DUA TANDA MATA Pemain: Yenny Rachman, Alex Komang, Hermin Chentini Skenario/sutradara: Teguh Karya TEMA besar dan tema kecil ternyata bisa serasi berdampingan, tergantung tangan yang mengolahnya. Kali ini Sutradara Teguh Karya telah dengan rapi dan berani menghadirkan sebuah tema besar - perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia justru hanya sebagai latar belakang cerita. Dan latar ini - betapapun menggoda - tetap berfungsi sebagai latar. Terasa ada disiplin yang membuat ia tidak dominan tapi juga tidak tersisihkan. Dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai tema besar dan rasa ber-salah seorang pria sebagai tema kecil, Teguh berhasil menyajikan cerita yang utuh dalam konteks waktu yang juga utuh. Wajar jika penonton dapat dengan asyik mengikuti kisah Goenadi, tokoh utama yang mewakili gejolak zamannya dan sekaligus gejolak pribadinya. Begitu pula tokoh Miss Ining Soeripto, Roekmini. Lewat mereka, perjuangan kemerdekaan mengembuskan nyawa pada cerita, dan pada saat yang sama kepada penonton diyakinkan bahwa perjuangan itu bukanlah segala-galanya Masih ada yang lain: rasa ersalah, cinta, pikiran picik. Dari situ terkesan adanya usaha mempertahankan sosok manusiawi - dalam hal ini sosok Goenadi - pada pusat peristiwa dan bukan sebaliknya. Dengan segenap kemampuan artistik yang ada padanya, Teguh berusaha agar porsi perjuangan kemerdekaan dan porsi konflik batin Goenadi terpola dengan bagus hingga suasana penceritaan mengalir, irama terpelihara. Tanpa konsep yang jelas dan penanganan yang lugas seperti itu agaknya film Dua Tanda Mata tidak akan membuat penonton tercekam sepanjang 100 menit masa pemutarannya. Dan suasana yang mengalir itu tadi - suasana kolonial tahun 1930-an - tampak menyatu dengan berbagai klimaks yang muncul lewat lengkingan biola, tembakan pistol, derap mars lagu kebangsaan Indones-Indones. Suasana kolonial itu sendiri memang bukan eksperimen baru bagi Teguh (November 1828, Kawin Lari). Film dibuka dengan suasana stambul, tempat Goenadi (dimainkan Alex Komang) pertama kali bertemu Miss Ining, primadona Stamboel Sanggoel Doea, nun di kota kecil Cimahi. Sebetulnya, ia ke sana bukan untuk menonton, tapi mencetak selebaran perjuangan. Karena dua bidang kegiatan, stambul dan mesin cetak, dikelola oleh satu orang, Mang Djoehari, maka tak terelakkan jika Goen bertemu Ining. Dalam kesempatan itu, pejuang Goenadi telah diminta menunjukkan kebolehannya bermain biola. Saat itu pula, dalam gaya primadona tempo dulu, Miss Ining (diperankan Yenny Rachman) menitipkan tanda matanya yang pertama - sehelai sapu tangan - pada Goen. Dari sini cerita menanjak pada sebuah kematian. Asep, adik Ining, ditembak polisi Belanda ketika sedang mengantarkan Goenadi kembali ke Bandung. Peristiwa berdarah ini ternyata menentukan jalan hidup dan grafik perjuangan Goen selanjutnya. Oleh teman-teman seperjuangan, ia dituduh ceroboh, telah membonceng motor Asep, padahal naik kereta api lebih aman. Akibatnya. perjuangan dan nyawa mereka terancam. Hal yang tidak kurang gawatnya terjadi di Cimahi. Mang Djoehari dijebloskan ke penjara, stambul dibubarkan, Ining lenyap tak tentu rimbanya. Ia meninggalkan tanda mata kedua, lagi-lagi sehelai sapu tangan. Sejak itu Goenadi dihantui perasaan bersalah sampai-sampai ia memisahkan diri dari kawan-kawannya. Tapi kepada Roekmini, istri yang baru setahun dinikahi, ia tetap menulis tentang perjuangan, padahal kenyataannya ia cuma bermain biola pada sebuah sositet. Buat apa? Untuk mencari informasi dan peluang agar bisa membunuh komisaris polisi Belanda, orang yang dulu memerintahkan membunuh Asep. Di mata kawan-kawannya, Goenadi dianggap tidak bermental pejuang. Ia cengeng, lembek, tidak berguna. Dan Goenadi makin jauh terhunjam dalam rasa bersalah itu, konflik batin itu. Memang, ia pernah mencoba bergabung kembali dengan kawan-kawan seperjuangan, tapi Soeripto - tokoh paling militan - menolak. Goenadi terpukul untuk kesekian kalinya. Menarik untuk dicatat bahwa film yang terbagi dalam lima subjudul (episode?): Semangat, Perpisahan, Kehilangan Jejak, Pertemuan, dan Tanda Mata ini ditunjang oleh faktor kebetulan, misalnya pertemuan Goen dengan Ining di sebuah sositet lain dan keberhasilannya menembak mati komisaris polisi. Juga terbunuhnya Goen di tangan Soeripto - karena kepicikan dan dorongan emosional - serta perjumpaan Ining dan Roekmini. Beberapa kebetulan seperti itu--mungkin dengan maksud melancarkan jalan cerita bisa menjadi bumerang bagi film secara keseluruhan. Namun, penggarapan yang cermat, musik yang kuat (Idris Sardi), dan akting beberapa pemain (Yenny Rachman di antaranya) telah menangkal bumerang itu. Apa yang Anda lihat di layar adalah sebuah film perjuangan kategori 13 tahun ke atas (tanpa seorang anak kecil, seperti Temon) yang mengasyikkan, menggugah, mengharukan . Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini