MILITARY-CIVILIAN RELATIONS IN SOUTHEAST ASIA Penyunting: Zakaria Haji Ahmad dan Harold Crouch Penerbit: Oxford University Press, Singapura, 1985, 368 halaman WALAU judulnya dibuat agak "baru", yakni hubungan militer-sipil (bukan sebaliknya, seperti diterbitkan sebelumnya), pada dasarya kumpulan berbagai artikel ini membahas peranan politik militer di Asia Tenggara. Seperti diakui salah seorang penyuntingnya, Zakaria Haji Ahmad, buku ini dibuat dengan melihat peranan politik kelompok militer sebagai sesuatu yang aktif dan positif. Dengan asumsi dasar tersebut, maka peranan politik militer ingin dibahas dalam kerangka historis dan khusus: karena elite sipil yang pecah, perbedaan dalam cara-cara memperjuangkan dan mencapai kemerdekaan, perbedaan dalam politisasi korps perwira, serta tahap-tahap berbeda dalam proses modernisasi. Merangkum 10 artikel (satu artikel pengantar tujuh artikel tentang Burma, Indonesia, Muangthai, Malaysia, Singapura, Filipina, Laos dan Vietnam, serta dua artikel teoretis dan pembanding pada bagian akhir), bisa diduga jika buku ini cukup meloncat-loncat dalam tema pokok. Judul yang luwes ini memang perlu untuk menampung problem-problem yang sangat beragam di berbagai negara Asia Tenggara. Artikel Robert Taylor tentang Burma dan Chai-Anan Samudavanija bersama Suchit Bunbongkarn mengenai Muangthai cukup memberikan telaah tentang perkembangan peranan politik militer di kedua negara itu. Bersama-sama dengan artikel tentang Indonesia - yang ditulis oleh Harold Crouch, dan lebih merupakan pembaruan data saja dari buku yang sudah ditulisnya, The Army and Politics in Indonesia - maka ketiga studi kasus ini menggambarkan dinamika hubungan militer-sipil di Asia Tenggara. Taylor menggambarkan perubahan peranan politik tentara Burma, yang sejak zaman pendudukan Jepang sudah merupakan pelopor perjuangan kemerdekaan di bawah kepemimpinan "30 Thakin", yang dilatih Jepang di Pulau Hainan. Kekacauan-kekacauan yang terjadi setelah kemerdekaan, khususnya pada akhir 1948, ketika 60 pcrsen tentara berada di pihak pemberontak (komunis dan separatis Karen), berlanjut selama 1950-an dalam berbagai krisis, tentara Burma kemudian mengambil alih kekuasaan dari tangan PM U Nu pada 1962. Selama periode kritis itu, tentara sebagai suatu lembaga politik juga dipersonifikasikan dalam diri Ne Win, yang sejak 1945 menjadi Pangab Burma, dan satu-satunya yang tetap di militer dari "30 Thakin" tadi. Karena itu, Taylor melihat Ne Win berhasil melembagakan peranan militer dengan dibentuknya partai tunggal BSPP (Partai Program Sosialis Burma) pada 1964. BSPP tetap dipimpinnya sampai sekarang, walaupun jabatan presiden sudah diserahkannya kepada Jenderal San Yu, bekas Sekjen BSPP, pada 1981. Dengan demikian, Ne Win menyaksikan masuknya generasi baru melalui sosialisasi politik lewat BSPP tanpa dipengaruhi luka-luka politik 1950-an, dan dominasi militer 1960-an. Menurunnya dominasi militer ini terlihat dari keanggotaan mereka dalam BSPP - dari 58 persen pada 1972 menjadi 9,6 persen sembilan tahun kemudian dari seluruh anggota partai yang berjumlah 11/2 juta orang itu. Ini berarti, BSPP semakin direkrut dari lapisan masyarakat yang lebih luas. Hal ini makin diperlukan oleh pembangunan ekonomi yang diambil Ne Win sekarang, sehingga banyaknya perwira yang ditugasi di sektor ekonomi dibarengi oleh masuknya unsur-unsur sipil ke dalam BSPP, walaupun jabatan-jabatan puncak tetap dipegang purnawirawan militer. Menurut Taylor, pelembagaan politik ini dimungkinkan karena pimpinan tentara Burma dari generasi Ne Win adalah bekas aktivis mahasiswa radikal, yang dalam persepsi politiknya melihat bahwa dominasi militer hanyalah suatu proses transisi sampai terbentuknya partai tunggal yang didukung negara. Perubahan dari dominasi miIiter ke bentuk yang bersifat co-ruler juga diuraikan Chai Anan dan Suchit. Artikel mereka tentang Muangthai ini sangat informatif, karena membahas perbedaan pendapat di kalangan perwira-perwira muda, khususnya antara kelompok "Turki Muda" dan kelompok "Prajurit Demokratis". Kelompok Turki Muda dipimpin Kolonel Manoon, yang melancarkan dua kudeta, April 1981 dan 9 September 1985, dan keduanya gagal. Kelompok Turki Muda ini mencerminkan perpecahan dalam suatu pemerintahan militer yang terlalu lama dominan. Pengelompokan lama berkisar pada aliansi dengan kelompok politik non-militer atau ideologi, sedangkan pengelompokan perwira muda dilandaskan pada tahun masuk atau lulus dari Akademi Militer, promisi ke kesatuan yang sama, ataupun hubungan kekeluargaan, dan satu cita-cita bersama, yakni ideologi reformis di bawah pemerintahan militer baru. Ini untuk membedakan mereka dengan oligarki militer ala Thanom-Praphat sebelum 1973, serta ketidaksabaran mereka dengan proses politik dan peran parpol setelah 1973. Gagalnya dua kudeta Turki Muda menunjukkan bahwa kekuatan politik utama di Muangthai tidak ingin kembali pada dominasi total militer dalam politik seperti masa pra-1973. Hal ini dibuktikan oleh kenyataan bahwa penentang utama kelompok Turki Muda adalah kelompok Prajurit Demokratis di bawah pimpinan orang kedua AD Muangthai sekarang, Jenderal Chavalit Yongchaiyuth. Pengangkatan Chavalit sebagai KSAD ikut melahirkan kudeta gagal awal September 1985 lalu. Tujuan kelompok Prajurit Demokratis adalah meningkatkan proses demokratisasi kehidupan politik Muangthai. Kelompok ini menganggap perwira aktif selayaknya tidak memangku Jabatan politik. Jika ingin ikut politik praktis, ia harus mengundurkan diri dan masuk parpol ataupun sebagai calon independen. Dengan demikian, perwira yang ingin jabatan politik harus berkompetisi bebas dengan calon lainnya, bukan sebagai wakil tentara. Hal ini dilakukan, misalnya oleh bekas tokoh Turki Muda, Mayjen Chamlong, yang baru-baru ini terpilih sebaai Gubernur Bangkok Raya, dan oleh bekas Panglima Kodam IV (Selatan) Letjen Harn Leenanond, yang menjadi calon DPR dari Partai Demokrat. Dengan peranan yang menonjol dari kelompok Prajurit Demokratis ini, maka tentara Muangthai bisa menjadi dinamisator. Sehingga parpol dapat memelihara elan progresifnya, dan tidak semata-mata dikuasai oleh oligarki yang sama sembari mencegah tentara kembali ke peran lamanya yang otoriter seperti masa pra-1973. Karena proses sejarah yang berbeda, tentu gaya Prajurit Demokratis berbeda dengan konsep Dwifungsi ABRI di Indonesia, yang mencakup fungsi sospol di samping fungsi hankam. Artiker Harold Crouch tampaknya cukup kritis - dan banyak berbau apriori - serta kurang menggambarkan tema buku ini, khususnya dalam pelembagaan politik orpol dan ormas non-ABRI, seperti Golkar. Kesimpulan Grouch bahwa "tidak ada kekuatan sipil yang dapat menggantikan ABRI", Jelas ia kurang mendalami perkembangan proses pelembagaan yang berlangsung sejak 1970-an di Indonesia. Akibatnya, kurang terlihat dinamika Dwifungsi ABRI, dan penguatan lembaga sipil, seperti Golkar. Padahal, kini penugasan kekaryaan ABRI makin selektif, banyak purnawirawan yang aktif dalam Golkar, usaha ke arah pengakaran parpol dan Golkar di desa melalui sistem pengaderan, serta perubahan orientasi ke arah profesionalisme yang bisa terjadi, karena adanya proses alih generasi perwira ABRI. Pembahasan-pembahasan ini mestinya dapat memperkaya uraian lain yang sudah cukup baik dari Crouch, serta seyogyanya dapat menjadi suplemen yang berarti untuk buku sebelumnya. Mengapa Singapura dan Malaysia justru didominasi oleh pemerintahan sipil? Ulf Sundhaussen, yang melihatnya dari sudut teoretis, menghubungkannya dengan tingkat pendapatan per kapita. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Banyak negara Amerika Latin yang maju juga pernah mengalami pemerintahan militer, seperti Argentina. Karena itu, kuatnya lembaga politik sipil juga patut diperhitungkan, sehingga seperti ditulis Chan Heng Chee tentang Singapura, pemuda-pemuda Singapura harus dipaksa masuk militer. Akibatnya, banyak yang keluar setelah masa dinasnya selesai atau terjadi kecenderungan ke arah terbentuknya "perwira-sarjana". Pembangunan ekonomi memang menyebabkan lulusan-lulusan terbaik masuk ke birokrasi sipil ataupun ke perusahaan-perusahaan, misalnya Singapore Airlines. Terpaksa, gaji perwira-perwira dibuat setinggi-tingginya, demikian juga fasilitas lainnya, untuk mengimbangi itu. Tak heran bila Singapura, yang diperintah sipil, tercatat sebagai negara yang mempunyai anggaran belanja hankam paling tinggi di Asia Tenggara (5,8 persen dari GNP, dibandingkan Indonesia yang 2,3 persen dari GNP). Dibandingkan Singapura, tentara Malaysia berbeda dalam satu hal penting, yakni adanya masalah etnis. Zakaria Haji Ahmad mengungkapkan bahwa seluruh tentara Malaysia terbagi atas 64,5 persen orang Melayu dan 35,5 persen orang non-Melayu (data 1969). Persentase ini makin besar untuk orang Melayu pada tingkat perwira, dan boleh dikatakan jabatan penting semuanya di tangan orang Melayu. Dengan demikian, hak-hak istimewa orang Melayu pada Konstitusi dicerminkan terutama Angkatan Bersenjata Diraja, yang jabatan-jabatan puncaknya juga dipegang oleh perwira yang memiliki ikatan sosial dengan keluarga kerajaan dan pimpinan UMNO. Dari sudut ini Angkatan Bersenjata "menjamin" bagi dominasi Melayu, yang dicerminkan oleh kekuatan pamungkas, RMR (Royal Malay Regiment -- Resimen Melayu Kerajaan). Di samping dua pola di atas (dominasi militer dan dominasi sipil), buku ini juga mengetengahkan pola.Vietman-Laos, yang lebih dekat ke dominasi sipil serta pola Filipina, yang kaum militernya makin berperan dalam politik. Di Vietnam-Laos, dominasi Partai Komunis dijamin oleh adan Komite Militer Pusat Partai, yang memiliki komissar sampai ke tingkat paling bawah dari hirarki militer. Carlyle Thayer yang menulis tentang Vietnam (seperti juga Scofrey Gunn yang menulis tentang Laos) misalnya, melihat peranan Tentara Rakyat Vietnam yang makin menurun, baik karena proses demobilisasi maupun mulainya proses pembangunan ekonomi. Sebaliknya, di Filipina, Carolina Herna dez melihat gejala seperti yang terjadi di Muangthai, yakni perbedaan dalam korps perwira. Protes perwira-perwira "reformis kepada Marcos mencerminkan ketidakpuasan para lulusan Akmil terhadap peranan yang lebih besar dari perwira-perwira sepasamil (integris). Perwira-perwir integris ini adalah pendukung utama Pangab Jender Fabian Ver. Di samping itu, juga terjadi kerisauan dari perwira perwira yang bukan Ilocanos, karena perlakuan istimewa terhadap perwira perwira Ilocanos (daerah asal Presiden Marcos). Karena itu, Carolina menganggap kohesi internal dari AB Filipina tidak begitu tinggi, sehingga mengurangi kapasitasnya untuk intervensi. Tapi, intervensi dalam politik tetap suatu hal yang mungkin, terutama jika terjadi kekacauan dalam sistem politik Filipina, karena pemerintahan Marcos selama ini telah mempolitikkan korps perwira AB Filipina. Artikel-artikel di atas dan dua artikel penutup oleh Sundhaussen dan Crouch membuat buku ini cukup baik untuk dibaca khususnya dalam membandingkan kecen-derungan peranan politik kaum militer di Asia Tenggara. Munculnya generasi perwira baru pasca kolonial membawa persepsi ideologis, peranan, serta tingkah laku yang berbeda. Apalagi jika diingat perwira-perwira ini direkrut dari lapisan menengah, yang makin kuat di semua negara tersebut. Hal itu akan membawa pengaruh, yakni munculnya perwira-perwira "pembela golongan menengah". Karena itu, makin terbuka ide-ide reformasi, seperti diperlihatkan kelompok Turki Muda dan Prajurit Demokratis di Muangthai, serta kecenderungan untuk memperkuat lembaga politik nonmiliter di negaranya masing-masing. Sayangnya, buku ini tidak mengikutsertakan artikel tentang Kamboja, yang sebenarnya dapat menunjukkan bagaimana perpecahan dalam kekuatan gerilya Pol Pot dan Heng Samrin telah ikut menyebabkan krisis yang berkepanjangan di negara Asia Tenggara yang tertua itu. Burhan Magenda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini