Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Amuk Bandit Dar-Der-Dor

Perupa Decki Firmansah mengangkat fragmen film laga ke atas kanvas. Gambaran kekerasan secara hiperbolik yang menggemakan kemarahan publik.

7 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BRUTAL. Keji. Marah. Benci. Dendam. Senapan menyalak. Peluru berhamburan. Lelaki bertato. Cerutu membara. Knalpot api. Kilasan kesan dan gambar kekerasan itu berloncatan dari kanvas-kanvas yang tergantung di dinding galeri dan menyerbu mata pengunjung yang datang dalam pameran Monster Theatre yang berlangsung di Nadi Gallery, Puri Indah, Jakarta, pekan lalu hingga 8 Februari nanti.

Kekerasan itu juga terpampang dalam sebuah instalasi sederhana di bagian tengah ruang pamer lantai dua. Di situ tercogok sebuah sofa besar yang menghadap sebuah televisi. Lantai sekitarnya dipenuhi action toy berbentuk prajurit dan dinosaurus kecil berbagai warna. Seperti laba-laba, beberapa dari makhluk mungil itu seakan membangun sarang di sofa atau terbang di udara.

Tak ada yang duduk di sofa itu. Tapi layar televisi itu sibuk menampilkan potongan-potongan adegan aksi dan kekerasan yang diambil dari beberapa film Hollywood, seperti Machete yang dibintangi Danny Trejo, Crank yang dibintangi Jason Statham, Resident Evil yang dibintangi Milla Jovovich, dan beberapa film yang diangkat dari komik, seperti The Punisher, Spirit, dan X-Men.

Decki ”Leos” Firmansah, seniman yang membangun instalasi itu, memang keranjingan komik dan film laga. Perupa yang baru lulus dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu lantas mengangkat fragmen dari film laga yang dia saksikan itu ke dalam sejumlah lukisan yang kini dipamerkan.

Pameran dengan kurator Farah Wardani ini merupakan semacam kelanjutan dari pameran Freedom in Geekdom di galeri yang sama pada Februari 2009. Kala itu Leos bersama empat perupa lain segenerasinya, yakni Wedhar Riyadi, Uji Handoko, Iwan Effendi, dan Terra Bajraghossa, menampilkan hasil bengkel kerja mereka bersama Farah dalam bentuk instalasi dan lukisan. Mereka menemukan istilah geekdom untuk mendefinisikan praktek dan pendekatan seni rupa generasi mereka. ”Ketiadaan pretensi dan spontanitas adalah karakter utama karya para seniman ini. Mereka akan selalu kembali pada alasan esensial dalam berkarya: ’hanya karena kami menyukainya’, atau mudahnya ’hanya karena kami geeks’,” kata Farah.

Saat itu Leos sudah membuat beberapa lukisan yang mirip dengan yang dibuatnya sekarang, tapi dengan tema yang bercampur-baur. ”Dibanding pameran sebelumnya, memang ada kesinambungan dengan pameran saat ini. Keduanya sama-sama dari film, tapi pameran yang sekarang lebih mengerucut ke film aksi,” kata Leos.

Farah membenarkannya. ”Dulu lukisan Leos masih klangenan, masih semaunya. Kini karyanya lebih padat, lebih jelas konteksnya, tapi secara visual gayanya tak berubah. Gaya komik tanpa sadar sudah digunakannya sejak dulu,” katanya.

Leos mengaku bahwa sejak remaja dia memang suka komik dan membuat komik, meskipun, ”Saat memilih komik, sempat juga ada persoalan apakah ini lukisan atau bukan,” kata seniman kelahiran 1 Februari 1983 di Musi Rawas, Sumatera Selatan, ini. Tapi dia tetap memilih komik dan bahkan menerbitkan dua buku komik, Sketchbook Diary Vol. 1 dan Return the Loser Heroes, serta menyumbang karya untuk ”Mendadak Komik” di Gong Magazine.

Lukisan-lukisan Leos dalam pameran ini bergaya komik zaman dulu, yang kasar dan dengan warna cerah, mirip poster film di atas kain yang dulu dipajang di dinding bioskop. Sosok tokohnya umumnya menggambarkan bandit, yang kasar, bertubuh besar, berotot, bertato, dan memegang sepucuk senjata api, pistol, atau senapan mesin, yang juga antik, seperti jenis Tommy Gun yang dipakai para mafia dan gangster era 1920-an.

Bad Drama in Borderland, misalnya, menggambarkan adegan klasik tembak-menembak di antara dua bandit yang menunggang mobil truk kuno di bawah sebuah jembatan layang. Yang satu menembak dengan senapan di tangan kiri dan Tommy Gun di tangan kanan. Lawannya menembak dengan pistol. Ujung senjata mereka menyemburkan api. Knalpot mobil yang dikejar juga mengeluarkan api.

Namun Leos juga mencampuradukkan berbagai unsur film klasik ke dalam imajinasinya. Catch Me If You Can, misalnya, menggambarkan adegan seorang lelaki yang dikejar Godzilla dan King Kong, seperti muncul dalam film fantasi klasik lengkap dengan seorang perempuan yang digenggam oleh gorila raksasa itu.

Semua tokoh itu ”jahat” atau berperan antagonis dalam film. Namun semua adegan kekerasan itu tidak mengurai kekerasan itu sendiri. Dia hanya sebuah adegan, koreografi, atau posisi yang dibekukan. Farah menyebut ini sebagai ”ancaman kekerasan” karena kekerasannya sendiri belumlah terjadi.

Karya First Step to the New World mungkin contoh yang tepat untuk menggambarkan ancaman itu. Lukisan itu diilhami film Preman yang dibintangi oleh aktor laga Barry Prima dan Baron Hermanto. Di situ ada adegan seseorang, yang diwakili hanya dengan sepatunya, yang sedang menghadapi preman yang menghunus belati dan seorang lagi yang membawa palu. Latar dua bus dan menara berparabola mengingatkan kita pada suasana terminal. Di dekat bus itu muncul dua tengkorak putih, perlambang kematian.

Sebenarnya Leos melukis untuk mengungkapkan pengalamannya. ”Karya itu, misalnya, mengungkap pula pengalaman pribadi saya saat memasuki wilayah baru, saat lulus dari kampus dan harus berjuang menghadapi kehidupan nyata,” katanya.

Namun ia juga mengekspresikan masyarakatnya. Dalam Angry Society dia mencoba mewakili apa yang dirasakan oleh banyak orang, terutama generasinya, tentang perasaan tertekan yang absurd. Lukisan itu menggambarkan seekor anjing besar dengan gigi tajam berliur menetes. Matanya merah, tapi lehernya dirantai besi yang dihela seseorang di belakangnya. Masyarakat yang marah, mau mengamuk, tapi tak bisa. ”Baik masyarakat maupun polisi bisa bertindak kasar. Mungkin mereka frustrasi menghadapi keadaan sendiri: mau marah tapi tak tahu kepada siapa, bingung,” kata Leos.

Apa yang dipaparkan Leos adalah satu keping dari pandangan generasi sekarang dalam melihat dunianya, yang bercampur aduk, tanpa ideologi besar, penuh kepalsuan, dan membingungkan. Dia lebih mudah melihat komik atau film yang lebih jujur dalam mengungkap siapa kawan atau lawan, misalnya, dibandingkan dengan dunia nyata yang penuh kepalsuan dan tipuan.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus