Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Membangun citra dengan diplomasi

Pengarang: michael leifer london: george allen & unwin, 1983 resensi oleh: juwono sudarsono. (bk)

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA'S FOREIGN POLICY Oleh: Michael Leifer Penerbit: George Allen & Unwin, London, 1983, 181 halaman. TATKALA Presiden Soeharto melantik duta besar baru Indonesia pada bulan September 1981, kebijaksanaan luar negeri Indonesia diberi sebutan resmi "diplomasi perjuangan". Dalam ungkapan itu tersimpul makna perjuangan bangsa kita untuk mencapai serta mempertahankan kemerdekaan di tengah-tengah kancah percaturan politik dan ekonomi internasional. Buku Michael Leifer ini tak hendak memberi kata putus tentang interpretasi dan perdebatan sekitar "diplomasi" ketimbang "perjuangan" dalam berbagai kurun waktu perjalanan bangsa kita. Kata putus tentang hal ini mungkin sebaiknya tak ada. Sebab menjadi tugas orang Indonesia, baik bekas diplomat, politikus, atau prajurit untuk meneruskan dialog sehat tentang interpretasi peristiwa-peristiwa sejarah diplomasi kita. Cukup banyak buku, memoar, maupun tulisan lepas yang disusun Mohamad Rum, Anak Agung Gde Agung, Soebandrio, Roeslan Abdulgani, Mohammad Natsir, Tahi Bonar Simatupang, B.M. Diah, Adam Malik, Nugroho Notosusanto, Abdul Haris Nasution, serta puluhan tokoh lain kini tersedia bagi para ahli sejarah guna menelaah serta menyusun uraian yang baginya patut dikemukakan. Indonesia's Foreign Policy adalah buku yang singkat dan padat, bebas 'dari yargon ilmu sosial dan ilmu politik. Ia memberi rangkuman latar belakang konteks internasional lahirnya Republik Indonesia. Ia juga menggambarkan dengan jelas benang merah tekad semua pejuang kemerdekaan Indonesia dari setiap aliran politik: ialah Indonesia merdeka yang berdaulat, makmur, dan yang menjadi "negara yang terkemuka di Asia Tenggara". Tema itulah yang mewarnai tulisan Michael Leifer ini -- yang didasarkan pada hasil pengamatannya selama sepuluh tahun lebih terhadap kebijaksanaan luar neeri Indonesia dan hasil sekitar sepuluh kali kunjungan singkat ke Indonesia sejak tahun 1963. Pada bagian pertama buku ini Leifer menjelaskan latar belakang revolusi Indonesia dan asal usul politik luar negeri Indonesia. Diungkapkannya kelemahan dan kerapuhan kesatuan Republik muda, yang mengalami campur tangan dan agresi Belanda berkali-kali. Persetujuan Linggarjati 25 Maret 1947 dan Persetujuan Renville 17-19 Januari 1948 adalah dua contoh yang dilukiskan (halaman 15-18) sebagai jalan diplomasi yang dianut tokoh politik kita, dengan risiko dimarahi para pemimpin militer dan gerilya. Bung Karno juga berkali-kali memaki-maki diplomasi Indonesia kurun waktu itu tatkala mengobarkan semangat politik bangsa kita menjelang dan sesudah Dekrit 5 Juli 1959. Dalam nada yang berbeda Tahi Bonar Simatupang dan Nugroho Notosusanto merisaukan "sikap mengalah" yang ditunjukkan Sjahrir, Amir Siarifuddin maupun Bung Hatta tatkala menghadapi situasi internasional dan kekuatan militer Belanda. Semua ini mudah dimengerti kalau ditinjau dari perspektif history as nation-building. Tetapi buku Michael Leifer ini menjelaskan betapa kompleks dan sulitnya persoalan yang dihadapi tokoh politik dan diplomasi pada saat-saat tertentu, termasuk perhitungan nyata bahwa jika "diplomasi" tak ditempuh, "perjuangan" tak akan berdaya melawan kekuatan Belanda. Kerumitan ini menjadi lebih jelas lagi kalau ditinjau dari segi politik dalam negeri, yaitu kecenderungan pihak oposisi untuk mendiskreditkan "diplomasi" yang ditempuh Sjahrir atau Hatta. Padahal pihak oposisi itu sendiri tahu benar bahwa tak ada alternatif lain yang nyata kecuali babak belur di tangan Belanda. Mungkin diperlukan penelaahan dan data baru untuk memeriksa dengan saksama periode-periode kritis pada awal kemerdekaan kita sebelum bisa disimpulkan pihak manakah yang "lebih meyakinkan", sang diplomat atau sang pemimpin gerilya. Sementara ini cukuplah dipegang sebagai kesepakatan bahwa "diplomasi" dan "perjuangan" adalah mata rantai yang tak terpisahkan dan saling membutuhkan. Bagaimanapun juga, jalan diplomasi memberi peluang bagi gerilyawan untuk mengadakan regrouping untuk kemudian memperkuat kembali posisi diplomasi Indonesia di mata internasional. Misalnya, akibat-akibat dari pertempuran Surabaya. Dalam bab yang membahas politik luar negeri dan desakan politik dalam negeri (halaman 27-53) Leifer memberi sejumlah contoh tentang interaksi "politik dalam negeri" dan "politik luar negeri'. Kecenderungan Bung Karno untuk turut menangani masalah-masalah pemerintahan semasa Kabinet Natsir, teristimewa hal yang menyangkut hubungan dengan Belanda mengenai masalah Irian Barat (sekarang Irian Jaya), dan reaksi keras terhadap Kabinet Sukiman tentang penandatanganan protokol yang memberi kesan kuat Indonesia berpayung di bawah Amerika Serikat, adalah dua contoh klasik yang sudah menjadi uraian baku dalam mata kuliah politik luar negeri. Hal yang sama ditunjukkannya dalam bab politik luar negeri di masa Demokrasi Terpimpin. Dalam kasus Irian Barat dan Malaysia, tersimpul kecenderungan baru, persekutuan Indonesia dengan RRC, Korea Utara, Vietnam Utara menuju suatu tatanan regional yang dipimpin Indonesia. Tak kalah pentingnya ialah permainan politik dalarn negeri yang terjadi. Misalnya, nasionalisasi perusahaan Belanda yang dimulai 1957 bukanlah semata-mata kemarahan terhadap sikap Belanda yang kaku, melainkan juga fungsi dari kesempatan "bagi-bagi rezeki" dan jabatan baik oleh Presiden Soekarno sendiri maupun oleh tokoh-tokoh partai politik yang mendukungnya. Demikian pula bagi pihak tentara "perjuangan" Irian Barat adalah kesempatan memperoreh kelengkapan baru bagi Angkatan Bersenjata Indonesia, sehingga pada tahun 1961 Indonesia adalah penerima kredit ekonomi dan bantuan militer yang terbanyak setelah India dan Mesir. Dalam kasus ganyang Malaysia, Leifer menguraikan kesulitan yang dihadapi Indonesia menjalankan kebijaksanaan coercive diplomacy -- diplomasi paksaan. Tapi secara berimbang Leifer juga menjelaskan dengan jernih keberatan pokok yang diajukan Bung Karno dan Soebandrio perihal cara maupun konsep berdirinya Malaysia ketika itu. Masalahnya bagi Indonesia, sebagaimana diungkapkan berkali-kali oleh Bung Karno, Malaysia adalah proses neo-kolonial yang perlu ditentang. Tapi hakikat penentangan itu, menurut Leifer, buka semata-mata karena Malaysia (ketika itu termasuk Singapura, yang baru melepaskan diri Agustus 1965) adalah buatan Inggris. Hal yang mempersatukan Presiden Soekarno dan Panglima Mandala Mayjen (sekarang: presiden) Soeharto ialah bahwa konsep dan cara berdirinya Malaysia itu merupakan "pengekangan" akan hak dan naluri Indonesia untuk menetapkan tatanan regional yang diinginkannya. Jalan baru dalam politik luar negeri Indonesia setelah 1966 (halaman 113-140) membuktikan betapa setianya pemerintah Orde Baru menghendaki agar tatanan regional yang ingin diciptakan Presiden Soeharto dan menteri-menteri luar negerinya (Adam Malik dan Mochtar Kusumaatmadja) sedapat mungkin sebagian besar ditentukan oleh Indonesia sendiri. Setelah panjang lebar menguraikan pemanfaatan politik luar negeri Indonesia untuk kepentingan pembangunan nasional, Leifer dalam kesimpulannya menulis bahwa banyak kesinambungan yang bisa ditemui di masa Soekarno maupun masa Soeharto sekarang ini. Hanya gaya dan penampilan saja yang berbeda. Sebab sejak ASEAN didirikan tahun 1967, Indonesia bertekad untuk menerapkan prinsip "memimpin tanpa menggurui". Bagian penutup buku ini barangkali yang bakal menarik buat mereka yang mempelajari strategi. Leifer menyebutkan, misalnya, paradoks yang dihadapi Indonesia sebagai satuan politik yang terluas dan terbanyak jumlah penduduknya, berikut kedudukan strategis antara dua samudra dan dua benua. Selama Indonesia lemah dalam bidang ekonomi (artinya: selama ketahanan nasional masih perlu dipupuk) maka selama itu pula Indonesia tidak akan merupakan potensi bahaya bagi tetangga-tetangganya. Sebaliknya suatu Indonesia yang kuat dan kukuh senaniasa akan disimak terus oleh negara-negara Asia Tenggara, termasuk kawan-kawannya di ASEAN. Leifer juga menggambarkan dilema Indonesia tentang hubungannya dengan superpower. Kalau superpower sepakat (misalnya, tentang penggunaan selat-selat Indonesia sebagai selat internasional) kelemahan Indonesia menancapkan kedaulatan teritorialnya semakin kentara. Khusus terhadap Amerika Serikat dan Jepang, ambivalensi Indonesia terungkap dengan jelas. Kalau AS dan Jepang di satu pihak diperlukan untuk menjamin jalur bantuan ekonomi, pada lain pihak kehadiran mereka juga membatasi "kedaulatan Indonesia untuk berperan secara utuh di Asia Tenggara" (halaman 177-178). Amerika dan Jepang bagi Indonesia, kata Leifer, sebaiknya on tap, but not on top (bisa diandalkan, tapi jangan sampai unggul). Agaknya, untuk waktu yang masih lama, "diplomasi perjuangan" masih terus menerus harus ditempuh sebelum bangsa kita mandiri. Juwono Sudarsono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus