Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI
Sutradara: Deddy Mizwar
Skenario: Musfar Yasin
Pemain: Reza Rahadian, Slamet Rahardjo, Deddy Mizwar,
Produksi: Demi Gisela Citra Sinema
SEBUAH kampung terdiri atas sebuah Indonesia. Di kampung itu ada Muluk (Reza Rahadian)—putra Haji Makbul (Deddy Mizwar)—sarjana manajemen yang tak kunjung mendapat pekerjaan; ada Syamsul (Asrul Dahlan), sarjana pendidikan yang sehari-hari main gaple; ada Pipit (Tika Bravani), putri Haji Rahmat (Slamet Rahardjo), yang sehari-hari kerjanya cuma ikut tebakan kuis.
Kampung ”Indonesia” di mata Deddy Mizwar ini tak cukup jika belum dilengkapi para pendosa. Kali ini mereka adalah gerombolan pencopet di bawah pimpinan Bang Jarot (Tio Pakusadewo). Seperti para pencopet dalam novel Oliver Twist, gerombolan ini badung, berandal, dan tengil, tapi sudah pasti kita akan berempati pada mereka. Komet (Rangga Putra), Glen (Irfan Siagian), dan Ribut (Sakurta Ginting), merupakan ”pimpinan” geng copet di kawasan pasar, mal, dan metromini.
Warga bertemu, bertabrakan, dan berinteraksi. Muluk mendapat tekanan kiri-kanan, terutama dari calon mertua (Jaja Mihardja), yang kepingin punya mantu yang jelas profesinya. Semula Muluk ingin berbisnis cacing. Belakangan dia tertarik membantu para pencopet berandal untuk berbisnis yang halal: jadi pengasong.
Maka kita masuk ke dunia Deddy Mizwar: dunia di mana yang baik akan membawa yang buruk ke jalan yang benar. Trio Muluk, Syamsul, dan Pipit dengan semangat mengajarkan bisnis, agama, dan juga Pancasila kepada gerombolan anak-anak bandel itu. Tentu saja karena ini adalah tangan Deddy dan skenario Musfar Yasin, kita tak hanya mendengar kutipan ayat Quran, tetapi juga gurauan, satire, dan humor dari seluruh interaksi warga kampung yang bernama Indonesia.
Saya menyebutnya Indonesia karena beginilah Deddy Mizwar dan Musfar Yasin melihat Indonesia. Penuh kerinduan pada keadilan sosial, pada ketertiban kehidupan beragama dan keteguhan pada moral. Kita melihat perkembangan yang pesat. Anak-anak jalanan itu sudah mulai mau mandi, belajar membaca, dan bersedia mengucapkan Pancasila. Toh trio Haji Rahmat, Haji Makbul, dan Haji Sarbini tidak bisa terima proyek gila itu. Bagi para sepuh, meski niatnya sudah bagus, tiga anak muda itu menerima ”gaji” dari hasil copet. ”Itu uang haram,” kata Haji Makbul dengan murung sembari mengembalikan kopi, gula, susu, dan segala pangan yang dibelikan putranya itu.
Kedua haji, Makbul dan Rahmat, berduka, berpelukan, merintih, dan berurai air mata mencoba saling menyangga nestapa dunia. Tempat mereka mengadu adalah langgar. Dan dari jendela trio anak muda mengintip dengan wajah yang sungguh bersalah.
Tema ini memang tema milik Deddy. Membawa para pendosa ke jalan yang benar selalu menjadi tema utama karyanya (Kiamat Sudah Dekat, Para Pencari Tuhan, bahkan Naga Bonar Jadi Dua). Religi memang selalu menjadi sebuah solusi. Tetapi bedanya film ini dengan film religi yang umum adalah aspek sosial dan politik selalu menjadi perkawinan dengan aspek moral dan agama. Dalam film ini, mencuri—sekecil apa pun—adalah sama saja dengan korupsi. Itulah premis Deddy Mizwar.
Ada satu-dua hal yang mengganjal. Proses Muluk dari keinginan berbisnis cacing yang lantas ingin mendidik para pencopet terjadi tanpa sebuah proses yang dilematis. Ide itu begitu saja datang dan berjalan. Sementara dalam proses pendidikan trio guru muda kepada geng pencopet ini terasa berkepanjangan.
Para pemain anak-anak yang rata-rata memang anak jalanan (kecuali Sakurta Ginting yang sudah kita kenal melalui sinetron Kiamat Sudah Dekat) terasa membawa realitas ke layar perak. Mereka tampil cemerlang dan sama sekali tak punya problem seujung jari pun untuk berhadapan dengan para aktor profesional.
Deddy Mizwar dan Musfar Yasin serta Aria Kusumadewa membawa persoalan Indonesia ke dalam dua jam yang padat dan riuh; yang bisa membuat kita gila dan pedih (lihatlah akhir film ini yang sungguh mencabik hati). Kalaupun agama bukan jalan keluar yang kita pilih untuk mengatasi ”lucunya negeri ini”, paling tidak Deddy mengajak kita tertawa.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo