Berikut ini cerita tentang Festival Teater se-Jawa Timur 1978,
berlangsung 11-18 Juni di Pusat Pengembangan Kebudayaan Jawa
Timur, Surabaya. Ditulis oleh Bambang Bujono, salah seorang
juri.
YANG terdaftar 16 kelompok teater lima mengundurkan diri.
Naskah yang dipentaskan ditentukan naskah-naskah yang memenangi
berbagai sayembara: dari Malam Jahanam Motinggo Busje sampai
Dag Dig Dug Putu Wijaya. Adapun naskah Awal dan Mira Utuy Tatang
Sontani, meskipun pemenang salah satu sayembara, dicoret dari
daftar sehubungan dengan sangkut-paut pengarangnya (bukan naskah
itu sendiri) dengan LEKRA. Sebab begitulah peraturan dari atas.
Adapun pilihan sebelas kelompok teater itu begini dua memilih
Dag Dig Dug, empat Malam Jahanam, tiga Mega-mega Arifin C. Noer
dan masing-masing satu untuk Sang Pangeran Arswendo Atmowiloto
dan Jaka Tarub Akhudiat. Tiga dari keenam naskah di atas adalah
hasil sayembara Dewan Kesenian Jakarta.
Pilihan terbanyak, Malam Jahanam. Tidak terduga -- dan sekaligus
menimbulkan harapan munculnya hal baru, kalau melihat
kelompok-kelompok teater kini biasanya lebih suka mementaskan
naskah-naskah kontemporer. Namun, begitu kelompok pertama yang
memilih naskah Motinggo tersebut bermain, harapan ternyata
sia-sia. Bukan saja tidak ada usaha penafsiran yang segar
terhadap naskah. Untuk bermain menghadirkan naskah sebagaimana
adanya saja, belum sampai. Bukan karena para pemerannya kurang
berbakat -- satu dua bahkan menunjukkan potensi yang bisa
berkembang baik. Tapi pementasan teater sebagai satu keutuhan
organis, kurang bisa dicapai.
Jelas, dalam soal begitu sutradaralah yang jadi gara-gara.
Misalnya saja, di panggung hampir semua kelompok kurang sekali
memperhatikan pembangunan (building) cerita. Seorang Mat Kontan
(peran pokok) yang mau marah, tidak dipersiapkan akan marah
tetapi meledak begitu saja. Jadi janggal nggak ada hujan, nggak
ada awan, tiba-tiba geledek. Dan itu ketawa Si Kontan dan Si
Utai, dari grup teater mana saja, rasanya berasal dari satu
mulut: yang satu seperti orang kepedasan, yang satu meringkik
bagai kuda.
Lalu Mega-mega. Entah anak-anak muda anggota kelompok teaternya
nggak pernah akrab dengan gelandangan, atau mereka memang mau
memberikan hal baru. Tapi tokoh Retno selalu bagaikan nyonya
gedongan yang lagi marah-marah sama babunya, dan bukan
gelandangan. Janggalnya, si nyonya berpakaian bak pelacur
jalanan. Lebih dari Malam Jahanam, Mega-mega memang lebih
memerlukan sofistikasi: karya Arifin ini tampil di panggung
nyaris baru merupakan reading saja. Hal pokok, kepahitan
orang-orang yang terjebak nasib, tidak tampil.
Dag Dig Dug yang dibawakan oleh dua kelompok, agak terasa enak
ditonton. Terutama pemegang peran suami dari satu kelompok,
menghidupkan pementasan itu -- dan justru berakibat para pemeran
lain tersaruk-saruk mengikutinya. Untunglah tidak begitu
mengganggu, meskipun dengan catatan: seharusnya sutradara lebih
berani lagi memadatkan naskah agar tempo tidak mengulur
berkepanjangan. Kelompok tersebutlah menurut hemat saya
satu-satunya yang menguasai ruang. Bukan berarti memenuhi
panggung dengan properti -- seperti halnya salah satu grup yang
mementaskan Mega-mega -- tetapi bahwa kekosongan pun mempunyai
fungsi.
Pengalaman Ludruk
Tetapi pementasan Dag Dig Dug yang satu lagi sebenarnya tak bisa
ditebak maksudnya: apa maunya dengan menghadirkan peran
suami-isteri ganda. Bisa dipastikan mereka telah menyaksikan Dag
Dig Dug Teater Populer yang disutradarai Slamet Rahardjo yang
berpentas di TIM Jakarta beberapa lama lewat. Bedanya, Slamet
punya penafsiran dan konsep yang jelas plus pemain yang mampu
Sementara kelompok ini hanya meniru wujud (ini saja tidak pas,
misalnya warna baju "isteri" kok tidak sama), minus pemain yang
baik, konsep pementasan dan banyak lagi.
Dua naskah Sang Pangeran dan Jaka Tarub hadir dengan gemuruh
artinya dengan sejumlah besar pemain yang meramaikan panggung.
Dan ya, hanya gemuruh itulah yang mereka suguhkan. Jaka Tarub
dengan gamelan yang sebentar-sebentar dibunyikan, dan Sang
Pangeran dengan koor yang galak memekakkan telinga tapi nggak
bisa ditangkap sedang mengucapkan apa. O, ya, hampir dalam
semua pementasan percakapan dilaksanakan dengan suara berteriak
dan ngotot -- seolah-olah para juri festival ini agak tuli.
Para sutradara agaknya tak memahami naskah benar-benar. Paling
banter yang bisa dilihat -- dengan agak susah juga -- penyuguhan
jalan cerita lewat percakapan para pemain. Tak ada perkembangan
akting, tak ada penggarapan tata adegan (grouping). Dan tata
panggung sekedar hiasan yang cenderung dilupakan: tak ada
respons seorang pemain pun terhadap "benda-benda" di panggung,
sementara "benda-benda" itu juga tak memberi kesan apa-apa.
Selama ini di Jawa Timur memang belum ada kelompok teater modern
yang bisa dijadikan model. Kelompok-kelompok teater yang ikut
dalam festival ini rasanya membutuhkan itu: model untuk dicontoh
dan dikembangkan. Soalnya, andai mereka berkemauan belajar
dari buku, lalu buku mana. Hanya saja, horison keteateran mereka
rasanya memang sempit. Padahal, kalau mau menengok teater
rakyat, dari kelompok ludruk di Jawa Timur yang masih hidup
tentulah tidak sulit dicari yang baik.
Sebenarnya saja belajar dari semangat dan cara berpentas ludruk
merupakan jalan praktis dan nyata -- jika memang kelompok teater
modern yang baik tidak muncul juga -- di samping kelihatannya
paling mungkin dikerjakan kelompok teater di Jawa Timur. Teori
saja, dan itu pun compang-camping (untuk seluruh tanah air),
tidak akan menjamin seseorang atau satu grup memahami benar
hidup keteateran. Lengkap dngan segala kepahitannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini