Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAKSAMANA Cheng Ho turun ke tanah Sumatera. Ia disambut sebuah pesta. Ia memainkan seruling. Lagunya: Butet. Inilah pentas drama Cheng Ho yang diselenggarakan Lesbumi di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu. Lembaga kebudayaan NU ini ingin menunjukkan bagaimana pentingnya pengaruh Cheng Ho di Nusantara.
Saat pertama memasuki perairan Palembang, dikisahkan Cheng Ho dikuntit oleh perompak dari Cina bernama Chen Shuji. Cheng Ho yang diperankan Ray Sahetapy menangkapnya. Aktor Jepang, Suzuki Noboyuki, memerankan Shuji. Bahasa Indonesianya beraksen aneh. Tapi justru adegan dialog antara Ray dan Noboyuki cukup kuat.
Ray Sahetapy tampangnya sama sekali tidak mirip bangsawan Tiongkok. Aktor senior ini lama tidak berakting di panggung. Para pencinta teater mungkin menginginkan keaktoran Ray tumpah malam itu. Namun ternyata porsi permainannya hanya beberapa adegan.
Cheng Ho sejatinya tidak pernah menetap di tanah Nusantara. Ia hanya turun sebentar-sebentar. Namun ia meninggalkan para pengikutnya. Banyak cerita yang bisa digali di sini. Dengan aktor seperti Ray, Dorman Borisman, Sultan Shaladin, Rieke Dyah Pitaloka, serta supervisor Alex Komang, mestinya Lesbumi berani menyajikan tafsir sejarah yang lain.
Namun terlihat Lesbumi mengelak untuk serius. Pentas disajikan sebagai sebuah gado-gado humor. Pertunjukan ini dicampur unsur potehi yang dimainkan dalang edan Ki Enthus Susmono. Ia diberi porsi lama oleh tim sutradara: Agus Smoke, Artati, dan Suhandi.
Pentas dimulai dengan Enthus memainkan dua boneka menceritakan dua perwira Cheng Ho yang bosan berada di kapal dan terjadi perkelahian. Tangan Enthus demikian cekatan. Bonekanya seolah mahir memamerkan silat tangan kosong dan silat pedang. Enthus seolah mewarisi keterampilan dalang tua potehi Semarang seperti Thio Tiong Gie. Persoalannya, adegan Enthus ini terlalu lama. Orang bisa mengira ini pertunjukan solonya.
Kemudian pentas diisi selang-seling antara drama dan potehi. Ini strategi dramaturgi yang menarik bila saja sutradara ketat mengatur tempo. Lagi-lagi yang menjadi soal terlihat Enthus sering menonjol daripada dramanya. Adegan wayang potehi yang seharusnya menjadi ilustrasi malah menjadi bagian yang utama.
Padahal ada adegan-adegan drama yang bisa dikembangkan. Misalnya bagaimana paranoidnya para penguasa Dinasti Ming terhadap kudeta. Hingga banyak lelaki sedari kecil dikebiri. Termasuk Cheng Ho. Ia seorang kasim.
Kaisar Yongle dimainkan oleh Dorman Borisman. Inilah kaisar Dinasti Ming yang mengirim muhibah Cheng Ho. Dalam sejarah Dinasti Ming dianggap membebaskan rakyat Cina dari kolonisasi Dinasti Yuan (Mongol). Namun ternyata Yongle juga tiran yang memenggal sejarawan Fang Xiaro (Budi Tompel) dan pengikutnya yang tak mau menuliskan sejarah versinya. Adegan pemancungan ini ditampilkan dalam format potehi.
Di sini keliaran Enthus memuncak. Ia memainkan wayang potehi yang kepalanya bisa copot atau wayang yang bisa merokok. Ia mengeluarkan wayang bersosok Obama, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Rhoma Irama, yang ikut menyaksikan pemancungan. Terus terang sableng. Tapi sungguh melebar dari fokus.
Dikisahkan tatkala Cheng Ho mendekati perairan Jawa, ia mendengar terjadi perang saudara antara Blambangan dan Majapahit. ”Kerahkan 300 orang ke Blambangan. Cari tahu mengapa mereka bertikai dengan Majapahit!” perintah Cheng Ho dari atas kapal. Ia meminta pasukannya tidak bersenjata. Dan di daratan terjadi salah paham. Pasukan Majapahit menyerang pasukan Cheng Ho lantaran dikira membantu Blambangan.
Tidak diceritakan bagaimana kesudahannya. Sebuah versi mengatakan 100 lebih prajurit Cheng Ho mati, tapi Cheng Ho dan juga Kaisar Ming tidak membalas. Itu berbeda dengan saat Kartanegara memotong kuping seorang utusan Mongol. Penguasa Yuan marah dan mengirim kapal untuk menghukum Kartanegara.
Drama tidak sampai ke situ. Walhasil, biografi Cheng Ho hanya sekilas-sekilas. ”Siapkan sekoci. Salam Nusantara!” Saat Cheng Ho meniup seruling lagu Butet, sebetulnya itu adegan yang hangat. Tapi, begitu pulang, yang terkenang penonton bisa jadi hanya kegilaan Enthus.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo