PARTISIPASI Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) dan para
mahasiswa Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), dalam
perayaan Waisak di Candi Mendut 10 Mei lalu (TEMPO, 19 Mei,
Agama), ternyata tidak kepalang tanggung.
Tiga perangkat gamelan (Bali, Jawa dan Sekaten) dibawa serta dan
seratus orang mahasiswa-mahasiswi dikerahkan. Ketiga perangkat
gamelan tersebut ditata di halaman kiri candi di
sebelah-menyebelah jalan menuju pintu utama. Di samping candi
sendiri disisakan ruang cukup luas sebagai altar sekaligus
pentas kesenian. Dua buah tarian telah disiapkan: Tari Puja --
diciptakan khusus untuk upacara -- dan Wayang Buddha.
Beberapa saat sebelum upacara, ketiga gamelan dimainkan
bergantian dan menciptakan suasana mirip piodalan pura di Bali,
sementara mereka yang hendak mengikuti upacara mulai berdatangan
masuk pelataran candi. Di luar candi orang juga mulai berduyun
menyaksikan keramaian: terdengar teriakan atraksi "tong setan,"
misalnya.
Kurang Pas
Ketika arak-arakan pembawa upacara masuk halaman candi, jam
setengah empat sore, bunyi ketiga tetabuhan menyambut meriah.
Ke-17 orang dara penari puja segera mengantar para biksu dan
biksuni untuk bersama melakukan doa dalam candi. Selesai
upacara, mereka kembali mengantar para pandita ke sisi altar di
samping candi untuk kemudian menarikan Tari Puja.
Tari Puja agaknya ditata untuk menciptakan suasana upacara mirip
Pendet atau Gabor dari Bali. Hanya tentu saja berbusana khas
Jawa: kain dan kemben batik, dengan gelung malang berhias bunga
melati dan kantil. Kain dan dandanan nampak sreg, dan tarian
yang disusun berdasar gerak tari puteri gaya Surakarta serta
diiring gamelan yang tak bermewah-mewah, terasa kena dengan
maksud menghadirkan suasana religius.
Cuma, ditimpa hiruk-pikuk ribuan pengunjung di luar candi,
suasana anggun terasa tak mampu bertahan lama. Tataan tarinya
terlampau halus untuk itu -- dan agaknya lebih kena untuk pentas
tertutup semacam pendapa. Sebagai perbandingan tarian Bali
yangdidukung musik pengiring lebih keras nampak lebih sesuai
untuk halaman terbuka.
Untuk menonton Wayang Buddha, ternyata orang masih harus
menunggu sampai jam sembilan malam. Nomor ini, yang pernah
dipertunjukkan di Jakarta dalam Festival Penata Tari Muda tahun
lalu, juga terbukti lebih siap dimainkan di ruang terbuka.
Setelah upacara resmi selesai para pengunjung diperbolehkan
masuk halaman candi. Akibatnya Wayang Buddha benar-benar
mendapat tempatnya di tengah publik yang berjejal.
Gumpalan Gerak
Yang sangat membantu keberhasilan tontonan anak-anak ASKI ini,
ternyata, adalah kerangka musik pengiringnya yang utuh dan
mantap -- termasuk vokal. Inilah yang sebenarnya memberi
"darah". Beberapa adegan visual memang menarik permainan obor di
belakang layar putih, deformasi wujud bayang-bayang wayang kulit
yang sebentar jelas sebentar kabur, serta perubahan
kuat-terangnya penerangan mampu menciptakan suasana magis
sehingga berhasil menggugah rasa kinestetis, rasa indah yang
ditimbulkan oleh gerak.
Akan hal tataan gerakya, belum kelihatan padu benar. Dari dekat
nampak sekali beberapa penari belum sadar akan "bentuk gerak"
yang dilakukan. Dorongan gerak dari dalam masih sering terlontar
sebagai "gumpalan gerak yang belum terbentuk."
Namun di tengah khalayak yang lugu, tontonan ini ternyata dapat
diterima dengan wajar. Wayang Budha memang tidak memberi
pengalaman "kenikmatan keindahan" yang membuai sebagaimana biasa
diharap orang jika menonton sebuah seni hiburan, tapi lebih
memberi terpaan-kinetis.
Yang juga patut dicatat adalah bagaimana para mahasiswa ASKI
mencoba memanfaatkan kesempatan pentas di sekitar mereka, untuk
sekaligus melakukan "pengabdian masyarakat" tanpa harus
berkompromi dengan mutu. Sebab sesungguhnya di daerah seperti
Surakarta dan Yogya memang agak sulit didapatkan kesempatan
manggung di pentas resmi semacam di Taman Ismail Marzuki.
Sehingga sering arena-coba mahasiswa kesenian terbatas pada
forum pembukaan atau penutupan konperensi, pesta perkawinan dan
sejenisnya -- dengan tuntutan penyesuaian selera atau kebutuhan
dari pemesan, sehingga cenderung hanya menampilkan garapan yang
ringan-ringan interesan.
Mahasiswa ASKI agaknya lebih memilih mendekati warga desa yang
haus tontonan -- daripada mengisi pentas resepsi dengan
mengutamakan gincu dan menomorduakan bobot.
Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini