Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Antara Seni Rupa Individual dan Komunal

Dua kelompok perupa yang berlawanan secara ideologis menggelar pameran seni rupa publik. Karyanya mendobrak kecenderungan kepemilikan individual dalam seni rupa.

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENI RUPA PUBLIK
Waktu:7 Juli-tak terbatas
Karya:Perupa Apotik Komik dan Taring Padi
SUATU siang yang terik di Malioboro. Seorang penjual rokok heran ketika tujuh orang berpakaian wear-pack memasang gambar-gambar dari kertas karton sepanjang 30 meter pada dinding bangunan pertokoan yang sudah dibongkar. "Gambar itu untuk apa?" tanya Parmin, sang penjual rokok itu. Pertanyaan itu mungkin terjawab oleh poster panjang itu, mungkin juga tidak. Selasa pekan lalu, di tengah arus lalu-lintas Jalan Perwakilan, Yogyakarta. Jalan ini adalah salah satu jalan keluar dari Malioboro. Aksi ini menarik perhatian khalayak. Pejalan kaki menyempatkan diri menoleh ke jejeran gambar di sepanjang dinding itu. Ada pula yang berhenti, lalu melontarkan pertanyaan model Parmin tadi. Mungkin itu reaksi yang unik dan belum tentu dijumpai jika poster itu digelar di sebuah ruang galeri. Ia memang karya seni rupa publik yang digarap oleh tujuh perupa yang tergabung dalam kelompok Apotik Komik. Selain itu, sekelompok perupa dari Lembaga Budaya Kerakyatan "Taring Padi" memasang dua poster kain di tengah keramaian Jalan Malioboro. Dua karya seni rupa publik dari dua kelompok perupa yang berbeda ini memberikan gambaran kecenderungan yang bertolak belakang secara ideologis. Kelompok Apotik Komik cenderung berekspresi dengan pencitraan elemen visual yang bercorak individual. Sebaliknya, kelompok Taring Padi sangat terinspirasi oleh gagasan kolektif yang membuat peran individu menjadi konsep yang periferal. Kelompok Apotik Komik berekspresi dengan menggunakan gaya visualisasi komik yang tidak konvensional. Mereka membentuk figur-figur manusia yang sudah dipiuhkan (dideformasi) dari bahan karton yang digambari dengan tinta cina, sehingga menghasilkan figur yang terkesan aneh. Lewat pameran ini, mereka ingin menyampaikan komentar terhadap kondisi kemanusiaan di Indonesia belakangan ini dengan tema besar "Sakit Berlanjut". Kelompok Apotik Komik menggambarkan tragedi kemanusiaan lewat simbol-simbol yang diupayakan lebih komunikatif. Misalnya pada karya Popok Tri Wahyudi, tema diterjemahkan lebih verbal dengan menampilkan sederetan gambar figur manusia yang mencitrakan gerakan. Figur-figur yang dicitrakan sebagai paramedis membawa cairan infus dengan sejumlah teks: obat diam, obat batuk, obat gagap, dan obat gatal. Ada gambar orang yang didorong di atas kursi roda sembari membawa cairan infus, dan diakhiri dengan gambar orang yang diusung dengan tandu yang juga membawa cairan infus. Pada karya Arie Diyanto dan Samuel Indratma, simbol-simbol yang muncul tampak lebih rumit. Arie mencoba berbicara tentang kekerasan yang terjadi dalam masyarakat lewat figur-figur yang tampak aneh, dan ini ditegaskan dengan hadirnya teks "Indonesia Overkill". Sementara itu, karya Samuel mengeksplorasi bentuk-bentuk imajinatif yang bersumber dari bentuk figur manusia. Karya ini memang dimaksudkan agar memiliki bobot pesan yang diharapkan bisa diterima oleh khalayak yang menyaksikannya. "Kami menginginkan pesan bisa sampai ke khalayak," ujar Samuel Indratma. Tapi, selain karya Popok yang lebih naratif dengan makna simbolis yang lebih mudah dicerna, karya perupa lainnya (Bambang Toko, Anna Blume, Sisdaryono, dan Rico Emor) masih menggunakan metafora yang sangat pribadi. Sayang, karya ini kurang mengolah elemen yang bisa menarik perhatian. Mungkin itu karena mereka hanya menggunakan warna monokrom (cokelat, hitam, dan putih) di atas dinding luas berwarna putih. Padahal, sebagai karya yang memiliki bobot pesan di tempat terbuka (public space), faktor eye-catching harus diperhitungkan. Untuk menarik perhatian, para seniman bisa saja menggunakan warna yang kuat atau menggunakan ukuran obyek yang besar. Hal yang menarik dari seni rupa publik versi Apotik Komik ini, karyanya yang berupa poster sepanjang 30 meter itu boleh dimiliki siapa saja secara cuma-cuma, dan boleh dicabut kapan saja. Karena itulah, batas waktu "pameran" itu tergantung pada siapa pun yang ingin mengambil dan menyimpannya. Adapun karya poster kelompok Taring Padi justru tampil dengan pengolahan elemen rupa yang terkesan garang dan provokatif. Pesan digarap dengan sangat verbal, sehingga mencerminkan sebuah medium komunikasi (propaganda). Ada sebuah poster yang dipampangkan persis di depan Gedung DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang menggambarkan sekerumunan babi yang mengenakan topi baja dan sepatu lars militer, dikerangkeng dalam sebuah usungan. Beberapa figur manusia bercaping, berkopiah, dan ada pula yang mengenakan baju kaus bertuliskan "Persatuan Buruh Becak". Tampak visualisasi kerumunan figur itu mewakili kelompok masyarakat bawah. Di tengah kerumunan itu, muncul sosok berpakaian hitam dengan balon teks berbunyi "Koalisi rakyat sipil demokratis. Hapuskan 38 kursi gratis di DPR MPR". Teks lain semakin memperkuat unsur propaganda poster ini: "Demokrasi sejati adalah tanpa militer". Hal yang senada juga muncul pada poster kedua yang dipasang di muka Malioboro Mall. Tiga figur berkepala babi dengan tangan terikat di belakang dan lidah menjulur digiring oleh kerumunan massa yang juga mencitrakan masyarakat kelas bawah. Metafora babi itu ditujukan pada penguasa lama, yang mengasumsikan koalisi militer, pedagang, dan birokrat pada masa lalu adalah musuh rakyat yang harus dibasmi. Unsur propaganda semakin jelas dengan teks di tengah-tengah kanvas bertuliskan "Rakyat Indonesia antikapitalisme, antimiliterisme, antifeodalisme" di atas meja panjang, seolah menggambarkan suasana suatu pertemuan. Penyajian pameran kedua kelompok ini sangat menarik karena muncul dalam kecenderungan yang bertolak belakang. Meski keduanya menggarap tema yang sama, kelompok Apotik Komik dan Taring Padi menggunakan pendekatan yang berbeda secara ideologis, yang kemudian terwujud dalam ekspresi keseniannya. Kelompok Apotik Komik muncul dengan semangat individual dan menggunakan bahasa rupa yang lebih metaforis, sedangkan kelompok Taring Padi memperlakukan elemen rupa sebagai elemen komunikasi yang bersifat propaganda sembari menunjukkan semangat kolektivitas. Kelompok Apotik Komik, sebagaimana perupa lainnya, mencantumkan setiap nama perupa pada karyanya, sementara kelompok Taring Padi hanya mencantumkan nama lembaga. Kuatnya elemen propaganda dalam karya poster kelompok Taring Padi ini bisa dimengerti. Mereka adalah perupa muda yang aktif dalam aksi-aksi demonstrasi mahasiswa radikal di Yogyakarta sebelum Soeharto jatuh. Dan secara ideologis, kelompok ini sangat terinspirasi dengan gagasan sosialisme. Taring Padi menyebutkan bahwa tujuan kelompoknya adalah menumbuhkan sikap kritis, progresif, solutif, dan revolusioner di kalangan masyarakat lewat karya seni. Secara provokatif, mereka juga menyebutkan "lima iblis budaya" yang harus dilawan, antara lain lembaga seni yang menganut paham seni untuk seni, dan pemerintah yang memperlakukan seni dan budaya sebagai komoditas. Karya poster kelompok ini mengingatkan kita pada bentuk poster-poster pembangunan pada masa rezim Soeharto, yang berbau propaganda. Khalayak sama sekali tidak diberi kesempatan memberi makna alternatif terhadap isu yang disodorkan. Gaya berekspresi semacam ini pernah dikembangkan oleh Diego Rivera, seniman Meksiko yang pemikirannya dianggap kekiri-kirian, lewat karya seni rupa publik berupa lukisan mural. Bagi Diego Rivera, mural adalah bentuk kesenian yang paling penting dalam memperjuangkan hak-hak kaum proletar. Di Rusia, lukisan mural yang bercorak propaganda menghiasi dinding-dinding kantor serikat pekerja dan dinding pabrik. Keberadaan kelompok Taring Padi terasa ironis ketika realitas empiris menunjukkan bahwa gerakan kiri sudah bangkrut dan sisa-sisanya sudah larut dalam liberalisme, dan bahkan kapitalisme sekalipun. Lihat saja bagaimana gerakan sosial demokrat di Eropa adalah bagian yang tak bisa lepas dari cengkeraman kapitalisme global. Tapi, tentu kita harus ingat, mereka juga punya hak hidup di negeri ini. R. Fadjri (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus