Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ada wayang di malam waisak

Pementasan terbuka "tarian & wayang budha" di candi mendut, ja-teng dalam perayaan waisak dibawakan oleh pusat kebudayaan ja-teng & akademi seni karawitan indonesia secara mapan. (tr)

26 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARTISIPASI Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) dan para mahasiswa Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), dalam perayaan Waisak di Candi Mendut 10 Mei lalu (TEMPO, 19 Mei, Agama), ternyata tidak kepalang tanggung. Tiga perangkat gamelan (Bali, Jawa dan Sekaten) dibawa serta dan seratus orang mahasiswa-mahasiswi dikerahkan. Ketiga perangkat gamelan tersebut ditata di halaman kiri candi di sebelah-menyebelah jalan menuju pintu utama. Di samping candi sendiri disisakan ruang cukup luas sebagai altar sekaligus pentas kesenian. Dua buah tarian telah disiapkan: Tari Puja -- diciptakan khusus untuk upacara -- dan Wayang Buddha. Beberapa saat sebelum upacara, ketiga gamelan dimainkan bergantian dan menciptakan suasana mirip piodalan pura di Bali, sementara mereka yang hendak mengikuti upacara mulai berdatangan masuk pelataran candi. Di luar candi orang juga mulai berduyun menyaksikan keramaian: terdengar teriakan atraksi "tong setan," misalnya. Kurang Pas Ketika arak-arakan pembawa upacara masuk halaman candi, jam setengah empat sore, bunyi ketiga tetabuhan menyambut meriah. Ke-17 orang dara penari puja segera mengantar para biksu dan biksuni untuk bersama melakukan doa dalam candi. Selesai upacara, mereka kembali mengantar para pandita ke sisi altar di samping candi untuk kemudian menarikan Tari Puja. Tari Puja agaknya ditata untuk menciptakan suasana upacara mirip Pendet atau Gabor dari Bali. Hanya tentu saja berbusana khas Jawa: kain dan kemben batik, dengan gelung malang berhias bunga melati dan kantil. Kain dan dandanan nampak sreg, dan tarian yang disusun berdasar gerak tari puteri gaya Surakarta serta diiring gamelan yang tak bermewah-mewah, terasa kena dengan maksud menghadirkan suasana religius. Cuma, ditimpa hiruk-pikuk ribuan pengunjung di luar candi, suasana anggun terasa tak mampu bertahan lama. Tataan tarinya terlampau halus untuk itu -- dan agaknya lebih kena untuk pentas tertutup semacam pendapa. Sebagai perbandingan tarian Bali yangdidukung musik pengiring lebih keras nampak lebih sesuai untuk halaman terbuka. Untuk menonton Wayang Buddha, ternyata orang masih harus menunggu sampai jam sembilan malam. Nomor ini, yang pernah dipertunjukkan di Jakarta dalam Festival Penata Tari Muda tahun lalu, juga terbukti lebih siap dimainkan di ruang terbuka. Setelah upacara resmi selesai para pengunjung diperbolehkan masuk halaman candi. Akibatnya Wayang Buddha benar-benar mendapat tempatnya di tengah publik yang berjejal. Gumpalan Gerak Yang sangat membantu keberhasilan tontonan anak-anak ASKI ini, ternyata, adalah kerangka musik pengiringnya yang utuh dan mantap -- termasuk vokal. Inilah yang sebenarnya memberi "darah". Beberapa adegan visual memang menarik permainan obor di belakang layar putih, deformasi wujud bayang-bayang wayang kulit yang sebentar jelas sebentar kabur, serta perubahan kuat-terangnya penerangan mampu menciptakan suasana magis sehingga berhasil menggugah rasa kinestetis, rasa indah yang ditimbulkan oleh gerak. Akan hal tataan gerakya, belum kelihatan padu benar. Dari dekat nampak sekali beberapa penari belum sadar akan "bentuk gerak" yang dilakukan. Dorongan gerak dari dalam masih sering terlontar sebagai "gumpalan gerak yang belum terbentuk." Namun di tengah khalayak yang lugu, tontonan ini ternyata dapat diterima dengan wajar. Wayang Budha memang tidak memberi pengalaman "kenikmatan keindahan" yang membuai sebagaimana biasa diharap orang jika menonton sebuah seni hiburan, tapi lebih memberi terpaan-kinetis. Yang juga patut dicatat adalah bagaimana para mahasiswa ASKI mencoba memanfaatkan kesempatan pentas di sekitar mereka, untuk sekaligus melakukan "pengabdian masyarakat" tanpa harus berkompromi dengan mutu. Sebab sesungguhnya di daerah seperti Surakarta dan Yogya memang agak sulit didapatkan kesempatan manggung di pentas resmi semacam di Taman Ismail Marzuki. Sehingga sering arena-coba mahasiswa kesenian terbatas pada forum pembukaan atau penutupan konperensi, pesta perkawinan dan sejenisnya -- dengan tuntutan penyesuaian selera atau kebutuhan dari pemesan, sehingga cenderung hanya menampilkan garapan yang ringan-ringan interesan. Mahasiswa ASKI agaknya lebih memilih mendekati warga desa yang haus tontonan -- daripada mengisi pentas resepsi dengan mengutamakan gincu dan menomorduakan bobot. Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus