Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Film bisu atau silent movie, seperti namanya tayangan itu tanpa rekaman suara. Narasi dan emosi dalam film ini disampaikan secara visual. Mengutip publikasi berjudul Silent Films, film bisu juga diartikan hanya menampilkan rekaman bunyi musik dan dialog melalui gerak isyarat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun gerak isyarat itu digambarkan seperti dalam film City Lights (1931) yang menampilkan pantomim setiap adegannya. Musik juga elemen penting dalam film ini. Kala itu teknologi untuk membuat sinkron suara dengan film masih belum, maka musik sebagai bagian dari pengalaman penonton. Musik diiringi para pianis dan pengurus teater berdasarkan improvisasi dari setiap adegan yang muncul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Elemen plot (latar, suasana) atau kunci utama dialog ditampilkan menggunakan kartu judul (card title). Itu komponen untuk menampilkan judul, subjudul, dan gambar tiga dimensi (avatar) di dalam kartu kotak tulisan.
Asal-usul film bisu
Pada 1833, fisikawan Joseph Plateau memperkenalkan animasi stroboskop (alat yang mengeluarkan dan menerangi suatu benda bergerak) dengan fenakistoskop. Adapun fenakistoskop, alat animasi berbahan dasar cakram kertas berbingkai yang diputar berkecepatan tertentu, sehingga menghasilkan efek animasi. Pada 1839, kimiawan Louis Daguerre memperkenalkan keberhasilannya menemukan sistem fotografi untuk pertama kalinya.
Mulanya, bahan kimia tidak terlalu peka terhadap cahaya untuk menangkap subjek yang bergerak. Pada 1849, Plateau menyarankan teknik gerak henti atau stop motion untuk membuat animasi foto stroboskop. Penghujung 1850-an, fotografi instan atau snapshot berhasil diproduksi. Ini membuat harapan baru untuk mengembangkan lebih jauh sistem fotografi animasi dengan metode stereo. Metode ini dilakukan merekam adegan juga produksi suara yang realistis menggunakan dua saluran suara.
Setelah itu 20 tahun kemudian dunia perfilman menggunakan stop motion, karena teknologi untuk mengembangkan stereo masih belum memadai. Mengutip Smithsonian Magazine, fotografer Eadweard Muybridge memanfaatkan deretan lusin kamera untuk merekam kuda yang sedang berlari.
Hasil rekaman itu diterbitkan dengan nama The Horse in Motion. Dari situ, mulai banyak orang yang memproduksi gambar bergerak dengan metode kronofotografi. Metode itu kumpulan foto objek bergerak yang diambil untuk tujuan merekam dan menunjukkan fase gerak secara berurutan. Pengupayaan metode itu menimbulkan perkembangan alat produksi film menjadi lebih baik lagi.
Sejak 1887, kronofotografer Ottomar Anschütz sukses mengembangkan electrotachyscope, alat yang memperlihatkan gelung gambar bergerak pendek. Itu dengan 24 kepingan gambar kaca di roda berputar lebarnya 1,5 meter. Alat itu digerakkan oleh tangan dengan kelajuan sekitar 30 bingkai sesaat yang ditampilkan dalam layar kecil. Pada 1894, Anschütz mulai memproyeksikan gambar di layar proyektor electrotachyscope yang besar dengan ukuran 6x8 meter di Berlin.
Penemuan Anschütz memberikan inspirasi lebih jauh kepada Edison Manufacturing Company. Itu untuk memproduksi film yang bertahan sekitar 20 detik di layar peep-box Kinetoskop dari tahun 1893 dan seterusnya. Dari sini, era film bisu mulai berkembang. Sekitar 7.000 penonton membayar untuk datang menyaksikan pertunjukan film itu di Reichstag, Berlin.
Film yang ditampilkan hanya bentuk visual saja, tanpa adanya suara. Pada 1910 hingga 1920, periode puncak film bisu dalam dunia perfilman yang dipenuhi dengan inovasi artistik.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.