Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Buruh kita

Industri modern tumbuh pesat. banyak yang memasuki lapangan kerja di indonesia. karena posisi pengusaha lebih kuat dari tenaga kerja, banyak buruh menderita dan hidup di bawah standar.

8 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 30 tahun yang silam, pada zaman Orde Lama, mereka disebut sebagai salah satu "sokoguru revolusi Indonesia", bersama petani, pemuda, dan angkatan bersenjata. Maka, buruh pun punya peranan yang sangat besar, dan ikut aktif dalam hampir semua kegiatan -- termasuk politik. Namun, yang paling menonjol adalah kegiatan politik SOBSI, organ buruh PKI, yang merupakan serikat buruh terbesar waktu itu. Orde Lama tumbang dan Orde Baru lahir. Tatanan baru yang muncul kemudian tidak menghendaki kegiatan-kegiatan politik buruh. Stabilitas sangat diperlukan, apalagi untuk mengundang dan merayu para penanam modal asing yang dipersilakan masuk lewat Undang-Undang Penanaman Modal Asing, 1967. Buruh pun dilarang mogok karena dianggap bisa mengganggu stabilitas nasional. Bahkan, istilah buruh dianggap "kiri", dan diganti dengan istilah yang lebih manis: karyawan atau pekerja. Mereka dianggap "partner" pengusaha dalam proses produksi. Maka, lahirlah hubungan Industrial Perburuhan Pancasila, yang mengatur hubungan tripartit, tiga pihak yang berkepentingan dalam produksi: pengusaha, pemerintah, dan pekerja. Konsekuensi lain dari aturan main yang baru ini adalah disatukannya berbagai organisasi kaum buruh, mula-mula dalam bentuk federasi, kemudian dalam sebuah serikat. Federasi Buruh Seluruh Indonesia pun diganti dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Tahun-tahun berlalu. Industri modern semakin banyak tumbuh di Indonesia. Tiap tahun, berjuta-juta orang muda Indonesia memasuki lapangan kerja. Sebagian ditelan pabrik-pabrik. Sebagian lain terus menggelandang mencari kerja, yang ternyata terus saja menjadi barang langka. Banyaknya tenaga kerja yang tersedia itu dengan sendirinya melemahkan posisi mereka. Penawaran lebih besar daripada permintaan. Pengusaha dengan gampang bisa mengganti buruh yang "rewel" dengan mereka yang manis, dari barisan berjuta orang yang menanti. Tampaknya, posisi pengusaha yang lebih kuat itulah yang kini mengakibatkan derita banyak pekerja Indonesia: upah di bawah standar, kondisi dan fasilitas kerja yang memprihatinkan, hambatan untuk membentuk unit serikat pekerja, serta ratusan hal yang lain. Celakanya, tak semua derita itu terungkap dalam media massa. Hanya sesekali kita dikejutkan oleh ungkapan-ungkapan dramatis, seperti buruh-buruh yang disekap majikannya, atau anak-anak yang dipekerjakan di luar kemauan mereka. Munculnya berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang khusus membantu para buruh patut dicatat. Mereka ikut mendidik para buruh untuk lebih mengerti hak dan kewajiban mereka karena ternyata tak banyak buruh yang menyadari hak-hak mereka. Serikat pekerja ternyata juga belum bisa berperan sebagaimana yang diharapkan. Apalagi hanya sekitar 10 ribu dari 25 ribu perusahaan Indonesia yang memiliki unit SPSI. Secara umum, nasib buruh Indonesia dapat dikatakan masih di bawah standar. Sementara kehidupan ekonomi kita, berkat pembangunan nasional, semakin meningkat. Kita tak usah melihat jauh. Tengoklah bagaimana para buruh berhamburan keluar dari pabrik di saat jam istirahat, bagaimana mereka makan jongkok di pinggir got dengan nasi dan lauk tempe atau tahu saja. Atau tengoklah tempat tinggal sebagian besar mereka yang sumpek dan kumuh. Memang ada perusahaan yang cukup baik memperlakukan buruhnya, tapi mereka adalah minoritas. Sebagian besar buruh kita tetap saja merupakan warga negara kelas dua. Jam kerja yang panjang (karena lembur yang wajib atau tidak) membuat mereka seperti tertawan dalam kehidupan rutin yang membosankan dan menekan. Celakanya, mereka seperti tak tahu ke mana harus berpaling dan berharap. Jelas, kita semua ingin memperbaiki nasib mereka. Pada zaman ketika hak-hak asasi dikibarkan tinggi-tinggi seperti sekarang ini, pada zaman ketika ditekankan bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, kita tidak bisa begitu saja membiarkan sebagian saudara kita tetap hidup papa. Memperagakan mereka sebagai tenaga kerja yang murah untuk merayu agar investor asing datang bukanlah kebijaksanaan yang perlu diperpanjang. Apalagi dari berbagai penelitian terungkap bahwa produktivitas buruh Indonesia masih rendah. Apalah artinya tenaga kerja murah jika produktivitasnya rendah. Para buruh kita adalah bagian dari bangsa yang seharusnya ikut menikmati hasil dari pembangunan nasional kita. Susanto Pudjomartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus