Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanah airku Indonesia
Negeri elok amatku cinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa
Begitulah penggalan lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki. Rayuan Pulau Kelapa salah satu lagu Ismail yang paling terkenal. Bersama karya Ismail lainnya, Indonesia Tanah Pusaka, lagu itu kerap menjadi tembang pembuka dan penutup siaran stasiun Televisi Republik Indonesia. Lewat lagu yang diciptakan pada 1944 itu, Ismail melukiskan tentang keindahan dan kesuburan pulau-pulau di Indonesia. Lagu bernapaskan cinta kepada tanah air ini menjadi satu di antara ratusan karya Ismail yang bertema nasionalisme dan perjuangan. Tema-tema itulah yang telah mengantarkan nama Ismail terkenal sebagai pencipta lagu perjuangan.
Menurut pengamat musik Suka Hardjana, Ismail merupakan generasi pertama tokoh musik Indonesia pada awal abad ke-20. Beberapa tokoh musik seangkatan Ismail antara lain W.R. Supratman, Kusbini, dan Cornel Simanjuntak. Mereka golongan terdidik dari sekolah Belanda. Generasi pertama ini besar ketika Indonesia dilanda semangat bersatu untuk merdeka, terutama setelah berdirinya Boedi Oetomo pada 1908. "Karena itu, mereka banyak menggubah lagu dengan tema ini dan sekarang dikenal sebagai pencipta lagu perjuangan," ujar Suka.
Saat itu sekolah Belanda, Suka menambahkan, telah memiliki kurikulum seni. Hanya, khusus seni musik, yang diajarkan lebih condong ke musik dan lagu yang bersifat hiburan, bukan musik klasik. Karena itu, pada angkatan ini, mereka menghasilkan lagu pendek dengan melodi sederhana yang enak didengar. Lagu-lagu ini dengan mudah diterima masyarakat waktu itu. "Dari perspektif politik-budaya, hal ini sangat mengakomodasi kondisi saat itu dan efektif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia," katanya.
Sejak 1931 hingga wafatnya pada 1958, Ismail Marzuki telah menciptakan lebih dari 200 lagu, melewati zaman penjajahan hingga masa tembang hiburan yang populer di Indonesia. Selain membuat lagu bertema perjuangan, seperti Indonesia Tanah Pusaka, Rayuan Pulau Kelapa, dan Bandung Selatan di Waktu Malam, Ismail menciptakan tembang pop yang dilantunkan para biduan hingga sekarang, misalnya Aryati, Juwita Malam, Sabda Alam, Jangan Ditanya, dan Kopral Jono. Menurut Suka, lagu-lagu Ismail tak berubah secara ekstrem dari masa ke masa. Dia tetap mempertahankan ciri khasnya. "Lagu-lagunya merdu dan romantis. Melodinya sederhana," ujarnya.
Hal senada disampaikan komponis Franki Raden. "Keistimewaan Ismail Marzuki terletak pada kepiawaiannya membuat melodi yang indah dan menawan. Melodi-melodi yang diciptakannya dengan mudah merasuk dan bertahan di ingatan pendengar," kata doktor etnomusikologi dari Manhattan School of Music, Amerika Serikat, ini. Menurut Franki, lagu seperti Indonesia Pusaka dan Rayuan Pulau Kelapa begitu mudah diingat oleh pendengar. "Tak semua pemain musik punya bakat membuat melodi seperti Ismail Marzuki."
Komponis yang pernah kuliah di Institut Kesenian Jakarta itu menilai ada hal lain yang membuat musik Ismail istimewa, yakni penulisan lirik. Maing—panggilan Ismail—amat memperhatikan keindahan lirik dalam lagu. "Pada masa dialah lirik indah berjaya. Setelah masa Ismail Marzuki lewat, tidak ada lagi yang bisa menandingi keindahan lirik seperti zaman dia," ujarnya.
Franki menduga kebiasaan para seniman dulu mempengaruhi gaya penulisan lirik lagu karya Ismail Marzuki. "Zaman dulu pembuat lagu dan penyair kumpul bareng. Ada yang namanya kelompok Senen. Mereka suka kumpul di sana. Pembuat lagu dan penyair jadi sering ngobrol dan bertukar pendapat. Itu pasti ada pengaruhnya," Franki menjelaskan.
Yapi Tambayong, atau populer dengan nama Remy Sylado, menemukan hal berbeda pada lagu-lagu ciptaan Ismail Marzuki. Penyair, novelis, dan musikus itu menuturkan, di antara ratusan lagu Ismail, dia menemukan beberapa lagu yang diakui sebagai karya Ismail tapi sebenarnya diciptakan oleh seniman lain. "Setidaknya ada empat lagu karya seniman lain yang diakui Ismail sebagai ciptaannya," ujar Remy (lihat kolom).
Remy mengatakan dia mulai menelisik lagu-lagu Ismail Marzuki pada 1984. Awalnya ia tak terlalu perhatian pada lagu-lagu Ismail Marzuki. Hingga suatu ketika sutradara film Edward Sirait menghubunginya. Edward diancam seseorang yang mengaku sebagai keluarga Ismail Marzuki. Orang itu menuntut hak cipta lagu Kalau Anggrek Mulai Berbunga. Lagu ini dilantunkan seorang pelakon dalam serial TV Keluarga Cemara arahan sutradara Arswendo Atmowiloto. "Saya bilang ke dia, tak usah hirau. Itu bukan karya Ismail, tapi diakui sebagai ciptaannya," kata Remy.
Remy menyatakan salah satu lagu karya orang lain yang diakui Ismail sebagai ciptaannya adalah Hallo-hallo Bandung. "Lagu ini bukan karya dia, melainkan Lumban Tobing, tentara Siliwangi. Bersama teman-temannya, Tobing menyanyikan lagu itu saat hijrah ke Yogyakarta," ujarnya. Remy menyayangkan kecerobohan serius yang dilakukan Ismail Marzuki tersebut. "Pengakuan itu seperti nila setitik rusak susu sebelanga. Merusak integritas dia sebagai seniman."
Meski kritis terhadap lagu-lagu karya Ismail, Remy tetap menaruh hormat kepada pencipta lagu kelahiran Kwitang itu. Ismail termasuk orang-orang terpilih di zamannya. "Dia membuat lagu-lagu yang dikenang banyak orang," ucap pria berambut perak itu.
Sementara Remy Sylado meyakini Ismail melakukan plagiasi, Suka Hardjana menilai sebaliknya. Suka mempercayai Ismail tidak melakukan hal yang dituduhkan Remy. "Tidak mungkin Ismail Marzuki melakukan hal itu," katanya. Dia mencontohkan lagu Hallo-hallo Bandung yang diduga Remy sebagai lagu jiplakan. Suka menilai tak adil jika hanya membandingkan dari satu lagu ini. Apalagi angkatan pertama musik Indonesia memang banyak menciptakan lagu mars.
Suka juga yakin Ismail tak menjiplak lagu luar negeri. Menurut dia, saat itu memang banyak lagu Amerika Latin atau Belanda yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Tak jarang aransemen lagunya diubah karena instrumen musik di Indonesia masih terbatas.
Menurut Suka, ada kemungkinan masyarakat salah mencantumkan kredit lagu tersebut sebagai ciptaan Ismail Marzuki. "Karena Ismail selalu menuliskan siapa penciptanya ketika menerjemahkan lagu dari luar negeri," ujarnya. Tuduhan plagiasi, tutur Suka, merupakan tuduhan berat yang dengan mudah dilakukan oleh siapa pun. Namun tidak ada yang benar-benar mau membuktikan secara layak. "Harus dilihat dari beat per beat, nada per nada, chord per chord."
Komponis Slamet Abdul Sjukur tak mau banyak berkomentar tentang lagu dan musik karya Ismail Marzuki. Ia menghormati Ismail sebagai salah satu tokoh musik Indonesia yang cukup penting pada masa perjuangan. "Dia penting karena semangat kebangsaannya," ujar Slamet saat dihubungi lewat telepon.
Dian Yuliastuti, Ratnaning Asih, Ananda Badudu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo