Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"SETIAP hari aku berdoa agar dapat melahirkan seorang anak. Jadi, suamiku tak akan mencari istri baru.” Kata-kata ini mengalir lirih dari bibir Ziba, perempuan muda istri keempat seorang petani kaya di sebuah desa di Iran. Sambil berlinangan air mata, ia mengaku berkali-kali hendak bunuh diri lantaran putus asa. Kegundahan Ziba tersaji dalam film Four Wives - One Man.
Film yang mengangkat masalah poligami ini menjadi salah satu film yang disajikan dalam V Film Festival, festival film perempuan internasional yang digelar Yayasan Jurnal Perempuan, Kartini Asia Network, Komunitas Salihara, dan Kalyana Shira Foundation, 21-27 April 2010. Pemutaran dilakukan di tiga lokasi di Jakarta—GoetheHaus, Kineforum Taman Ismail Marzuki, dan Komunitas Salihara.
Di tahun kedua penyelenggaraannya, festival ini bertema Identity and Youth, memutar 22 film panjang dari luar, 11 film panjang dari Indonesia, 4 film pendek dari luar, dan 28 film pendek Indonesia. Semuanya karya sutradara perempuan, terbagi ke dalam kategori film fiksi dan dokumenter dalam tema sangat beragam, dari pluralisme, keberagaman, identitas anak muda, hingga syariat Islam. Tentu dari perspektif perempuan.
Inilah empat di antaranya yang menarik.
Cats
Sutradara: Kim Ji-hyun
FILM ini bercerita tentang pergulatan hidup tiga perempuan muda, Sheera, Simjang, dan seorang dokter gigi muda. Sheera adalah perempuan lajang berusia 28 tahun yang tidak berniat menikah. Di siang hari, dia bekerja sebagai pembuat dan penjual aksesori di pinggir jalan. Malamnya, dia bekerja di bar. Dia tetap bertahan dengan keputusannya untuk melajang meskipun ibunya terus mendesaknya mencari pendamping. ”Sepanjang tidak seperti ayahmu, Ibu akan menerimanya,” kata sang ibu setiap kali mereka bertemu.
Lain lagi dengan Simjang. Perempuan lesbian ini putus asa mencari pekerjaan. Berkali-kali lamarannya ditolak lantaran penampilannya yang dianggap tak jelas, laki-laki atau perempuan. Di satu sisi, dia mulai ragu akan kesetiaan kekasihnya, Heopa. Apalagi perempuan kekasihnya yang masih berstatus mahasiswi itu menolak lamarannya karena belum siap menikah.
Kegalauan juga dirasakan seorang dokter gigi yang amat mendambakan kehadiran anak. Tak mampu menemukan lelaki yang tepat untuk membuahi rahimnya—dua di antaranya mengaku mandul dan gay—dia memutuskan menggunakan sperma dari bank sperma. Namun hal itu tak bisa dilakukan karena terbentur aturan yang melarang perempuan yang belum menikah menggunakan jasa bank sperma.
Film buatan Korea ini datang dari kelompok feminis Unni-Network, dirancang untuk mengangkat isu seperti seks, perkawinan, serta pertanyaan-pertanyaan psikologis dan yang terkait dengan isu fertilitas yang diminati perempuan muda Korea. Keterampilan penulis sekaligus sutradara Kim Ji-hyun dan penampilan alami semua pemain menjadikan film ini bisa berjajar di antara film-film yang paling terus terang dan sederhana tentang kerumitan hidup perempuan.
Four Wives - One Man
Sutradara: Nahid Persson
DOKUMENTER besutan sutradara Swedia kelahiran Iran, Nahid Persson, ini memotret secara dekat kehidupan keluarga Heda, petani yang berpoligami di satu desa di Iran. Pemenang penghargaan untuk film Prostitution Behind the Veil ini mengungkap seluk-beluk hubungan lelaki itu dengan keempat istrinya: Farang, Goli, Shahpar, dan Ziba. Juga hubungan mereka dengan sang mertua (ibunda Heda) dan 20 anak mereka. Kadang-kadang lucu tapi sering memilukan. Film ini menelusuri keseharian masing-masing istri menghadapi madu-madunya tapi bersekongkol melawan suami mereka yang kejam.
Kamera Persson dengan cantik menangkap interaksi di antara anggota keluarga. Tak cuma ketika mereka menunjukkan keceriaan saat berekreasi bersama-sama, tapi juga saat terjadi pertikaian di antara para istri. Misalnya bagaimana ketiga istri Heda berkeluh-kesah tentang sikap suami mereka yang berubah sejak kehadiran istri keempatnya, Ziba, yang masih belia. ”Waktunya sekarang lebih banyak buat istri keempatnya,” ujar Goli, istri kedua, yang diiyakan dua madunya. Simak juga obrolan setengah berbisik para istri—di tengah kesibukan membuat roti, memerah susu, atau menenun karpet—tentang perlakuan kasar sang suami, yang terang-terangan ingin kembali mencari gadis muda untuk dijadikan istri.
Tanpa berkesan sentimental, film ini memberikan sisi lain dari praktek poligami secara jujur, terutama efeknya bagi perempuan yang terlibat di dalamnya.
Ver van familie (Far from Family)
Sutradara: Marion Bloem
Pemain: Anneke Grönloh, Terence Schreurs, Katja Schuurman
FILM ini dibuat berdasarkan buku roman Ver van familie karangan Marion Bloem. Film yang dirilis pada 2008 ini berlatar tahun 1986, berkisah tentang keluarga besar Indo-Eropa di Belanda. Cerita film ini berfokus pada Nenek Em yang merindukan cucunya, Barbie König.
Barbie König (Terence Schreurs) adalah perempuan Indo-Belanda yang menetap di Amerika Serikat bersama ibu tirinya. Ketika ibu tirinya meninggal, dia memutuskan kembali ke Belanda mencari keluarganya di sana.
Latar belakang Ver van familie adalah kaum Indo-Eropa (Indische-Nederlanders) atau kaum peranakan Eropa yang berepatriasi atau beremigrasi secara besar-besaran dari Indonesia setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sekitar 300 ribu jiwa harus meninggalkan Indonesia, tanah kelahiran mereka. Sebagian besar menetap di Belanda. Namun banyak yang tidak suka dengan ”negeri leluhur” mereka dan merantau ke negara-negara lain, misalkan Amerika Serikat.
Dalam film diperlihatkan bahwa keluarga Barbie yang ada di Belanda masih mempraktekkan kultur Indo mereka. Di sisi lain, Barbie, yang lama hidup di Amerika, tumbuh menjadi seorang individualis, yang merasa terasing karena tidak terbiasa dengan kehangatan keluarganya di Belanda.
Clara
Sutradara: Helma Sanders-Brahms
Pemain: Martina Gedeck, Pascal Greggory, Malik Zidi
Skenario: Helma Sanders-Brahms
CLARA Schumann adalah perempuan Jerman yang terkenal sebagai pianis di penjuru Eropa. Pada 1850, Clara dan kelima anaknya pindah ke Düsseldorf mengikuti suaminya, Robert Schumann, yang mendapat pekerjaan sebagai music director sebuah kelompok orkestra di kota itu.
Maka dimulailah masa-masa sulit bagi Clara. Waktunya lebih banyak dicurahkan untuk membantu karier sang suami, yang sering terganggu lantaran sakit dan menderita depresi. Sering Clara harus menggantikan suaminya sebagai konduktor dan dia harus berhadapan dengan chauvinism para pemusik lelaki yang memandang sinis kemampuannya hanya karena dia seorang perempuan.
Hingga suatu hari Johannes Brahms masuk di tengah-tengah keluarga mereka. Johannes tak cuma muda dan tampan. Dia juga komponis dan pemain piano yang sangat berbakat. Pesonanya mampu memikat semua anggota keluarga. Robert sangat terkesan pada Johannes, dan dengan penuh gairah Robert meminta Johannes tinggal di rumahnya.
Awalnya anak muda ini cepat menyesuaikan diri, tapi tak lama kemudian dia jatuh cinta pada nyonya rumah dan keadaan pun menjadi sangat sulit. Cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Apalagi pemuda 20-an tahun itu tampil bak dewa penolong ketika kondisi keuangan mereka tergerus biaya pengobatan Robert.
Namun kondisi sang suami yang terus memburuk membuat Clara memendam perasaannya. Posisinya sebagai istri, ibu, dan perawat suami yang sakit, kerja, serta perasaan yang campur aduk terhadap Johannes, semuanya itu menguji kesetiaannya. Hanya lewat permainan piano, Clara mengungkapkan perasaannya.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo