Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ada kontan, ada koyal, ada cokro

Festival teater se jawa timur, berlangsung di pusat pengembangan kebudayaan jawa timur, surabaya. ja-tim belum memiliki kelompok teater modern yang bisa di jadikan model untuk dicontoh dan dikembangkan. (ter)

8 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berikut ini cerita tentang Festival Teater se-Jawa Timur 1978, berlangsung 11-18 Juni di Pusat Pengembangan Kebudayaan Jawa Timur, Surabaya. Ditulis oleh Bambang Bujono, salah seorang juri. YANG terdaftar 16 kelompok teater lima mengundurkan diri. Naskah yang dipentaskan ditentukan naskah-naskah yang memenangi berbagai sayembara: dari Malam Jahanam Motinggo Busje sampai Dag Dig Dug Putu Wijaya. Adapun naskah Awal dan Mira Utuy Tatang Sontani, meskipun pemenang salah satu sayembara, dicoret dari daftar sehubungan dengan sangkut-paut pengarangnya (bukan naskah itu sendiri) dengan LEKRA. Sebab begitulah peraturan dari atas. Adapun pilihan sebelas kelompok teater itu begini dua memilih Dag Dig Dug, empat Malam Jahanam, tiga Mega-mega Arifin C. Noer dan masing-masing satu untuk Sang Pangeran Arswendo Atmowiloto dan Jaka Tarub Akhudiat. Tiga dari keenam naskah di atas adalah hasil sayembara Dewan Kesenian Jakarta. Pilihan terbanyak, Malam Jahanam. Tidak terduga -- dan sekaligus menimbulkan harapan munculnya hal baru, kalau melihat kelompok-kelompok teater kini biasanya lebih suka mementaskan naskah-naskah kontemporer. Namun, begitu kelompok pertama yang memilih naskah Motinggo tersebut bermain, harapan ternyata sia-sia. Bukan saja tidak ada usaha penafsiran yang segar terhadap naskah. Untuk bermain menghadirkan naskah sebagaimana adanya saja, belum sampai. Bukan karena para pemerannya kurang berbakat -- satu dua bahkan menunjukkan potensi yang bisa berkembang baik. Tapi pementasan teater sebagai satu keutuhan organis, kurang bisa dicapai. Jelas, dalam soal begitu sutradaralah yang jadi gara-gara. Misalnya saja, di panggung hampir semua kelompok kurang sekali memperhatikan pembangunan (building) cerita. Seorang Mat Kontan (peran pokok) yang mau marah, tidak dipersiapkan akan marah tetapi meledak begitu saja. Jadi janggal nggak ada hujan, nggak ada awan, tiba-tiba geledek. Dan itu ketawa Si Kontan dan Si Utai, dari grup teater mana saja, rasanya berasal dari satu mulut: yang satu seperti orang kepedasan, yang satu meringkik bagai kuda. Lalu Mega-mega. Entah anak-anak muda anggota kelompok teaternya nggak pernah akrab dengan gelandangan, atau mereka memang mau memberikan hal baru. Tapi tokoh Retno selalu bagaikan nyonya gedongan yang lagi marah-marah sama babunya, dan bukan gelandangan. Janggalnya, si nyonya berpakaian bak pelacur jalanan. Lebih dari Malam Jahanam, Mega-mega memang lebih memerlukan sofistikasi: karya Arifin ini tampil di panggung nyaris baru merupakan reading saja. Hal pokok, kepahitan orang-orang yang terjebak nasib, tidak tampil. Dag Dig Dug yang dibawakan oleh dua kelompok, agak terasa enak ditonton. Terutama pemegang peran suami dari satu kelompok, menghidupkan pementasan itu -- dan justru berakibat para pemeran lain tersaruk-saruk mengikutinya. Untunglah tidak begitu mengganggu, meskipun dengan catatan: seharusnya sutradara lebih berani lagi memadatkan naskah agar tempo tidak mengulur berkepanjangan. Kelompok tersebutlah menurut hemat saya satu-satunya yang menguasai ruang. Bukan berarti memenuhi panggung dengan properti -- seperti halnya salah satu grup yang mementaskan Mega-mega -- tetapi bahwa kekosongan pun mempunyai fungsi. Pengalaman Ludruk Tetapi pementasan Dag Dig Dug yang satu lagi sebenarnya tak bisa ditebak maksudnya: apa maunya dengan menghadirkan peran suami-isteri ganda. Bisa dipastikan mereka telah menyaksikan Dag Dig Dug Teater Populer yang disutradarai Slamet Rahardjo yang berpentas di TIM Jakarta beberapa lama lewat. Bedanya, Slamet punya penafsiran dan konsep yang jelas plus pemain yang mampu Sementara kelompok ini hanya meniru wujud (ini saja tidak pas, misalnya warna baju "isteri" kok tidak sama), minus pemain yang baik, konsep pementasan dan banyak lagi. Dua naskah Sang Pangeran dan Jaka Tarub hadir dengan gemuruh artinya dengan sejumlah besar pemain yang meramaikan panggung. Dan ya, hanya gemuruh itulah yang mereka suguhkan. Jaka Tarub dengan gamelan yang sebentar-sebentar dibunyikan, dan Sang Pangeran dengan koor yang galak memekakkan telinga tapi nggak bisa ditangkap sedang mengucapkan apa. O, ya, hampir dalam semua pementasan percakapan dilaksanakan dengan suara berteriak dan ngotot -- seolah-olah para juri festival ini agak tuli. Para sutradara agaknya tak memahami naskah benar-benar. Paling banter yang bisa dilihat -- dengan agak susah juga -- penyuguhan jalan cerita lewat percakapan para pemain. Tak ada perkembangan akting, tak ada penggarapan tata adegan (grouping). Dan tata panggung sekedar hiasan yang cenderung dilupakan: tak ada respons seorang pemain pun terhadap "benda-benda" di panggung, sementara "benda-benda" itu juga tak memberi kesan apa-apa. Selama ini di Jawa Timur memang belum ada kelompok teater modern yang bisa dijadikan model. Kelompok-kelompok teater yang ikut dalam festival ini rasanya membutuhkan itu: model untuk dicontoh dan dikembangkan. Soalnya, andai mereka berkemauan belajar dari buku, lalu buku mana. Hanya saja, horison keteateran mereka rasanya memang sempit. Padahal, kalau mau menengok teater rakyat, dari kelompok ludruk di Jawa Timur yang masih hidup tentulah tidak sulit dicari yang baik. Sebenarnya saja belajar dari semangat dan cara berpentas ludruk merupakan jalan praktis dan nyata -- jika memang kelompok teater modern yang baik tidak muncul juga -- di samping kelihatannya paling mungkin dikerjakan kelompok teater di Jawa Timur. Teori saja, dan itu pun compang-camping (untuk seluruh tanah air), tidak akan menjamin seseorang atau satu grup memahami benar hidup keteateran. Lengkap dngan segala kepahitannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus