Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yapi Tambwayong*
Bulan ini orang merayakan 100 tahun Ismail Marzuki. Dewan Kesenian Jakarta akan menyelenggarakan seminar disertai pertunjukan karya pemusik Betawi ini di Taman Ismail Marzuki, 9 Mei 2014. Sebelumnya, Akademi Jakarta lebih dulu menyelenggarakan seminar sehari tentang cempiang musik hiburan ini di Hotel Gran Alia, Cikini, Jakarta Pusat, 16 Desember 2013. Kebetulan saya pembicara utama di dua seminar itu.
Hal penting yang saya kemukakan di sana adalah pertanyaan tentang mengapa pusat kesenian Jakarta bernama Taman Ismail Marzuki dan bukan Taman Raden Saleh. Padahal tanah yang dijadikan sebagai Taman Ismail Marzuki adalah tanah milik Raden Saleh, yang konon merupakan wakaf dari sang pelukis. Di balik latar belakang ini ada masalah serius yang kiranya patut dipikirkan kembali dengan jernih, dingin, tapi juga cendekia untuk melihatnya di atas aras rasa kebangsaan.
Acuannya, Ismail Marzuki kadung mempunyai catatan cemar yang mengganggu penghargaan tulus terhadapnya, yaitu menyangkut hak cipta karya orang lain yang diakui sebagai ciptaannya. Tapi, di luar itu, Raden Saleh merupakan pelukis besar Indonesia keturunan Arab dari Semarang yang oleh bakatnya malah mendapat penghargaan tinggi dengan gelar ningrat dari istana-istana Prusia (Jerman lama), Austria, dan Belanda (yang justru sedang menjajah Indonesia waktu itu) karena orisinalitas dan otentisitas dalam ciptaannya. Ini sesuatu yang bahkan tidak pernah dicapai pelukis Indonesia zaman sekarang.
Cacat pertama Ismail Marzuki adalah lagu yang diakui sebagai karyanya berjudul Hallo-hallo Bandung. Lagu ini bahkan dicantumkan dalam Piagam Widjajakusuma, yang ditandatangani Presiden Sukarno. Niscaya Pak Presiden kurang periksa bahwa lagu ini adalah ciptaan Lumban Tobing, prajurit Siliwangi, yang dinyanyikannya bersama peleton putra-putra Batak yang kembali dari hijrahnya di Yogyakarta ketika ibu kota negara pindah ke Kota Gudeg itu. Tobing sendiri terbunuh di Garut oleh laskar DI. Lukisan tentang dirinya bisa dilihat di Museum Kodam Siliwangi, Jalan Lembong, Bandung.
Judul Hallo-hallo Bandung sendiri dengan melodi yang berbeda muncul pertama kali di Bandung pada 1923, dinyanyikan oleh Willy Derby, penyanyi beken Belanda di Parijs van Java yang dipuja kalangan kareseh-peseh. Artinya, lagu ini sudah populer pada tahun itu ketika Ismail Marzuki baru berumur 9 tahun. Lagu ini kemudian dipakai sebagai musik pembuka untuk siaran radio Belanda di Bandung, Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM), pada 1926 untuk acara yang dipandu oleh Victor Ido bernama Indië in den Gouden Ouden Tijd. Kata-kata asli lagu ini adalah:
Hallo Bandoeng, Jamoe der hier ben ik
Dag liefste jongen, zegt ze met een snik
Hallo, Hallo, hoe gaat het oude vrouw
Dan zegt ze allen, ik verlang zo erg naar jou
Cacat lain Ismail Marzuki adalah pengakuannya sebagai pencipta lagu Ole-Ole Bandung. Padahal lagu ini merupakan nyanyian tentara Belanda KNIL voor de oorlog. Kata-kata yang disusun oleh Ismail adalah:
Kota Bandung adalah aslinya
Soal makanan tiada bandingnya
Untuk pemuda serta penghiburan
Tape dan oncom tiada saingannya
Ole-ole Bandung bikin mau
Eceu sama tulung (?), dst.
Sedangkan kata-kata asli lagu ini dalam bahasa Belanda yang dinyanyikan serdadu-serdadu KNIL adalah sebagai berikut:
Het is zo fijn in kota Bandoeng
Het is daar friesjes de wind
Komt van de goenoeng
Veel jongelui en nona wonen daar
Kota Bandoeng is goed
Voor pas getrouwd paar, dst.
Kemudian ada juga lagu Indo-Belanda berjudul Als die orchideeën bloeien yang sudah dimainkan dan populer pada 1922—artinya pada saat itu Ismail Marzuki baru berumur 8 tahun—ciptaan Belloni, pemimpin orkes berdarah Italia-Belanda yang mengelola orkes besar di Bandung pada 1922-1928 bernama Concordia Respavae Crestcun. Penyanyi perempuan yang pertama kali memasyhurkan lagu ini dalam rekaman piringan fonograf 78 RPM di bawah orkes Belloni adalah Miss Lee. Lagu berbahasa Belanda ini kemudian dibajak oleh Ismail Marzuki menjadi Kalau Anggrek Mulai Berbunga.
Yang paling celaka adalah dua lagu yang jelas-jelas tercatat hak ciptanya di Amerika dan di Inggris pada tahun pembuatannya diakui pula oleh Ismail Marzuki sebagai karyanya, yaitu Panon Hideung dan Auld Lang Syne. Lagu yang pertama disebut aslinya berjudul Dark Eyes atau Black Eyes, karya tradisional Rusia yang diperkenalkan di Indonesia oleh pemusik Rusia, Varvolomeyev. Hak cipta lagu ini di Amerika dicatatkan di inkorporasi Carl Fisher pada 1926 dengan nama Harry Horick & Gregory Stone. Ajaib, bisa-bisanya Ismail Marzuki mengatakan bahwa lagu ini dicipta khusus untuk Eulis Zuraidah, penyanyi tenar pada masanya yang kemudian menjadi istrinya. Demikian terbaca di Ensiklopedi Indonesia yang diterbitkan Ichtiar Baru-Van Houve dan Elsevier Publishing Projects.
Yang kedua adalah lagu Auld Lang Syne yang dicantumkan dalam piagam bernomor B-10671 dari Markas Besar Angkatan Darat Direktorat Perhubungan yang ditandatangani Brigjen Soerjadi untuk Ismail Marzuki. Padahal jelas lagu ini sudah dimasukkan ke lembaga hak cipta di Inggris pada 1799 melalui Preston & Son atas nama penulis lirik Robert Burns dari nyanyian tradisional bangsa Skot. Catatan tentang hak cipta ini bisa diperiksa dalam buku karya George Thompson, A Select Collection of Original Scotish Airs for the Voice.
Lain dengan Ismail Marzuki, maka Raden Saleh merupakan seniman Indonesia pertama yang dihormati di dunia Barat karena kemampuannya melukis obyek rumit yang sedang bergerak. Yang tak banyak orang tahu, selain sebagai pelukis di Eropa waktu itu, ia dikenal oleh kalangan ahli bahasa sebagai penerjemah yang memperbaiki teks terjemahan Alkitab bahasa Jawa yang dibuat Gottlob Brückner, pendeta Protestan asal Jerman yang dilengserkan dari Gereja Protestan di Semarang karena membaptiskan dua tentara Sir Thomas Raffles menurut cara Baptis Inggris di sungai sekitar Mberok.
Peninggalan paling penting Raden Saleh dalam kebahasaan adalah ciptaan matris huruf Jawa untuk percetakan. Ini dibuatnya bersama R. Ng. Puspowogo atas permintaan dan sponsor Nederlands Bijbelgenootschap. Salah satu bagian penting terjemahan Raden Saleh adalah ayat Injil Yohanes 19 : 38. Teks ayat bahasa Belanda yang diterjemahkan dari bahasa Yunani itu adalah tentang jenazah Yesus, yaitu "…Hij dan ging en nam het lichaam van Jezus weg." Kata "lichaam van Jezus" itu diterjemahkan sebagai "mayit Isa". Raden Saleh mengoreksinya. Menurut dia, secara Melayu, terjemahan "mayat Yesus" boleh saja—sebagaimana memang hal itu dilakukan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) saat ini: "Lalu datanglah ia dan menurunkan mayat itu". Tapi dalam perasaan Jawa, kata Raden Saleh, "mayit Isa" itu muradif dengan "bangkai Yesus". Maka koreksi Raden Saleh adalah sebaiknya teks yang dalam bahasa Inggrisnya adalah "He came therefore, and took the body of Jesus" itu dicari pilihan kata yang menurut dia santun, yaitu cukup "layone Gusti".
Demikian terjemahan bahasa Jawa sekarang dalam kitab suci terjemahan LAI digunakan Gereja Jawa, ayat ini dicetak sebagai "Yusuf tumuli sowan sarta ngukup layone". Demikian diuraikan oleh J.L. Sweelengrebel dalam In Leijdeckers Voetspoor (Anderhalveeeuwbijbelvertaling en taalkunde in de Indonesischetaalen), Verhandelingen 68, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV), Leiden, 1974.
Setelah melihat perbandingan ini, apakah nama Taman Ismail Marzuki masih terus bisa diabadikan ataukah perlu dipikir untuk ditukar dengan nama Raden Saleh, yang empunya tanah wakaf tersebut?
*) Novelis dan Penyair
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo