Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Apa Itu Dark Jokes? Tantangan Komika Angkat Isu Sensitif dalam Balutan Humor

Dark jokes atau humor gelap biasanya dibawakan komika dalam materi komedi. Isu sensitif yang dibawakan, tak jarang menimbulkan pro dan kontra.

18 Februari 2022 | 16.01 WIB

Stand Up Comedian Ernest Prakasa tampil menghibur penonton yang menyaksikan panggung Tujuh Hari Untuk Kemenangan Rakyat di Teater Salihara, Jakarta,  19 Juli 2014. Pagelaran ini menampilkan tujuh Stand Up Comedy diantaranya Arie Kriting, Soleh Solihun, dan Mongol Stres. TEMPO/Nurdiansah
Perbesar
Stand Up Comedian Ernest Prakasa tampil menghibur penonton yang menyaksikan panggung Tujuh Hari Untuk Kemenangan Rakyat di Teater Salihara, Jakarta, 19 Juli 2014. Pagelaran ini menampilkan tujuh Stand Up Comedy diantaranya Arie Kriting, Soleh Solihun, dan Mongol Stres. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -  Dark jokes atau humor gelap dapat dipahami sebagai salah satu jenis Stand Up Comedy yang mengambil isu sensitif sebagai bahan komedi. Kini, jenis lelucon itu kian populer, terutama di Indonesia. Sebut saja komika Coki Pardede dan Tretan Muslim yang sering menggunakan jenis komedi ini. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengingat isu yang dibawakan terkesan sensitif, seperti tentang agama, politik, hingga disabilitas, sering kali memunculkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, terdapat desakan untuk diperlukannya garis batas antara lelucon dan ungkapan yang mungkin menyinggung kelompok tertentu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Lalu, seperti apa itu dark jokes? 

Menurut Sigmund Freud, seorang ahli psikologi dalam esainya Der Humor, memaparkan bahwa dark jokes adalah ego menolak untuk tertekan oleh provokasi realitas yang memaksa dirinya untuk menderita. Ego tersebut bersikeras untuk tidak dipengaruhi oleh trauma dari luar. Nyatanya, trauma seperti itu tak lebih dari usaha untuk mendapatkan kesenangan. 

Istilah “Dark Jokes”, mulanya tidak digunakan dalam panggung Stand Up Comedy. Dalam buku Anthologie de l'humour noir yang ditulis oleh surealis Perancis, Andre Breton menuliskan, pada 1960 dark jokes umum digunakan pada karya-karya sastra seperti novel. Misalnya, novelis Nathanael West menyinggung soal kengerian Perang Dunia II dengan irasionalitas lucu pada kebodohan sistem militer. 

Seiring berjalannya waktu, dark jokes lalu diaplikasikan dalam seni pertunjukan, mulai dari pentas drama hingga saat ini ke Stand Up Comedy. Pro dan kontra yang sering terjadi, yakni ketika salah satu pihak tersinggung akan muatan daripada dark jokes ini. Seperti yang dipaparkan di atas, dark jokes memang sering kali mengarah pada pada ketidakadilan, seperti rasisme dan seksisme, bahkan hingga mengarah ke keyakinan dalam beragama. 

Lelucon seksis ini, berpotensi memicu kondisi sosial yang dipenuhi nuansa diskriminasi. Alih-alih menertawakan penderitaan untuk mendapat rasa senang, komedi semacam ini justru bisa menjadi penderitaan tersendiri terhadap kelompok rentan. Oleh karena itu, seorang komika harus memperhatikan yang ditimbulkan sebelum membawakan dark jokes ke khalayak ramai.

HARIS SETYAWAN 

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus