Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
? (TANDA TANYA)
Sutradara: Hanung Bramantyo Skenario: Titien Wattimena
Pemain: Reza Rahardian, Revalina S. Temat, Agus Kuncoro, Endhita, Rio Dewanto, Henky Solaiman
Produksi: Mahaka Pictures dan Dapur Film
Kucuran air untuk tangan yang sedang berwudu. Lilin yang dinyalakan di pojok sebuah gereja tua. Hio yang dipersembahkan di meja doa. Inilah awal dari sebagian Indonesia yang disajikan dalam film ? (Tanda Tanya) karya terbaru sutradara Hanung Bramantyo.
Lalu apa cerita di balik semua yang tampaknya bercahaya ini?
Alkisah, keluarga keturunan Tionghoa, Tan Kat Sun (Henky Solaiman) bersama istri dan putra tunggalnya, Ping Hen alias Hendra (Rio Dewanto), sudah lama mencari nafkah dari restoran dengan "menu toleran": babi dan nonbabi. Tan Kat Sun, pemeluk Konghucu, selalu mengingatkan pekerjanya yang muslim untuk salat. Keluarga lain pasangan muda beragama Islam, Menuk (Revalina S. Temat) dan Soleh (Reza Rahardian), hidup dengan ekonomi yang pas-pasan. Menuk menjadi tulang punggung ekonomi keluarga karena Soleh tidak bekerja. Menuk bekerja di restoran Tan Kat Sun dan pernah menjalin asmara dengan Hendra, tapi gagal karena perbedaan keyakinan.
Di ujung kota, Rika (Endhita), seorang pemilik toko buku, baru saja bercerai dengan suaminya, dan tengah dalam proses mempelajari agama Katolik. Di masa transisi itulah Rika, yang berputra satu, bersahabat dengan Surya (Agus Kuncoro), seorang bintang film figuran, yang sering diejekdengan rasa sayangoleh Rika sebagai "sekuter" alias "selebriti kurang terkenal".
Film ini menyuguhkan ketegangan antartokoh dengan pelbagai persoalan yang mereka hadapi: ekonomi, sosial, cinta, dan keimanan. Semua persoalan diperlihatkan dari dua wajah agama dari ekspresi pemeluknya: lembut dan keras. Ping Hen (Konghucu), Soleh (Islam), dan Don (Katolik) adalah tokoh yang keras dari masing-masing agama. Ping Hen kecewa karena cintanya yang gagal dan cemoohan sebagai seorang keturunan Tionghoa. Soleh yang patuh beragama tampil dalam sosok pemarah akibat frustrasi terimpit beban harga diri karena merasa tak mampu membiayai keluarganya.
Ketegangan meningkat pada paruh kedua film ketika Don tiba-tiba menjadi "fundamentalis", yang menentang saat Surya memerankan Yesus dalam pentas drama Paskah di gereja. Surya menerima tawaran itu atas desakan ekonomi karena dia sudah didepak dari tempat kosnya. Sementara itu, Soleh, yang selalu saja menumpahkan kejengkelan kepada Menuk, istrinya, memutuskan bergabung dengan Barisan Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser NU). Hendra, yang sepanjang film cemberut melulu karena tak pernah bisa memutuskan apa pun dalam hidupnya, akhirnya memutuskan merombak sistem restoran ayahnya: membuka restoran pada hari kedua Lebaran. Keputusan ini menimbulkan kerusuhan. Restoran diserang. Ayah Hendra, Tan Kat Sun, kena hajar.
Film ? memiliki keberanian melintasi batas dibanding film lain yang mengusung tema toleransi beragama, seperti film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta (Benni Setiawan). Meskipun dengan baik menggambarkan toleransi antar-agama melalui cinta Rosid (Islam) dan Delia (Katolik), film ini tak berani melintasi batas.
Sedangkan film ? digarap dengan sinematografi dan tata artistik rapibahkan terlalu rapi hingga Semarang tampak sebagai sebuah kota yang cantik yang tak pernah tersentuh polusi dan modernisasi. Salah satu problem film ini adalah proses batin para tokohnya kurang dijelajahi: bagaimana pergolakan batin Rika dan Hendra yang memutuskan pindah agama.
Akhir film yang menyediakan solusi bagi setiap tokohnya tak lagi menyisakan tanda tanya untuk penonton. Hanung memberi sebuah akhir, bukan koma. Sutradara seakan-akan ingin mengarahkan kesimpulan penonton untuk memahami akhir kisah Rika, Ping Hen, Surya, dan Menuk yang bahagia dengan pilihan masing-masing. Tokoh Soleh yang tewas sebagai pahlawan seolah terinspirasi oleh tindakan heroik kisah nyata seorang anggota Banser pada 2000.
Sementara tokoh-tokoh pada film Ayat-ayat Cinta (2008), film-film religi karya Hanung, serta Perempuan Berkalung Sorban (2009) ditampilkan sangat hitam-putih dan hampir selalu menjadi stereotipe, mulai film Sang Pencerah (2010) dan ? Hanung lebih kritis, lebih banyak bertanya.
Dalam film ?, Hanung tak sekadar mengangkat tema toleransi antar-umat beragama. Lebih jauh lagi, Hanung menekankan pentingnya sebuah pilihan: kebebasan beragama.
Mohamad Guntur Romli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo