"BARONGS", rombongan musik rok yang pernah memberi janji itu,
telah kehilangan banyak darah. Pendukungnya banyak yang ke
Jerman Barat - ke negeri tempat mereka bersekolah. Tinggal Eros
dan Debby. Tapi mereka masih berani muncul di Teater Terbuka TIM
14 dan 15 Mei ini, dalam fomlasi darurat. Tampak Chrisye (bass,
vokal), Keenan (drum, vokal), Caurry (gitar), Junmy dan Debby
(keyboard), dua bersaudara Bomok dan Rugun Hutauruk, serta Eros
sendiri sebagai vokalis utama.
Acara dimulai sedikit terlambat dan berakhir terlalu sore. Belum
sampai pukul sepuluh. Bagaimana pun harus diakui bahwa dalam
penampilan kali ini jelas terasa kurang persiapan dan ada api
yang pudar. Eros yang dahulu menonjol karena getol menjadi
kehilangan kekerasan hati. Ia cenderung untuk membiarkan
musiknya menjadi manis dan pop. Ini agaknya semacam gejala
psikologis yang tak bisa ditolak: manakala orang jadi akrab pada
lingkungan, mulailah dia jinak.
Lagu-lagu yang dimainkan malam itu sebenarnya lumayan. Ada
Negeriku Cintaku yang mirip warna musik Rick Wakeman yang sangat
digandrungi pada masa ini. Ia merupakan perpaduan antara warna
klasik dan warna keras. Perpaduan antara bunyi merdu yang rapih
dan improvisasi yang menjadi ciri anak muda. Kemudian ada lagu
Angin Malam, Narkotik, disusul oleh lagu Damai (Guruh) dan She's
Leaving Home dari Beatles.
Bornok dan Rugun Hutauruk yang bertugas memberi latar belakang
pun telah bekerja keras, tekun dan menghasilkan dinding yang
manis. Sementara panggung tidak melupakan dirinya dibenahi
dengan sarana yang komersiil saat ini, yakni asap, tebing-tebing
buatan. Sayang sekali ada sesuatu yang tidak luruh dari
anak-anak muda itu, satu sama lain. Berbeda dengan apa yang
muncul tatkala Barongs unjuk diri pertama kali di tempat yang
sama.
Baca Jawa Kuno
Dengan menggantikan Debby dengan Ronny - sekaligus kemudian
anak-anak muda itu mengganti nama menjadi "Gipsy". Lalu
menyeruaklah lagu Guruh yang sementara ini banyak didengarkan,
Chopin Larung. Lalu dilanjutkan oleh Indonesia Mahardika. Tangan
Ronny yang trampil dengan cekatan menggarap komposisi yang cukup
rumit itu. Mungkin Chrisye yang agak mengganggu, karena untuk
menyanyikan nomor itu ia perlu membawa contekan dalam secarik
kertas. Maklumlah liriknya memakai bahasa Jawa Kuno, salah-salah
bisa artinya lain atau ngawur.
Dengan teriakan protes dari penonton, Eros mengakhiri
penampilannya dengan lagu Tuhan. Mungkin penonton sebenarnya
mengharapkan sebuah konsert yang hingar-bingar serta penuh
dengan aksi. Sementara Eros lebih menekankan pada penggarapan
aransemen. Ia sendiri menyanyi seperti penyanyi pop umumnya.
Sementara kawan-kawannya begitu tekun dengan instrumennya,
sehingga seperti tidak mempedulikan bahwa mereka sedang
ditonton, bukannya rekaman. Memang sulit menghadapi penonton
sekarang. Tuhan, misalnya, adalah sebuah lagu bagus, meskipun
liriknya terlalu ringan. Atau lagu Kahayalku yang dibawakan
Chrisye, dengan suara yang bening, bukan musik yang buruk.
Tetapi begitulah maunya penonton. Mereka mau Teater Terbuka itu
meledak-ledak.
Eros tak mengatakan apa-apa, kecuali memang harus mengakui bahwa
stamina suaranya kurang untuk dua malam pertunjukan. Ia mengaku
sulit untuk mengumpulkan orang-orang untuk latihan. Tapi
pendeknya "warna Barongs tetap meskipun personilnya berubah",
ujarnya.
Ini tak benar. Dengan sisa Eros dan Debby Barongs jelas
menampakkan tampang lain. Mungkin saja namanya segera akan raib
karena Eros sendiri sudah berniat untuk berangkat ke London
belajar sinematografi. "Di Jakarta ini saya kesepian", katanya
pada TEMPO. "Terlalu sayang kalau saya hanya jadi musikus.
Daripada ngurusi band terus-terusan, lebih baik ngurusin
pengarahan politik, sebab lebih bisa menentukan pendapat.
Andaikan masih ada PNI, saya pasti masuk PNI, karena basis
perjuangannya kentara".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini