul 17.20 WIB pada usia 90 tahun. Saya tentu ikut terkejut, meski kondisi kritis Abas sesungguhnya sudah terbaca lama. Lalu dunia seni Indonesia kehilangan seorang tokohnya yang pintar, ulet, bisa apa saja, dan banyak menyimpan peristiwa dalam hidupnya.
Meninggalnya Abas kemarin sesungguhnya adalah kematian yang ketiga. "Kematian" pertama terjadi saat dia dialienasi di Jakarta, dan digadang sebagai Inspektur Kebudayaan, setelah ia diberhentikan dari jabatannya sebagai Rektor Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) "Asri" Yogyakarta pada 1977. Syahdan, di Jakarta, ia berkarier dalam senyap. Belasan tahun Abas hilang, sehingga sebagian publik seni menganggap ia sudah anumerta. Sebuah katalogus dari Den Haag mencatat Abas dengan tanda salib.
"Kematian" ini terus hilang-timbul sampai 2009. Abas pun wafat untuk kedua kalinya. Pada tahun itu, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menggelar pameran besar seni visual "Exposigns". Dalam katalogus mewah bertebal 400 halaman itu, Abas Alibasyah, kelahiran Purwakarta, Jawa Barat, 1 Maret 1926, disebut sebagai almarhum. Kontan Abas terkejut. "Saya dibunuh. Padahal ISI itu titisan STSRI Asri," katanya.
Untuk menunjukkan bahwa dia masih aktif, Abas mengadakan pameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia pada 2010. Dan, mungkin untuk menebus dosa, ISI lantas menghadiahi gelar Empu Ageng (sekelas doctor honoris causa) kepada Abas pada 2011. Sampai akhirnya kematian yang ketiga, atau yang sebenarnya, tiba. Serta diterimanya dengan tenang.
Sejatinya Abas adalah pelukis yang tak boleh dilupakan. Ia menempuh pendidikan di Hollandsche Inlandsche School. Ketika Jepang masuk pada 1942, ia bergabung dengan Sihan Gakko atau sekolah pendidikan guru. Di sini bakat melukisnya terperhatikan. Abas bertekad menjadi pelukis ketika melihat kegiatan Keimin Bunka Sidhoso. Pada masa ini, ia dekat dengan Hendra Gunawan, familinya.
Ketika Jepang kalah perang dan Belanda masuk ke Indonesia lagi lewat tentara Netherlandsche Indies Civil Administration (NICA), Abas ikut angkat senjata. Ia masuk Tentara Pelajar. Kesukaannya pada pencak, judo, sampai naik kuda, ia rasakan cukup sebagai modal bertempur. "Bahkan saya mampu main kendo, ilmu menggunakan pedang samurai," ujarnya. Di tengah perang, Abas banyak membuat sketsa perjuangan, yang semuanya disimpan dalam sebuah koper. Sayang, koper itu hilang pada 1970-an. Kiprah ini lalu menghadiahi Abas banyak bintang, dari Satyalancana Perang Kemerdekaan sampai Tanda Jasa Pahlawan.
Setelah Penyerahan Kedaulatan 1949, Abas menetap di Yogyakarta dan bergabung dengan Sanggar Pelukis Rakyat. Selepas dari sanggar, ia menyelinap ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), cikal-bakal STSRI Asri. Sambil belajar melukis, Abas aktif di Taman Siswa di bawah pimpinan langsung Ki Hadjar Dewantara. Tataran yang menstimulasinya menjadi pendidik. Ketika ASRI disempurnakan menjadi STSRI Asri pada 1968, luar biasa, Abas diangkat sebagai ketua, atau rektornya.
Abas terbilang sebagai pencipta lukisan yang khas, dengan bobot karya yang harus dijunjung. Karyanya yang beraroma dekoratif dengan aura etnis kuat menampilkan citra keindonesiaan. Maka satu lukisannya merenggut Hadiah Seni Lukis Terbaik Indonesia versi Dewan Kesenian Jakarta, 1974. Hampir semua connoisseur memiliki karyanya. Dari Presiden Sukarno, P.K. Ojong, Agung Rai, Alex Papadimitriou, astronaut Neil Armstrong, sampai penyanyi Mick Jagger.
Sebagai sang cerdik-pandai yang cakap berorganisasi, Abas menempati banyak jabatan penting, bahkan rangkap: rektor, sekretaris Direktur Jenderal Kebudayaan, narasumber ahli Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Jabatan inilah yang menyebabkan ia dengan gampang memecati mahasiswa (termasuk saya) yang terlibat dalam lingkaran Gerakan Desember Hitam, pengoreksi situasi seni rupa Indonesia 1975. Peristiwa ini akhirnya menjatuhkan posisi Abas sebagai rektor. Walaupun begitu, kejatuhan itu dianggap wajar. "Risiko dari prinsip dan loyalitas," katanya.
Sedangkan sebagai pendidik seni rupa dan perupa, Abas merenggut banyak medali reputasi. Misalnya Cultural Awards Scheme-Australia, Lempad Prize-Sanggar Dewata, Hadiah Seni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Satyalancana Kebudayaan.
Hidup Abas Alibasyah yang seru, penuh warna, sungguh tidak percuma.
Agus Dermawan T., Penyusun buku gema waktu: Lukisan-lukisan Abas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo