Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Balet warna-warni

Pementasan sendratari "meletusnya gunung agung" karya trisutji djuliati kamal, 43, seorang komponis, & penata musik. penata tarinya farida faisol yang bermain kompak dan tak terasa "barat"-nya.

26 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sendratari: Meletusnya Gunung Agung Musik & ide cerita: Trisutji Djuliati Kamal Penata Tari: Farida Feisol SENDRATARI Meletusnya Gunung Agung memang bertolak dari musik. Meskipun Trisutji Djuliati Kamal (43 tahun) juga sekaligus menciptakan kisahnya, toh ia seorang komponis dan bukan tukang cerita. Itulah mungkin penyebab utama mengapa sendratari yang penatanya dikerjakan Farida Feisol ini lebih enak didengar. Pementasan yang berlangsung sekitar 1« jam, 18 - 20 Mei di Teater Terbuka TIM ini, terdiri dari tiga babak. Mungkin 1« jam terlalu panjang untuk sebuah cerita yang teramat sederhana dan tanpa problematik. Bagaimana bisa berproblim, kalau hanya menceritakan sepasang muda-mudi yang dilanda asmara. menikah, lalu si muda harus pulang ke alam sana sebab menjadi korban meletusnya sebuah gunung? Tapi masalahnya tentu juga pengembangan. Dan Farida kelihatan berusaha memberi ornamen untuk mengulur kisah -- berujud komposisi gerak. Penguluran itu cukup terasa karena ornamen-ornamen itu nampak berdiri sendiri dan secara keseluruhan belum menyatu. Babak pertama, ketika tokoh pria mengejar-ngejar tokoh wanita: penuh adegan kedua tokoh itu berlari kian kemari, diseling keluar-masuknya sejumlah penari pembantu -- yang mungkin untuk mengesankan bahwa mereka hidup di sebuah desa berpenduduk. Terasa panjang, tidak efisien dan tidak imajinatif, sekedar gambaran prosais. Adegan malam pengantin di babak II, yang diseling mimpi(?) tokoh wanita akan terjadinya sebuah bencana -- dan seperti biasanya untuk adegan begini ditampilkan Farida dengan sepenuh minat -- memang ada yang unik. Ada makhluk berkerudung hitam menari dengan miserius. Dilakukan tiga penari, yang kompak, bagian ini untung memberi suasana surealistis ini memang sebuah mimpi. Tapi yang paling menarik ialah babak ketiga pembakaran mayat. Iring-iringan masuk dari pintu belakang Teater Terhuka, dengan musik berbau Bali, dan dua lampu sorot mengikuti prosesi menuju panggung. Memang bukan hal baru. Toh, setelah dua babak penonton disuguhi warna-warni meriah tanpa kedalaman, adegan ini terasa lain. Mungkin karena pergantian kostum pemain puteri yang mengenakan kain putih dan tidak selalu kaus ketat seperti dua babak sebelumnya. Tapi sangat penting tampilnya tokoh pedanda (Sardono W. Kusumo) yang mengenakan topeng magis dengan kostum putih seluruhnya, berjalan tertatih-tatih memimpin prosesi. Di situ digambarkan juga perjalanan roh menuju surga atau apa. Makhluk bertopeng putih itu melempar selendang ke depan dan perlahan mundur naik trap dan lenyap. Dengan cara mengangkat topeng dari wajah, kemudian sedikit demi sedikit meninggikan topeng itu dengan tangan dan tetap menyembunyikan wajahnya sendiri, Sardono memberi nafas puisi ke dalam pementasan yang sepenuhnya naratif. Ia lenyap, tinggal hanya selendang putih memanjang menuju trap. Sesudah itu kembali adegan ramai berseliweran. Yang tinggal pada kita kemudian hanya kesan sekali ini agaknya Farida membatasi baletnya: keseluruhan pementasan tak terasa "Barat" sekali seperti biasanya. Itu juga dikatakan Sardono. "Gerak-gerik ciptaan Farida sekarang tak terasa janggal lagi jika dilakukan penari kita," katanya. Benar, walaupun belum sempat tampil sempurna -- baik teknik perorangan (lihat cara mereka melempar tangan atau kaki misalnya) maupun kekompakan. Sementara itu para penari juga berasal dari berbagai disiplin: tari Jawa, balet dan sebagainya -- meski bukan baru sekali ini bekerjasama dengan perancang tari yang sehari-harinya menyenangkan ini. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus