Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAF & The Baader Meinhof Complex
Penulis: Stefan Aust
Penerbit: Abdi Tandur
Edisi: I, Maret 2011
Tebal:1 xxii + 551 hlm
Hari menjelang pagi. Hans Rudolf Springer, sipir malam di penjara Stammheim, Stuttgart, lega. Sebentar lagi ia bisa pulang ke rumah untuk tidur nyenyak.
Nyatanya tidak. Kepulangan Springer terhalang kepanikan yang pecah pagi itu, saat sipir pengganti membuka Sel 716, mengantarkan sarapan roti dan telur rebus. Di dalam sel, tubuh Jan-Carl Raspe bersandar di dinding. Darah mengucur dari kepalanya yang terkulai.
Para sipir bergegas menuju Sel 719 dan mendapati Andreas Baader membujur di genangan darah. Di Sel 720, tubuh Gudrun Ensslin dingin menggantung. Irmgard Moller meregang nyawa di Sel 725.
Anak-anak muda 30-an tahun itu mewujudkan keyakinan Ulrike Meinhof: "Bunuh diri adalah tindakan pemberontakan terakhir." Mereka agaknya telah berencana menjemput kematian, suatu saat. Meinhof kerap mengutip drama Bertolt Brecht, Die Massnahme: "Membunuh adalah hal yang mengerikan/ Tapi kami tak hanya akan membunuh orang lain/ Kami juga akan membunuh diri sendiri bila perlu/ Agar dunia dapat diubah dengan kekuatannya sendiri, seperti yang diketahui setiap orang yang hidup." Meinhof, setahun sebelumnya, 1976, gantung diri di selnya.
Baader dan Meinhof adalah bagian generasi yang, seperti digambarkan Stefan Aust, menghadapi kesukaran dalam menyikapi masa lampau bangsanya. Kira-kira 20 tahun seusai Perang Dunia II, dunia belum jauh membaik. Kaum muda Jerman marah atas kegagalan de-Nazi-fikasi. Mahasiswa mengusung aksi-aksi oposisi ekstraparlementer. Kematian Benno Ohnesorg dalam protes menentang kunjungan Shah Iran Reza Pahlevi memicu kerusuhan, 2 Juni 1967, dan meradikalisasi gerakan mahasiswa.
Suasana itu merupakan bagian dari pergolakan sosial di mana-mana. Di tengah kesimpangsiuran zaman, tulisan Jrgen Habermas, Herbert Marcuse, Frantz Fanon, dan Antonio Gramsci memberi pencerahan. "Hanya kelompok marginal mahasiswa dan kaum miskin bersama kaum pekerja," tulis Marcuse, "yang mampu melawan sistem secara efektif."
Di musim semi 1968, setelah membakar dua toko serba ada di Frankfurt sebagai protes atas serangan Amerika Serikat ke Vietnam, Baader tertangkap. Keterlibatan Meinhof dimulai saat ia membebaskan Baader dari bui, lari ke Yordania, dan mengikuti latihan gerilya di kamp Palestina. Kembali ke Jerman, mereka memulai "perjuangan anti-imperialis", beraksi seperti uraian revolusioner Brasil, Carlos Marighella (Minimanual of the Urban Guerrilla, 1969): "Gerilya kota mengikuti tujuan politik, dan hanya menyerang pemerintah, bisnis besar, dan imperialis asing¡¦."
Pada 1970, manifesto yang ditulis Meinhof mengukuhkan terbentuknya Rote Armee Fraktion (RAF) atau Faksi Tentara Merah. Baader, anak tunggal doktor sejarah, berusia 27 tahun saat itu, memimpin kelompok ini. Setelah serangkaian aksi yang mengguncang, mereka tertangkap. Tapi perlawanan tetap berlangsungdi ruang sidang, di sel-sel lewat aksi mogok makan, serta di luar penjara lewat penculikan, penyanderaan, dan pembunuhan.
Stefan Aust merekonstruksi pemberontakan Baader-Meinhof dengan menyingkap sisi-sisi manusiawinya, kegelisahan mereka, pertentangan di antara mereka, dan lelucon mereka. Sayangnya, penggarapan edisi Indonesia yang melelahkan untuk dibaca mencederai karya berharga ini.
Sebagai karya evolutif, buku yang diterbitkan pertama kali delapan tahun sesudah peristiwa bunuh diri di Stammheim ini direvisi pada 1997. Setelah dua Jerman bersatu, Aust menulis ulang dan menerbitkannya pada 2009. Perkenalan pribadinya dengan Jan-Carl Raspe dan Meinhofsebagai jurnalis muda, Aust kerap menulis bersama Meinhof di majalah politik Konkretmemperkaya perspektif Aust. "Saya tidak mempercayai ideologi," ujarnya.
Lewat rekonstruksinya yang mendetail dan hidup, Aust menunjukkan aktivitas teroris tumbuh hanya ketika ada gerakan yang lebih besarkiri, kanan, nasionalis, atau keagamaan. Dalam bingkai itulah mereka dapat memperoleh cukup dukungan.
Mengajak menumbangkan sistem kapitalis mungkin naif, tapi mereka telah mengguncang Eropa. Ada anak-anak muda yang memuja mereka bak rock star. Sebagian orang memandang aksi mereka menjauhkan masyarakat dari Kiri Baru. "Baader berharap saya mendukungnya, tapi ia tahu saya tidak sepakat dengannya," tutur Jean-Paul Sartre dalam The Slow Death of Andreas Baader.
Kematian Baader dan kawan-kawan tak menghentikan gerak RAF. "Generasi ketiga"-nya masih beraksi secara sporadis pada 1980-1990-an, hingga surat delapan halaman berlogo RAF dengan bintang merah dan senapan mesin tiba di kantor berita Reuters pada 20 April 1998. Mereka mengakui: "Akhir proyek ini memperlihatkan bahwa kami tidak berhasil. RAF telah jadi sejarah."
Ya, menorehkan sejarah dengan menewaskan 47 orang, melukai 93 orang, menyandera 162 orang, dan merampok 35 bank.
Dian Basuki
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo