BARATAYUDA telah usai. Pandawa menang, dan lawannya, Kurawa, yang dipelesetkan menjadi "kurang waras", kalah. Namun, pergantian kekuasaan di Astinapura, dari Kurawa ke Pandawa, atau dari zaman Orde Laloe ke Orde Barusan, berjalan tak mulus. Korban jiwa berjatuhan selama perang. Namun, sebenarnya pengorbanan itu ada pula gunanya. Di bidang ekonomi, sandang pangan gampang didapat, modal asing dan swasta pun tumbuh. Perubahan iklim politik-ekonomi di negeri itu meyakinkan Pandawa untuk melestarikan kekuasaannya. Maka, ketahanan nasional digalakkan dengan harapan agar oknum-oknum bekas pengikut Kurawa, sebagai sumber kekurangwarasan, tak mengacau. Itulah salah satu bagian lakon dalam buku ini. Ada 19 cerita (5 dari Ramayana dan 14 dari Mahabarata) alegoris, satiris, campur aduk tanpa dibedakan berdasarkan kronolologi kesejarahan dan sekuen cerita yang dipetik dari Mahabarata maupun Ramayana. Memang tak ada yang mengharuskan adanya urutan kronologis sebagaimana terjadi dalam pakem wayang. Setidaknya, Pipit R.K., "dalang" lakon ini, sudah menawarnya. Ia memilih wayang cuma sebagai media untuk menyampaikan refleksinya atas kehidupan sosial-politik dan kultural dewasa ini. Wayang bukan tujuan, tapi sekadar alat. Maka, lakon demi lakon dan segenap renik-reniknya pun dia bikin menjadi kontemporer. Amerika Serikat (ia sebut Amerkapura-pura) hadir di tengah lakon tak menjadi soal. Bahasa tempo doeloe dipakainya, di samping gaya kocak, badung, dan segar -- yang memberikan ciri kontemporernya. Pelesetan, yang mudah ditemukan di sana sini, memberi kita pemahaman mengenai sikap penulisnya menghadapi realitas di sekitar. Ada ejekan, cemooh atau kritik, dan ada juga humor biasa. Negeri Alengkadiraja dia pelesetkan menjadi Ngalengkodirjo, singkatan dari Ngalahke Koboi Dadi Rojo (mengalahkan koboi menjadi raja). Untuk memberikan arti kekinian dari keangkaramurkaan raja Ngalengkodirjo, Rahwana alias Dasamuka, Pipit menulis: "Memang Rahwana itu luar biasa saktinya. Tapi juga sakit sebab kabarnya ia kelewat sering meneror rakyatnya, lalu memanipulasi pemilu dan mengomersialkan jabatan. Tampaknya, penguasa harus ahli berkelahi dan jebolan perguruan silat. Dan bukan jebolan Berkeley atow Cornell atow Aachen...." Tatanan dijungkirbalikkan. Siapa luhur atau siapa asor, siapa berkuasa atas siapa, dibikin tak begitu jelas. Ia sengaja menyentil keadaan kita meskipun menggunakan wayang sebagai "alat". Saya mengenal nama Pipit dari Arief Budiman. Pipit suka menulis surat ke Arief. Menggunakan bahasa "tempo doeloe" bukan cuma dalam buku ini, melainkan juga dalam surat-suratnya. Mbeling, pendeknya, sudah menjadi gaya aslinya. Seperti Arief, ia pun menyukai pendekatan struktural. Juga dalam menganalisa kondisi politik-ekonomi pada zaman Orde Barusan negeri Astinapura pasca-Baratayuda di buku ini. "Hal- hal yang dinilai bisa merusak dan mengganggu akhlak manusia, termasuk filsafat Ketua Duryudana, dasar-dasar Kurawaisme, seratus karya filsafat Kurawa, dan Rahwanaisme dilarang." Ini dilakukan Pandawa karena mereka berpendapat bahwa sumber kejahatan itu manusia, dan bukan kondisi dan situasi yang sinting dan konyol. Pendidikan moral pun digalakkan luar biasa. "Kalau moral sudah baek, maka baeklah keadaan," tulis Pipit. Kaum strukturalis menganggap gagasan itu sebuah omong kosong. Bagi mereka, strukturlah, dan bukan manusia, yang menjadi kunci perbaikan keadaan. Memperbaiki moral, sampai menghabiskan seluruh dana pembangunan tapi tak menyiapkan kondisi struktural, dianggap percuma belaka. Lakon yang dimainkan Pipit serba meriah. Ia tetap jenaka. Kecuali itu, ia bisa dengan enaknya "nyodok" kiri-kanan. Kalau ada pihak yang terkena dan karena itu tersinggung, Pipit akan mudah berkata bahwa ia bicara cuma soal wayang. Tapi Pipit sengaja menggunakan wayang untuk mengetes sebuah tesis tentang pandangan Jawa, bahwa kritik halus dan jenaka bisa diterima. Dan mungkin dia berhasil, karena lakon-lakon yang dia paparkan bisa mengetuk kesadaran kita. Ia tak sekadar bicara soal wayang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini