PROFESOR J.D. Legge, dalam karya tulisnya kali ini memberikan sumbangan pengetahuan, pemahaman, dan interpretasi mengenai sejarah perjuangan kemerdekaan. Mengenai satu kelompok intelektual di sekitar Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia, 14 November 1945-26 Juni 1947. Dalam masa yang kurang dari dua tahun itu, kabinetnya telah tiga kali berubah. Setiap kali ia tak mendapat dukungan dari oposisi yang tak percaya pada Kabinet Sjahrir untuk memperjuangkan tuntutan 100% Indonesia Merdeka dalam upaya diplomasinya -- semula dengan Inggris dan kemudian dengan Belanda. Republik Indonesia yang lahir dari suasana perang dengan akibat-akibatnya memang pernah disebut sebagai suatu hal yang tidak mungkin. "Mereka (para pemimpinnya) ibarat hidup dalam dunia mimpi," kata salah seorang diplomat Inggris. Hal itu benar bila berhubungan dengan masa depan, tetapi realitas sosial dan intektual memberikan keyakinan teguh bahwa perjuangan kemerdekaan adalah suatu yang mutlak untuk diantisipasi. Demikianlah rakyat Indonesia sebagian besar bertanya siapa gerangan Sutan Sjahrir itu, yang tiba-tiba saja muncul sebagai orang ketiga bersama Soekarno dan Mohammad Hatta, memimpin Republik "Muda" Indonesia. Hanya penyair besar Chairil Anwar yang sejak semula mengetahui adanya "Tiga Bung" yang memberi harapan keberhasilan dan oleh karena itu menganjurkan rakyat untuk menjaganya. Karya Prof. Legge dengan gaya esai, terbit pertama kali dalam bahasa Inggris 1988, menuntun pembaca mayakini untuk memahami zaman revolusi, masa yang bagi banyak orang dianggap zaman pancaroba dengan semboyannya yang terkenal "Merdeka atau Mati". Betapa diabaikan kegiatan intelektual para pemimpin yang dalam kegiatannya memeras otak dan kepribadiannya untuk "Tetap Merdeka dan Hidup" dan menemukan jalan yang sesuai dengan aspirasi perjuangan rakyat. Ketika itu memang belum ada P4. Yang ada ialah taruhan kesediaan dan kesanggupan untuk ikut serta dalam perjuangan bersenjata atau diplomasi, yang berarti menggunakan segala kemampuan pemikiran untuk menghadapi dunia luar yang baru saja terlepas dari ancaman fasisme dan militerisme. Kelompok pemimpin yang lebih tua muncul dalam lapisan atas telah kaya dengan pengalaman semasa perjuangan, dengan penderitaan batinnya tetapi juga dengan kekayaan pemikiran tentang pembinaan bangsa yang dicitakan. Lapisan pemimpin yang lebih muda terkesan dengan realitas sosial dan ekonomi yang buruk dan hanya bermodalkan semangat ingin mencapai perbaikan dengan sekali dobrak apa yang dianggap sebagai penghalang. Suasana tekanan militer Jepang pun mereka rasakan dengan berat karena tiadanya kemungkinan menyatakan pikirannya dengan bebas. Suasana penjajahan Belanda diketahuinya di masa lalu, dan kala itu Belanda akan datang kembali sebagai kekuatan negara yang ikut menang perang. Dari sinilah diungkap kembali kegiatan pergerakan nasional di tahun 1930-an ketika Sutan Sjahrir muda mendapat tugas dari Mohammad Hata kembali ke tanah air untuk memimpin pergerakan nasional, yang ketika itu telah mengalami pukulan dari pemerintah kolonial. Para pemimpin ditangkapi dan diajukan dalam proses politik di pengadilan kolonial. Sebelum sampai di situ buku Legge dimulai dengan sebuah pendahuluan yang menilai kembali tesis-tesis tentang peranan para pemimpin dalam upaya mereka memantapkan aliran idelogi di dalam revolusi 1945-1949 seperti dalam historiografi revolusi yang standar (termuat dalam catatan Pendahuluan) dan pernyataan tertulis para pemimpin puncak waktu itu seperti memoir dan otobiografi Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir. Upaya penulis buku ini ialah untuk dapat merevisi pandangan terhadap kelompok Sjahrir seperti sebelumnya telah dimuat dalam karya akademis George McT. Kahin dan B.R. O'G Anderson yang kontroversial. Ada kebutuhan dalam penelitian ulang ini untuk memahami sumbangan dan peranan kaum intelektual di tempat lain, dibandingkan dengan peranan kaum intelektual di dalam masyarakat kolonial, dan deskripsi tentang situasi kolonial Hindia Belanda. Dengan mengutip pendapat Edward Shils bahwa "nasionalisme, populisme, xenofobia, kebangkitan kembali gerakan bumiputra, rasa rendah diri, rasa ingin tahu, dan benci menghadapi kebudayaan negeri penjajah" sebagai generalisasi gejala di berbagai negeri jajahan, maka peranan nasionalisme dan peranan kaum intelektual di Indonesia disoroti berdasarkan studi lain. Isu-isu sentral yang digumuli kaum intelektual yang seluruhnya mempunyai latar belakang pendidikan Barat itu ialah yang kini masih relevan bahkan belum jelas penyelesaiannya. Kita deretkan isu-isu seperti tentang demokrasi dan hak asasi manusia, otoriterisme dan fasisme, sosialisme demokratis, komunisme, tradisionalisme dan modernisme, sampai kepada anarkisme dan feodalisme. Rekonstruksi dan deskripsi tentang terbentuknya kelompok Sjahrir pada masa pendudukan Jepang di Jakarta, data dan faktanya didapat dengan jalan wawancara dengan mereka yang pernah direkrut oleh Sjahrir, yang pada masa tahun 1930-an pendekatannya memang mempersiapkan kader-kader melalui pendidikan politik. Bagian ini merupakan kombinasi pengetahuan data dan fakta dari karya akademis, dan ditambah dengan persepsi dan suasana yang hanya diperoleh melalui wawancara dengan para pelaku sejarah. Suatu kombinasi pendekatan yang bagus karena memberikan kedalaman pemahaman tentang segi yang menyejarah itu. Buku ini juga mencoba membuat gambaran profil para pengikut baru Sjahrir yang tentu saja lebih muda usia dan banyak yang baru menginjak ke ambang pengalaman politik. Profil para pengikut baru itu ditempatkan dalam kanvas politik kolonial yang melatarbelakangi situasi kolonial sejak awal abad kedua puluh, dan tarikannya kemudian setelah PNI-Baru menjadi PSI pada masa percobaan demokrasi liberal pada awal pengakuan kedaulatan sampai Pemilu I, ketika PSI ternyata tak mendapat dukungan suara dari pemilih. Akan tetapi, kegigihan pemikiran mereka secara tertulis ibarat tanaman yang bertahan tumbuh dalam pot bunga, yang mau tidak mau mesti diperhatikan juga oleh yang melewati pot itu. Menjelang penutup pergumulan intelektual Prof. Legge dengan Sjahrir dan para pengikutnya, dirajutlah interpretasi dan beberapa segi sejarah Indonesia, yang bagi pemula akan dirasakan agak ruwet. Akan tetapi, bagi mereka yang telah membaca hampir semua karya akademis tentang masa pergerakan nasional dan revolusi Indonesia, membaca buku ini ibarat bertamasya dalam dunia pemikiran intelektual Indonesia yang ternyata setaraf dan universal dengan pemikiran dunia. Salah satu hal yang melatarbelakangi proses intelektual itu ialah kesempatan yang ada pada angkatan intelektual lapisan pertama dan kedua, yang rata-rata memang mendapat pendidikan Barat di Indonesia dan mendalami lagi dengan belajar di negeri penjajah, dan komunikasi internasional yang dimanfaatkan, walaupun terpaksa karena harus menghadapinya di awal revolusi Indonesia. Suatu upaya revisi dengan cara pandang historis yang berhasil dengan interpretasi yang seimbang, sehingga sejarah revolusi Indonesia tetap dapat ditafsir ganda dengan gaya yang menarik. Bagi para peneliti muda, sejarah aplikasi metode wawancara dengan kombinasi studi kepustakaan yang komprehensif dapat pula dipelajari dari buku ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini