Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Asri, Tubuh, dan Eksperimen Video

Menggunakan empat kamera video, koreografer Asri Mery Sidowati mencoba mengangkat problem tubuh perempuan.

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diiringi lagu India, Chaiyya Chaiyya, yang kini sedang populer, dua perempuan berbalut gaun mini setengah paha dan sepatu hak tinggi itu langsung mengundang perhatian. Dengan gaya kenes, mereka merayu penonton agar membeli telepon seluler terbaru, yang gambarnya terpampang pada layar monitor, lengkap dengan tulisan "Tekan *666# (Call/Yes)".

"Hand phone yang saya pegang ini bodinya sangat ramping, sama seperti saya. Bisa dibuka, ditutup, juga bisa ditidurin, lo," kata mereka berpromosi, layaknya gadis-gadis sales promotion girl."HP ini juga sangat tahan lama. Ayo, Saudara, tinggal ketik bintang enam enam enam pagar, saya akan melayani Anda. Kita tunggu ya¡¦ daah."

Kehadiran dua pramuniaga seksi dengan ucapan-ucapan setengah menjurus ini menjadi sajian pembuka pentas tari Image karya Asri Mery Sidowati, yang digelar di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu dan Ahad dua pekan lalu.

Penata tari ini ingin berbicara mengenai betapa susahnya perlawanan tubuh perempuan atas konstruksi sosial masyarakat. Ia menghadirkan adegan-adegan cukup berani di panggung. Empat penari perempuan dengan pakaian yang lebih mirip gaun tidur yang minim. Mereka tidur telentang, bergerak sesuka hati mereka, tak peduli bila baju yang dikenakan tersingkap.

Di sudut panggung, seorang perempuan tampak berdiri bertolak pinggang sambil mengembuskan asap rokok. "Memangnya kenapa kalau perempuan mengenakan baju seksi, merokok, atau pulang malam?" katanya. Tapi ke mana pun para perempuan itu bergerak, sorot lampu panggung yang membentuk segi empat membatasi ruang gerak mereka.

Asri menggunakan empat kamera video, yang diletakkan di setiap sisi panggung, sebagai properti utama pementasannya kali ini. Kamera itu merekam seluruh adegan di atas panggung, dan hasilnya langsung tersaji pada layar monitor raksasa yang melatari panggung. Ini merupakan upaya Asri mengandaikan tubuh-tubuh perempuan yang mengalami fragmentasi. "Itu untuk menunjukkan bagaimana tubuh digunakan untuk kepentingan-kepentingan di luar fungsi tubuh itu sendiri," ujarnya.

Untuk membangun dramaturgi, pada awal pementasan, penonton disuguhi adegan pemotretan. Salah seorang penari berperan layaknya seorang fotografer memotret tiga penari lainnya dalam berbagai pose. Para penari yang menjadi obyek foto dituntut tampil cantik meskipun sejatinya mereka sudah lelah. Jadi, begitu fotografer menghilang ke balik panggung, tubuh ketiganya langsung terkulai di lantai, dan berusaha tampil seprima mungkin begitu sang fotografer muncul kembali. "Ups," teriak seorang penari sambil merapatkan kakinya. Dia seolah sadar, bagi perempuan, haram hukumnya duduk mengangkang. Di akhir sesi pemotretan itu, sang fotografer dengan gaya centil malah sibuk memotret dirinya sendiri. Dengan kameranya itu, berkali-kali dia juga memotret para penonton.

Asri juga menggunakan sebuah kamera mini yang dipegang seorang penari. Dengan kamera itu, dia menelusuri inci demi inci lekuk tubuhnya, mulai jari-jari kaki, perut, belahan dada, sampai isi mulutnya. Di layar monitor kita bisa menyaksikan bagian pangkal lidah dan anak tekak yang bergoyang-goyang. "Ini bagian dari eksperimenku dengan kamera," tuturnya.

Image sangat berbeda dengan karya Asri sebelumnya: Merah (2008). Merah, hanya ditarikan dua orang, tanpa banyak melakukan gerak, demikian sederhana tapi sublim. Sedangkan Image cerewet.

Meskipun demikian, sebagai sebuah tontonan, Image menarik. Di akhir pertunjukan berdurasi sekitar satu jam itu, kita menyaksikan, perlahan-lahan para penari itu melepaskan rok yang mereka kenakan.

"Tubuh yang kita miliki adalah hak prerogatif kita. Kita bebas melakukan apa saja terhadap tubuh yang kita miliki," kata Asri pede.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus