Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak yang Bercakap dengan Tuhan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wendoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pastor dan sahabat yang budiman,
Hampir dua minggu ini pers memberitakan kecelakaan di paroki. Tentang seorang anak yang berlari ke luar gereja, lalu terlanggar mobil dan meninggal di tempat. Tak hanya koran-koran, kecelakaan itu juga diberitakan di tabloid, radio, bahkan televisi.
Pada hari-hari pertama setelah kecelakaan, banyak orang mendatangi paroki. Mula-mula polisi. Sebagai pastor paroki, aku dimintai keterangan. Polisi juga menanyai saksi-saksi, melakukan uji TKP, lalu menahan pengemudi mobil yang melanggar anak itu. Menurut pengakuan si pengemudi, anak itu tiba-tiba muncul dari kerumunan orang dan memotong laju mobilnya. Dia bisa mengerem, tapi terjadi benturan. Anak itu terlempar sekitar tiga meter, berguling, dan akhirnya meninggal di tempat.
Persoalan menjadi panjang karena mobil yang dikemudikannya adalah milik paroki.
Setelah polisi pergi, paroki dipenuhi wartawan. Makin lama makin banyak. Rupanya seorang umat merekam kejadian itu dan mengunggahnya di media sosial. Maksudku, kejadian setelah kecelakaan dan saat polisi mendatangi paroki. Mereka memotret, merekam gambar, mewawancarai beberapa orang—dan aku tak bisa mencegahnya. Sebetulnya tak lebih dari tiga jam setelah kecelakaan, wartawan sudah berdatangan. Hari itu lagi-lagi, sebagai pastor paroki, aku harus menjawab banyak pertanyaan. Sebagian adalah pertanyaan yang memojokkan, tapi lebih banyak lagi pertanyaan yang tidak berdasar.
Tentang pemberitaan itu, mula-mula muncul laporan pandangan mata di radio, lalu di televisi pada hari yang sama. Baru keesokan harinya muncul pemberitaan di koran-koran. Aku sempat menonton salah satu liputan di televisi—yang memperlihatkan reporter sedang berbicara, mobil yang melanggar anak itu, garis polisi, halaman konblok lengkap dengan bercak darah, lalu keterangan singkat dari polisi dan penjelasan dariku. Dua diakon memberi tahu tentang liputan di televisi lain, yang tak jauh berbeda.
Hari kedua setelah kecelakaan, koran-koran memberitakan penahanan pengemudi itu. Lalu televisi mengungkap tuntas profil pengemudi itu. Seakan belum cukup, tak lama giliran profil anak yang meninggal itu diungkap—lengkap dengan lingkungan tempat tinggalnya, kedua orang tuanya yang sedang berduka, dan disertai dengan wawancara singkat. Beberapa tabloid melakukan hal yang sama. Komentar-komentar terus bermunculan di media sosial. Lebih buruk lagi, sebuah stasiun televisi swasta—aku tak perlu menyebut namanya—membuat tayangan tentang masa lalu gereja dan mengaitkannya dengan hal-hal supranatural.
Kau tentu tahu, paroki ini punya sejarah yang muram. Pada masa lalu gereja, bahkan paroki, pernah dibakar dan menewaskan beberapa umat.
Pastor dan sahabat yang budiman,
Aku yakin kau sudah membaca, atau menonton, beberapa pemberitaan itu. Jadi aku tak perlu menerangkan lebih jauh. Harus kukatakan, aku menyesalkan semua ini. Kecelakaan itu dan pemberitaan sesudahnya. Bagiku, kejadian itu murni kecelakaan. Tapi yang diinginkan pers adalah berita, atau sensasi.
Aku sudah mengunjungi pengemudi itu di tahanan. Namanya Roberto. Dia menangis. Dia mengaku sangat kaget ketika anak itu memotong laju mobilnya. Dia sudah menginjak rem dan, meski laju mobil tidak kencang, kecelakaan itu tak bisa dihindari. Aku menghiburnya, lalu mengajaknya berdoa memohon perlindungan pada Bapa di Surga, Tuhan kita.
Aku juga harus berkata bahwa keadaan ini adalah pukulan lain kepada Gereja. Sudah bertahun-tahun kita seperti liyan di negeri ini. Jemaat kerap dilarang beribadat, atau diganggu saat beribadat. Ibadat Natal dan Paskah harus dijaga polisi. Beberapa umat dilarang tinggal di tempat-tempat tertentu. Banyak gereja dirusak, atau dibakar. Dan semua ini sudah berlangsung lebih dari lima puluh tahun.
Pastor dan sahabat yang budiman,
Tentu bukan itu maksudku menulis surat ini. Aku ingin bercerita padamu tentang anak yang meninggal itu. Selain yang sudah diungkap di televisi, hanya sedikit orang yang tahu. Di lingkungan paroki barangkali aku satu-satunya yang paling tahu.
Aku mengenal anak itu dua bulan lalu. Mula-mula seorang diakon yang menceritakan padaku. Katanya, ada anak kecil—umurnya mungkin 10 atau 11 tahun—yang hampir tiap hari datang ke gereja. Anak itu muncul menjelang tengah hari, masuk ke gereja, mencelupkan jari ke air suci, membuat tanda salib, lalu berjalan ke altar. Dia duduk di lantai altar, di depan Salib Kristus. Pertama-tama dia berdoa, lalu mulai berbicara dengan suaranya yang kekanak-kanakan.
Aku bertanya, apa yang dibicarakan anak itu? Kata diakon, soal-soal yang biasa saja, malah kadang terkesan lucu. Misalnya, anak itu pernah bercerita bagaimana dia terlambat bangun dan berlari menerobos gerbang sekolah yang hampir ditutup. Lain waktu dia bercerita tentang lelucon dari gurunya, yang membuat seisi kelas tertawa. Atau tentang kawan yang suka merundungnya di sekolah, pelajaran-pelajaran yang disukainya atau tidak disukainya, atau tentang gurunya yang galak dan yang baik. Dia selalu menutup ‘pembicaraan’ dengan mendoakan orang-orang yang dibicarakan itu.
Mulanya aku menanggapi dengan biasa saja. Namun, ketika informasi itu dua-tiga kali disampaikan padaku, aku berpesan agar aku diberi tahu jika anak itu muncul lagi di gereja.
Suatu hari aku melihatnya. Dia duduk sendiri di lantai altar dan mendongak ke Salib Kristus. Tubuhnya kecil, dalam balutan seragam sekolah. Rambutnya lurus dan kulitnya bersih. Dia seperti malaikat kecil di ruangan gereja yang agak temaram. Waktu itu dia bercerita tentang kawan yang dihukum berdiri di depan kelas, dan dia mendoakan kawan itu. Lalu katanya, dia bisa mengerjakan matematika hari itu dengan baik. Pada hari yang lain, dia mengeluhkan pelajaran keterampilan dan mainannya yang rusak. Kawan yang merusak mainannya tidak mau mengganti, tapi dia memaafkan dan mendoakan kawan itu. Pada hari yang lain, dia berkata seorang kawannya kehilangan uang. Seisi kelas diperiksa. Ternyata uang yang ‘hilang’ itu tertinggal di rumah. Esok pagi kawan itu meminta maaf pada guru dan seisi kelas.
Masih banyak yang diceritakannya. Suatu hari aku mendengar dia berkata kedua orang tuanya bertengkar. Tapi dia bersyukur karena mereka cepat berbaikan. Saat itulah aku mendekat dan menyapanya. Anak itu memandangku sejenak, lalu tersenyum, “Selamat siang, Padre.”
Pastor dan sahabat yang budiman,
Kita tahu, anak-anak cenderung tertutup. Anak-anak akan ragu, takut, atau lari menjauh ketika bertemu orang yang belum dikenalnya. Tapi anak itu berbeda. Dia masih anak-anak, tapi dia merespons kehadiranku dengan baik. Tidak ragu, apalagi takut. Namun aku tahu anak itu memendam masalah. Puluhan tahun melayani jemaat membuat aku peka terhadap banyak hal. Di balik senyumnya yang manis, aku tahu anak itu menanggung beban yang mengimpit.
Sejak itu aku mendekat tiap kali dia datang ke gereja. Tidak sulit mengajaknya bicara. Namanya Chicco. Umurnya 10 tahun. Dia tinggal agak jauh dari paroki, tapi paroki ini dekat dengan sekolahnya—sekolah yang dikelola pemerintah. Dia datang ke gereja seusai sekolah. Dia anak tunggal. Ayahnya sudah lama tidak bekerja. Dia tinggal di perkampungan sempit, tempat domba-domba yang tersesat—laki-laki dan perempuan—berkumpul. Perkampungan itu kotor, kumuh, dan kerap banjir. Di sana hampir tiap hari orang bertengkar atau saling mengumpat.
Tapi anak itu menceritakan semua ini dengan ringan—dengan suaranya yang kekanak-kanakan. Seolah semua ini bukanlah apa-apa.
Suatu hari aku bertanya apakah kedua orang tuanya ke gereja? Dia menjawab, tidak. Aku bertanya apakah kedua orang tuanya berdoa? Dia menjawab, Ayah tidak berdoa, tapi Ibu selalu berdoa. Aku bertanya, kenapa ibumu tidak ke gereja? Karena dilarang Ayah, katanya. Kenapa ayahmu tak ke gereja dan melarang ibumu ke gereja? Kata ayahnya, Gereja hanya kumpulan orang yang disatukan oleh ideologi. Gereja hanya sekumpulan orang dan Tuhan tidak hadir di sana. Gereja hanya tempat bagi orang-orang yang berbuat dosa setiap hari, lalu memohon ampun dan Tuhan akan mengampuni—seperti yang dijanjikan Tuhan. Gereja hanya tempat bagi orang-orang yang menistakan orang lain, tapi orang-orang itu dihormati dan duduk di bangku-bangku di sisi kanan altar karena mereka donatur gereja. Kata ayahnya, Tuhan juga mungkin hanya ada dalam Alkitab. Jika bukan begitu, Tuhan tidak peduli. Bagaimana bisa orang-orang busuk terus memupuk kekayaan dan disegani, sementara orang-orang yang benar—seperti keluarganya—terpuruk?
Aku mendengarkan anak itu dengan perasaan campur aduk. Aku kagum dia bisa mengingat dan menuturkan kata-kata ayahnya dengan baik. Selain itu, dia bercerita dengan ringan, dengan suaranya yang kekanak-kanakan. Seolah dia menghadapi semua ini dengan keriangan—hal yang membuat aku ingin tersenyum, tapi pada waktu bersamaan aku ingin menangis.
Pastor dan sahabat yang budiman,
Dari penuturan anak itu, aku tahu gereja yang dimaksudkannya bukan gereja kita. Tentang bangku-bangku di sisi kanan altar, itu bukanlah gereja kita. Jadi kedua orang tuanya bukan anggota jemaat Gereja kita. Tapi waktu itu aku berkata bahwa aku ingin berkunjung ke rumahnya.
Anak itu memandangku dengan mata berbinar-binar. “Ya, Padre! Datang ke rumahku!” Tetapi kesibukan menjelang Natal membuat aku tak bisa cepat berkunjung ke rumah anak itu. Banyak yang harus kuurus untuk menyiapkan misa.
Lalu, sehari sebelum Natal, aku melihat anak itu berbicara di depan Salib Kristus. “Kristus, esok Kau berulang tahun. Kado apa yang Kau inginkan dariku?” Aku tersenyum. Ya, esok memang Natal!
Ternyata hari itu adalah hari terakhir aku bertemu dengannya. Esok, seusai misa pagi, diakon memberi tahu ada kecelakaan di halaman gereja. Buru-buru aku berlari keluar. Kulihat anak itu tergeletak di teras gereja, dengan kepala berdarah. Seorang umat, yang rupanya dokter, berkata anak itu tidak tertolong.
Hari itu, hampir dua minggu lalu, ada tiga biarawati di gereja. Mereka ikut dalam misa pagi. Mereka menemuiku dan menangis. Seusai misa, kata mereka—ketika jemaat belum seluruhnya meninggalkan gereja—anak itu tiba-tiba berlari masuk sambil berteriak, “Kristus, selamat ulang tahun! Ini kado untuk-Mu!” Dan dia terus berteriak. Sebetulnya hanya itu yang diucapkannya, berulang-ulang, tapi disertai sorak-sorak lain. Ketiga biarawati itu menegurnya. Biarawati yang lebih tua bahkan sedikit memarahinya agar tidak berteriak-teriak di gereja. Anak itu terdiam, memandang dengan mata ketakutan. Lalu dia menatap pada jemaat di dalam gereja, yang balik menatapnya. Tiba-tiba anak itu menangis! Dia berbalik dan berlari keluar. Saat itulah kecelakaan terjadi.
Pastor dan sahabat yang budiman,
Kejadian-kejadian selanjutnya, kau pasti sudah tahu. Hari itu aku menyurati Uskup. Gereja memutuskan membantu sekaligus mengatur pemakaman anak itu. Tetapi orang tuanya tak mau dia dimakamkan di permakaman milik gereja.
Namun ada yang belum kuceritakan. Bahkan tak kutulis saat berkirim surat pada Uskup. Waktu aku melihat anak itu di teras gereja, aku juga melihat seorang umat yang bajunya bebercak darah. Dia yang mengangkat anak itu dari konblok halaman. Ada umat lain yang terus menelepon. Lalu aku melihat seorang laki-laki bersimpuh di teras gereja. Dia menggenggam tangan anak itu sambil mengusap rambutnya, seolah menenangkan. Laki-laki itu berambut panjang dan berjanggut. Pakaiannya putih, dengan jubah panjang yang juga putih.
Tertanda,
Sahabat yang mengasihimu.
***
Catatan
gereja: bangunan gereja
Gereja: kumpulan orang beriman
WENDOKO menulis puisi dan cerita. Buku cerpennya, Gerimis di Kuta, terbit pada 2018.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo