Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Barong kok berubah

Dalam rombongan tak utuh, grup musik rock barongs tampil di tim. penampilan mereka jauh berbeda dari penampilan sebelumnya di tempat yang sama.

28 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"BARONGS", rombongan musik rok yang pernah memberi janji itu, telah kehilangan banyak darah. Pendukungnya banyak yang ke Jerman Barat - ke negeri tempat mereka bersekolah. Tinggal Eros dan Debby. Tapi mereka masih berani muncul di Teater Terbuka TIM 14 dan 15 Mei ini, dalam fomlasi darurat. Tampak Chrisye (bass, vokal), Keenan (drum, vokal), Caurry (gitar), Junmy dan Debby (keyboard), dua bersaudara Bomok dan Rugun Hutauruk, serta Eros sendiri sebagai vokalis utama. Acara dimulai sedikit terlambat dan berakhir terlalu sore. Belum sampai pukul sepuluh. Bagaimana pun harus diakui bahwa dalam penampilan kali ini jelas terasa kurang persiapan dan ada api yang pudar. Eros yang dahulu menonjol karena getol menjadi kehilangan kekerasan hati. Ia cenderung untuk membiarkan musiknya menjadi manis dan pop. Ini agaknya semacam gejala psikologis yang tak bisa ditolak: manakala orang jadi akrab pada lingkungan, mulailah dia jinak. Lagu-lagu yang dimainkan malam itu sebenarnya lumayan. Ada Negeriku Cintaku yang mirip warna musik Rick Wakeman yang sangat digandrungi pada masa ini. Ia merupakan perpaduan antara warna klasik dan warna keras. Perpaduan antara bunyi merdu yang rapih dan improvisasi yang menjadi ciri anak muda. Kemudian ada lagu Angin Malam, Narkotik, disusul oleh lagu Damai (Guruh) dan She's Leaving Home dari Beatles. Bornok dan Rugun Hutauruk yang bertugas memberi latar belakang pun telah bekerja keras, tekun dan menghasilkan dinding yang manis. Sementara panggung tidak melupakan dirinya dibenahi dengan sarana yang komersiil saat ini, yakni asap, tebing-tebing buatan. Sayang sekali ada sesuatu yang tidak luruh dari anak-anak muda itu, satu sama lain. Berbeda dengan apa yang muncul tatkala Barongs unjuk diri pertama kali di tempat yang sama. Baca Jawa Kuno Dengan menggantikan Debby dengan Ronny - sekaligus kemudian anak-anak muda itu mengganti nama menjadi "Gipsy". Lalu menyeruaklah lagu Guruh yang sementara ini banyak didengarkan, Chopin Larung. Lalu dilanjutkan oleh Indonesia Mahardika. Tangan Ronny yang trampil dengan cekatan menggarap komposisi yang cukup rumit itu. Mungkin Chrisye yang agak mengganggu, karena untuk menyanyikan nomor itu ia perlu membawa contekan dalam secarik kertas. Maklumlah liriknya memakai bahasa Jawa Kuno, salah-salah bisa artinya lain atau ngawur. Dengan teriakan protes dari penonton, Eros mengakhiri penampilannya dengan lagu Tuhan. Mungkin penonton sebenarnya mengharapkan sebuah konsert yang hingar-bingar serta penuh dengan aksi. Sementara Eros lebih menekankan pada penggarapan aransemen. Ia sendiri menyanyi seperti penyanyi pop umumnya. Sementara kawan-kawannya begitu tekun dengan instrumennya, sehingga seperti tidak mempedulikan bahwa mereka sedang ditonton, bukannya rekaman. Memang sulit menghadapi penonton sekarang. Tuhan, misalnya, adalah sebuah lagu bagus, meskipun liriknya terlalu ringan. Atau lagu Kahayalku yang dibawakan Chrisye, dengan suara yang bening, bukan musik yang buruk. Tetapi begitulah maunya penonton. Mereka mau Teater Terbuka itu meledak-ledak. Eros tak mengatakan apa-apa, kecuali memang harus mengakui bahwa stamina suaranya kurang untuk dua malam pertunjukan. Ia mengaku sulit untuk mengumpulkan orang-orang untuk latihan. Tapi pendeknya "warna Barongs tetap meskipun personilnya berubah", ujarnya. Ini tak benar. Dengan sisa Eros dan Debby Barongs jelas menampakkan tampang lain. Mungkin saja namanya segera akan raib karena Eros sendiri sudah berniat untuk berangkat ke London belajar sinematografi. "Di Jakarta ini saya kesepian", katanya pada TEMPO. "Terlalu sayang kalau saya hanya jadi musikus. Daripada ngurusi band terus-terusan, lebih baik ngurusin pengarahan politik, sebab lebih bisa menentukan pendapat. Andaikan masih ada PNI, saya pasti masuk PNI, karena basis perjuangannya kentara".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus