Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bali yang tenang dan teduh

Musik bali sebetulnya merupakan satu peristiwa teatear. lkb saraswati mencoba menyuguhkan itu. ada saat arena gelap dan para penabuh menghentakkan kaki ke lantai.

11 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONSER MUSIK & TARI BALI Digarap bersama: Kompiang, I Wayan Diya, Sandra, Kadek Suardana. Produksi: Lembaga Kebudayaan Bali Saraswati, Jakarta. PERGELARAN musik dan tari Bali ini memang terasa meriah. Perangkat gamelan Bali itu ditata di tengah arena, pada trap setinggi 20 senti. Bagian depan artinya yang tersisa dipenuhi penari remaja putri, di sisi kiri dan kanan. Penari lain -- yang seluruhnya wanita duduk di belakang gamelan. Payung-payung dan tombak-tombak berhias sebagai latar belakang. Di bagian belakang tengah, didirikan sebuah bangunan sederhana dari batu untuk meletakkan sesajian dan dupa. Di sudut kiri dan kanan, diletakkan perlengkapan upacara yang lain, hingga menambah suasana semarak. Semua ini masih ditambah dengan hiasan janur yang bergelantungan di sana-sini. Sementara di luar arena sebelum jam pergelaran sudah ditabuh perangkat gamelan Bali untuk menyambut kedatangan penonton. Gambaran tersebut adalah penataan pentas Grup Lembaga Kebudayaan Bali (LKB) Saraswati, Jakarta, dalam konser musik dan tarinya di Teater Arena TIM, awal pekan ini. Suasana pesta piodalan seperti yang terjadi di desa di Bali, memang terhadirkan dengan baik. Dibuka dengan gending Kebyar Jaya Asmara, dilanjutkan dengan Tabuh Telu Kebyar. Sudah tentu dengan gaya penyajian gong Kebyar yang gempita, yang selama ini dianggap ciri paling khas karawitan Bali, karena sifatnya yang "dinamik". Entah mengapa, hal itu juga diyakini seniman-seniman Bali sendiri. Akibatnya, karawitan Bali biasanya banyak melupakan perangkat (orkestrasi) gamelan Bali lain yang lebih sederhana. Untunglah, malam itu, LKB Saraswati mencoba menampilkan juga jenis yang terlupakan tersebut, yang bagi awam di Jakarta barangkali agak kurang biasa didengar. Misalnya gending Rebong yang tampil menyusul kedua gending yang telah disebutkan. Gending ini dimainkan dengan perangkat gamelan Semara Pagulingan. Dan kemudian menyusul Sekar Genotan yang biasa dimainkan dengan empat buah gender, sebagai iringan Wayang Kulit Bali. Berbeda dengan penyajian gaya kebyar yang gemuruh, dalam Rebong suasana instrumen yang lunak lebih dominan. Gender, seruling dan selingan-selingan gemerincingnya gentarak memberikan suasana Bali yang lain tenang, teduh, membuat dan akrab. Dan Sekar Genotan, sekalipun riuh tidak membahana seperti Kebyar, karena perangkat instrumentasi yang dimainkan juga lebih lembut. Dua gending berikutnya, Kosalia Arini dan Nandir agaknya gending kreasi baru. Yang pertama mirip garapan tahun 60-an, yang sarat dengan mempermainkan berbagai jenis instrumen berganti-ganti gendang, seruling, reyong, dan lain sebagainya. Tentu saja dengan gaya permainan gong kebyar yang populer itu. Nandir lebih berani lagi. Di dalamnya diselipkan permainan dialog tunggal dan bersama (koor) yang bersahut-sahutan di samping hentakan-hentakan kaki sejumlah penabuh. Dan semua itu berlangsung dalam suasana temaram, dengan sorotan lampu senter di sana-sini. Komposisi ini diakhiri dengan lemparan telur I Wayan Diya ke sebuah batu, yang telah sejak mula disediakan di tengah arena. Kurang Terasa Usaha pengucapan baru ini pantas dihargai, walau belum mengendap benar. Ketergesaan masih sangat terasa kurang sinambung perpindahannya. Gending terakhir Taub Pisan Langsing Tubang dengan gaya kelambatan dari gong Gede. Gending lama ini, memiliki watak yang megah dan agung, mirip sekatenan pada gamelan Jawa. Selanjutnya adalah sebuah garapan tari, berjudul Nyimpen. Sajian ini merupakan penataan baru unsur tari putra dan putri dengan iringan vokal dan instrumental. Tetapi karena seluruh pelakunya wanita -- baik untuk gaya gerak wanita maupun pria -- kontras gerak jadi kurang terasa. Apalagi tak semua penari benar-benar matang. Agaknya LKB Saraswati dibebani dengan kewajiban moral, harus menyertakan sebanyak mungkin siswanya. Akibatnya nomor garapan tari ini jadi antiklimaks. Juga tidak jelas motivasinya pemilihan penari Sukmawati sebagai figur sentral di tengah pentas. Sementara adegan penutup, dimaksud untuk menumbuhkan suasana "magis", masuknya kelewat mendadak, kurang dipersiapkan. Yang juga sering mengganggu suasana pesta desa di Bali itu, adalah tepuk tangan riuh penonton pada setiap gending berganti. Hal seperti ini jelas tak akan ditemui di Bali. Tapi musik dan tari Bali yang digarap orang-orang Bali di Jakarta ini -- Kompiang, I Wayan Diya, Sadra dan Kadek Suardana -- bolehlah. Terutama musiknya. Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus