Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dipintu tak tentu

Dewan kesenian makassar dalam harlah kodya ke 65 tahun & peringatan chairil anwar, mementaskan naskah absurd berjusul dipintu alternatif yang dimainkan orang membuat penonton kipas-kipas & mengantuk.

19 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK benar anggapan bahwa para pekerdja teater di daerah-daerah hanja mengulang apa jang lampau, misalnja bagi Djakarta ataupun Jogja. Meskipun djuga tidak berarti mereka bebas sama sekali dari semangat sekadar ingin jang baru, lebih besar dari kemampuan jang dimiliki. Ketika orang menjaksikan produksi ketiga Dewan Kesenian Makassar jang dipentaskan dikota itu dalam harlah 65 tahun Kotamadya dan peringatan Chairil Anwar, beberapa waktu jang lalu, kesimpulan sematjam yang dipilih, sebuah permainan dua orang diberi djudul Dipintu Alternatif. Disebut-sebut dalam diskusi setelah pementasan sebagai naskah absurd, karangan Hoesni Djamaludin tak urung membuat sebagian penonton mengipas-ngipas tubuh dengan lembaran koran atau mengantuk. Kebo. Tak heran. Selama lebih satu setengah djam para pengundjung termasuk Sang walikota tjuma melihat dua orang mondat-mandir dan bitjara terus-menerus, duduk atau berdiri, dengan suara jang njaris tunggal nada. Agak menguntungkan bahwa akting mereka. Aspar dan Moespa Edow, berada di atas tuntutan minimal. dan lebih dari keringat jang memertjik dengan mejakinkan wibawa pengutjapan dialog jang hampir selamanja ditanamkan liwat bentakan berhasil menahan penonton jang berdjubel duduk di kursi. Namun hanja sampai disini usaha para aktor. Apa daja naskah tak memberi banjak peluang, di samping mungkin memang baru di sana. Orang bilang drama-drama jang dibilang absurd sampaipun karangan Samuel Beckett sebenarnja tak lebih seonggok tai kebo. Tak ada fikiran jang djalan disitu sedikitnja tak ada tjerita jang mufa-kat. Apa jang terlintas dan apa jang terasa dibenak, apa jang sering dibilang rangsang-rangsang puitik jang di tangkap liwat djalan jang tidak lumrah, dituangkan kedalam adonan jang lahir diluar logika keseharian. Dan djustru jang seperti itu belum terdapat dalam naskah ini: adonan jang manis dari ba-bi-bu jang bagus. Sebab tai kebo disitu tjuma satu warnanja berujud permainan pikiran njaris metafisik berangkat dari satu persoalan jang sebenarnja djelas. jaitu, konon, benar kah satu-satunja alternatif mengetuk terus-menerus pintu jang digembok dari luar. djawaban sudah tentu tak ada. Ilmu tentu Alternatif (sesuatu jang oleh pengarang pengarang dalam diskusi dibilang cuma ada satu tjuma) pun tidak menolongnja. Dan pintu tetap terkuntji. Disinjalir. Bisa dipahami kekosongan memantjar dari sang naskah -- dan masuk ke dalam pikiran, tanpa berhasil mengendap kebawah. Seperti ia lahir dari kepala, persoalan -- dan sama sekali bukan suasana -- tidak menggugah seluruh diri. Penjutradaraan Rahman rge jang memberikan djubah-djubah hitam dan putih dan slit besar jang dipasang pengarang pintu, sekedar membedakan figur-figur jang bergerak dalam alam benak. Daripada mengangkat bentuk-bentuk kaja dan pengutjapan suasana batin beragam dari satu awur-awuran manis jang tidak tentu, pengarang mempertele-telekan naskanhnja untuk sekian kali mendjelaskan setara tak segar hal-hal jang tak usah djelas. Tak ada kesempatan permainan jang subur dari adegan-adegan mustahil. Tak ada haru. Dan pembuangan struktur dramatik dari apa jang lazim dianggap tuntutan absurdditas hanja diganti kemiskinan perbendaharaan. Namun ketjewalah mereka jang menilai rendah pada Makassar. Seperti djuga kemampuan jang mereka tundjukan di Djakarta pada pementasan empat kota dahulu, tak ajal lagi diantara sekian daerah, kota ini termasuk jang bisa lumajan. Bukan sadja lantaran mereka mementaskan naskah Djamaludin dengan tjemerlang plus tekhnik penulisan jang belum waktunja -- sebab mereka telah dan akan menggarap djenis-djenis jang lain" Montserrat dan mendatang Caligula -- namun karena mereka tampak bekerdja kontinju, dengan atau tanpa keberhasilan membentuk publik. Betapapun mereka punja satu klas akting. Merekapun disinjalir melakukan studi disamping membuat naskah jang bagus. Dengan tokoh-tokoh jang erat hubungan dengan para pedjabat, mereka bentuk sebuah dewan. namun bukti-bukti toh harus terus-menerus diperlihatkan, sementara teriakan-teriakan minta fasilitas seperti lazim diperdengarkan grup-grup teater dimana-mana tidak selamanja dianggap lutju.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus