Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Balada Orang Biasa

Ia bukan cuma penggubah lagu Kemesraan, yang populer pada 1980-an. Franky Sahilatua tak pernah berpaling dari tema ”orang biasa”.

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanah cokelat mulai menutupi peti matinya yang putih, dan kerabat perlahan meninggal­kannya seorang diri di tanah Tem­pat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jumat siang pekan lalu, tapi masih banyak cerita yang tak ikut masuk liang lahad.

Franky Sahilatua, 57 tahun, pergi meninggalkan ratusan lagu, kesan mengharukan sekaligus membanggakan: pada akhirnya passion atau semangat seorang manusia bisa mengalahkan keterbatasan fisiknya. Di ranjang sakitnya, arena pertarungannya melawan kanker sumsum tulang belakang, Franky melupakan rasa nyeri, pening, serta mual, yang setia menguntit selama ini, dan mulai menyusun nada serta lirik musiknya.

Sampai jiwanya meninggalkan tubuh, Franky dan musiknya adalah dua yang susah bercerai. "Selama menjalani perawatan di Singapura, Franky sempat membuat empat lagu: Anak Tiri Republik, Taman Sari Indonesia, Sirkus dan Pangan. Satu lagu lagi, karena belum direkam, saya tak tahu judulnya," ujar Anti Sahilatua, istri Franky.

Balladeer pendiam dan tidak bersuara lantang ini bukan seniman musik yang namanya terbang secepat kilat ke langit popularitas. Ia suka membandingkan dirinya dengan pelari maraton yang bernapas panjang tapi tak cepat sampai di garis finis. Namun, melalui perjalanan musiknya yang panjang dan persisten, kita pun dapat menangkap tema tunggal karyanya: semua bercerita tentang orang biasa, panorama alam biasa, atau kejadian biasa. Ia melukiskan alam pedesaan, juga fenomena perkotaan, dengan pendekatan yang sama: nada-nada mayor yang seringan kapas, terkadang ditingkahi block flute yang melengking manis, dalam kata-kata liris.

Ada rumah kecil di pinggir sungai, senyum perempuan desa yang menjepit bunga di rambutnya, anak-anak gembala yang bertopi koran, perahu para penggali pasir, atau bus kota yang tidak sanggup berjalan tegak lantaran kepenuhan penumpang. Ia melihat semua ini, mencatat, kemudian menyanyikannya.

Dengan cara yang sama, Franky menggubah Siti Julaika, gadis berkebaya dari kalangan rakyat jelata yang bekerja di pabrik gula. Siti Julaika bersama kekasihnya yang bekerja di tempat yang sama kemudian kehilangan pekerjaan setelah pabrik mendatangkan mesin-mesin. Suara Jane Sahilatua, adiknya, yang juga teman duetnya pada 1970 hingga 1980-an, terus menyambung kemalangan dua sejoli itu dengan senandung ringan du... du... du...seakan mengirim pesan: ini hanya kejadian sehari-hari yang menimpa orang biasa.

Hingga akhir hayatnya, Franky masih konsisten bercerita tentang orang biasa, tapi dengan pendekatan berbeda. Pada pengujung 1990-an, ia meninggalkan kebiasaan merekam segalanya yang kelihatan di depan mata, dan perlahan-lahan berpaling pada "penyebab" kejadian-kejadian itu. Dalam Perahu Retak, buah kerja samanya dengan penyair Emha Ainun Nadjib, ia memuji keindahan negeri ini yang melahirkan keberkahan dan kebahagiaan, juga ketimpangan. Ia lantas meradang dalam refrain yang tegas: mengapa yang salah dipertahankan, yang benar disingkirkan.

Dalam Orang Pinggiran, kolaborasinya dengan penyanyi Iwan Fals, ia melukiskan rutinitas orang-orang yang tersisih tapi seperti tak dipedulikan langit. Hidup berputar-putar dalam lingkaran yang tak berujung, di bawah terik mentari, di trotoar, di jalan becek, di pabrik-pabrik, di bus kota. Kali ini Franky menegaskan, mereka adalah pekerja keras. Kata-kata liris dan pendekatan yang mendudukkan dirinya sebagai "saksi" semata kini telah ditinggalkan.

Franky Hubert Sahilatua lahir di Surabaya, 16 Agustus 1953, wafat 20 April 2011 di Rumah Sakit Permata Hijau, Jakarta. Ia meninggalkan seorang istri, dua anak, dan lima buah gitar, yang telah banyak menemani senandungnya.

Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus