Sendratari: Meletusnya Gunung Agung
Musik & ide cerita: Trisutji Djuliati Kamal
Penata Tari: Farida Feisol
SENDRATARI Meletusnya Gunung Agung memang bertolak dari musik.
Meskipun Trisutji Djuliati Kamal (43 tahun) juga sekaligus
menciptakan kisahnya, toh ia seorang komponis dan bukan tukang
cerita. Itulah mungkin penyebab utama mengapa sendratari yang
penatanya dikerjakan Farida Feisol ini lebih enak didengar.
Pementasan yang berlangsung sekitar 1« jam, 18 - 20 Mei di
Teater Terbuka TIM ini, terdiri dari tiga babak. Mungkin 1« jam
terlalu panjang untuk sebuah cerita yang teramat sederhana dan
tanpa problematik. Bagaimana bisa berproblim, kalau hanya
menceritakan sepasang muda-mudi yang dilanda asmara. menikah,
lalu si muda harus pulang ke alam sana sebab menjadi korban
meletusnya sebuah gunung?
Tapi masalahnya tentu juga pengembangan. Dan Farida kelihatan
berusaha memberi ornamen untuk mengulur kisah -- berujud
komposisi gerak. Penguluran itu cukup terasa karena
ornamen-ornamen itu nampak berdiri sendiri dan secara
keseluruhan belum menyatu.
Babak pertama, ketika tokoh pria mengejar-ngejar tokoh wanita:
penuh adegan kedua tokoh itu berlari kian kemari, diseling
keluar-masuknya sejumlah penari pembantu -- yang mungkin untuk
mengesankan bahwa mereka hidup di sebuah desa berpenduduk.
Terasa panjang, tidak efisien dan tidak imajinatif, sekedar
gambaran prosais.
Adegan malam pengantin di babak II, yang diseling mimpi(?) tokoh
wanita akan terjadinya sebuah bencana -- dan seperti biasanya
untuk adegan begini ditampilkan Farida dengan sepenuh minat --
memang ada yang unik. Ada makhluk berkerudung hitam menari
dengan miserius. Dilakukan tiga penari, yang kompak, bagian ini
untung memberi suasana surealistis ini memang sebuah mimpi.
Tapi yang paling menarik ialah babak ketiga pembakaran mayat.
Iring-iringan masuk dari pintu belakang Teater Terhuka, dengan
musik berbau Bali, dan dua lampu sorot mengikuti prosesi menuju
panggung. Memang bukan hal baru. Toh, setelah dua babak penonton
disuguhi warna-warni meriah tanpa kedalaman, adegan ini terasa
lain. Mungkin karena pergantian kostum pemain puteri yang
mengenakan kain putih dan tidak selalu kaus ketat seperti dua
babak sebelumnya. Tapi sangat penting tampilnya tokoh pedanda
(Sardono W. Kusumo) yang mengenakan topeng magis dengan kostum
putih seluruhnya, berjalan tertatih-tatih memimpin prosesi.
Di situ digambarkan juga perjalanan roh menuju surga atau apa.
Makhluk bertopeng putih itu melempar selendang ke depan dan
perlahan mundur naik trap dan lenyap. Dengan cara mengangkat
topeng dari wajah, kemudian sedikit demi sedikit meninggikan
topeng itu dengan tangan dan tetap menyembunyikan wajahnya
sendiri, Sardono memberi nafas puisi ke dalam pementasan yang
sepenuhnya naratif. Ia lenyap, tinggal hanya selendang putih
memanjang menuju trap. Sesudah itu kembali adegan ramai
berseliweran.
Yang tinggal pada kita kemudian hanya kesan sekali ini agaknya
Farida membatasi baletnya: keseluruhan pementasan tak terasa
"Barat" sekali seperti biasanya. Itu juga dikatakan Sardono.
"Gerak-gerik ciptaan Farida sekarang tak terasa janggal lagi
jika dilakukan penari kita," katanya. Benar, walaupun belum
sempat tampil sempurna -- baik teknik perorangan (lihat cara
mereka melempar tangan atau kaki misalnya) maupun kekompakan.
Sementara itu para penari juga berasal dari berbagai disiplin:
tari Jawa, balet dan sebagainya -- meski bukan baru sekali ini
bekerjasama dengan perancang tari yang sehari-harinya
menyenangkan ini.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini