KONSER MUSIK & TARI BALI
Digarap bersama: Kompiang, I Wayan Diya, Sandra, Kadek Suardana.
Produksi: Lembaga Kebudayaan Bali Saraswati, Jakarta.
PERGELARAN musik dan tari Bali ini memang terasa meriah.
Perangkat gamelan Bali itu ditata di tengah arena, pada trap
setinggi 20 senti. Bagian depan artinya yang tersisa dipenuhi
penari remaja putri, di sisi kiri dan kanan. Penari lain -- yang
seluruhnya wanita duduk di belakang gamelan. Payung-payung dan
tombak-tombak berhias sebagai latar belakang.
Di bagian belakang tengah, didirikan sebuah bangunan sederhana
dari batu untuk meletakkan sesajian dan dupa. Di sudut kiri dan
kanan, diletakkan perlengkapan upacara yang lain, hingga
menambah suasana semarak. Semua ini masih ditambah dengan hiasan
janur yang bergelantungan di sana-sini. Sementara di luar arena
sebelum jam pergelaran sudah ditabuh perangkat gamelan Bali
untuk menyambut kedatangan penonton.
Gambaran tersebut adalah penataan pentas Grup Lembaga
Kebudayaan Bali (LKB) Saraswati, Jakarta, dalam konser musik
dan tarinya di Teater Arena TIM, awal pekan ini. Suasana pesta
piodalan seperti yang terjadi di desa di Bali, memang
terhadirkan dengan baik.
Dibuka dengan gending Kebyar Jaya Asmara, dilanjutkan dengan
Tabuh Telu Kebyar. Sudah tentu dengan gaya penyajian gong
Kebyar yang gempita, yang selama ini dianggap ciri paling khas
karawitan Bali, karena sifatnya yang "dinamik". Entah mengapa,
hal itu juga diyakini seniman-seniman Bali sendiri. Akibatnya,
karawitan Bali biasanya banyak melupakan perangkat (orkestrasi)
gamelan Bali lain yang lebih sederhana.
Untunglah, malam itu, LKB Saraswati mencoba menampilkan juga
jenis yang terlupakan tersebut, yang bagi awam di Jakarta
barangkali agak kurang biasa didengar. Misalnya gending Rebong
yang tampil menyusul kedua gending yang telah disebutkan.
Gending ini dimainkan dengan perangkat gamelan Semara
Pagulingan. Dan kemudian menyusul Sekar Genotan yang biasa
dimainkan dengan empat buah gender, sebagai iringan Wayang Kulit
Bali.
Berbeda dengan penyajian gaya kebyar yang gemuruh, dalam Rebong
suasana instrumen yang lunak lebih dominan. Gender, seruling dan
selingan-selingan gemerincingnya gentarak memberikan suasana
Bali yang lain tenang, teduh, membuat dan akrab. Dan Sekar
Genotan, sekalipun riuh tidak membahana seperti Kebyar, karena
perangkat instrumentasi yang dimainkan juga lebih lembut.
Dua gending berikutnya, Kosalia Arini dan Nandir agaknya gending
kreasi baru. Yang pertama mirip garapan tahun 60-an, yang sarat
dengan mempermainkan berbagai jenis instrumen berganti-ganti
gendang, seruling, reyong, dan lain sebagainya. Tentu saja
dengan gaya permainan gong kebyar yang populer itu.
Nandir lebih berani lagi. Di dalamnya diselipkan permainan
dialog tunggal dan bersama (koor) yang bersahut-sahutan di
samping hentakan-hentakan kaki sejumlah penabuh. Dan semua itu
berlangsung dalam suasana temaram, dengan sorotan lampu senter
di sana-sini. Komposisi ini diakhiri dengan lemparan telur I
Wayan Diya ke sebuah batu, yang telah sejak mula disediakan di
tengah arena.
Kurang Terasa
Usaha pengucapan baru ini pantas dihargai, walau belum
mengendap benar. Ketergesaan masih sangat terasa kurang
sinambung perpindahannya.
Gending terakhir Taub Pisan Langsing Tubang dengan gaya
kelambatan dari gong Gede. Gending lama ini, memiliki watak yang
megah dan agung, mirip sekatenan pada gamelan Jawa.
Selanjutnya adalah sebuah garapan tari, berjudul Nyimpen. Sajian
ini merupakan penataan baru unsur tari putra dan putri dengan
iringan vokal dan instrumental. Tetapi karena seluruh pelakunya
wanita -- baik untuk gaya gerak wanita maupun pria -- kontras
gerak jadi kurang terasa. Apalagi tak semua penari benar-benar
matang.
Agaknya LKB Saraswati dibebani dengan kewajiban moral, harus
menyertakan sebanyak mungkin siswanya. Akibatnya nomor garapan
tari ini jadi antiklimaks.
Juga tidak jelas motivasinya pemilihan penari Sukmawati sebagai
figur sentral di tengah pentas.
Sementara adegan penutup, dimaksud untuk menumbuhkan suasana
"magis", masuknya kelewat mendadak, kurang dipersiapkan. Yang
juga sering mengganggu suasana pesta desa di Bali itu, adalah
tepuk tangan riuh penonton pada setiap gending berganti. Hal
seperti ini jelas tak akan ditemui di Bali. Tapi musik dan tari
Bali yang digarap orang-orang Bali di Jakarta ini -- Kompiang,
I Wayan Diya, Sadra dan Kadek Suardana -- bolehlah. Terutama
musiknya.
Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini