Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Keprihatinan Sekretaris Mawi ...

Pastor Walfred ditahan polisi komres 212 Gunung Sitoli, dituduh berkampanye untuk salah satu kontestan pemilu. Uskup Agung Leo Soekoto merasa tindakan polisi itu aneh.

28 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMILU yang lalu telah menyeret banyak pimpinan gereja Katolik - terutama di pelosok-pelosok terpencil - dari posisi tradisionilnya yang tak berpihak. Di Samarinda. ada seorang pastor yang dicalonkan oleh Golkar. Juga di kabupaten Ende, Flores, pastor Robert Rewu SVD diizinkan oleh Uskup Ende Donatus Djagom SVD untuk menjadi calon Golkar untuk DPRD Kabupaten Ende. Kemudian ternyata, nama Robert Rewu SVD tiba-tiba muncul pula di daftar calon Golkar untuk DPR-RI. Namun di pihak lain, lebih banyak lagi pastor yang berkampanye untuk PDI di pulau Flores. Terutama di kabupaten Sikka yang terkenal dengan Seminar Tinggi Ledalero-nya (TEMPO, 21 Mei). Dilempari Batu Makanya tidak mengherankan, bahwa setelah penghitungan suara membuktikan masih juga ada yang memilih PDI, instansi gereja di Flores Timur dan kabupaten Sikka menjadi sasaran gangguan kalangan lain. Susteran di Larantuka dilempari batu. Karyawan kebun kelapa milik gereja di Maumere dipaksa 'kerja bakti' atas instruksi pamongpraja di proyek pemerintah. Walhasil, hubungan antara pemerintah dan gereja yang biasanya sangat mesra, mulai mengalami keretakan di sana-sini. Dalam suasana begini, kabar yang diterima Uskup Medan Datubara dan Uskup Agung Jakarta Leo Soekoto yang sedang bertamu ke sana, cukup mengejutkan. Dikabarkan, bahwa seorang pastor di Pulautelo di kepulauan Batu (Nias Selatan) telah ditahan oleh Polri Komres 212 Gunungsitoli sejak 28 April 1977. Mula-mula pastor Walfred itu ditahan di kantor Komres 212 di Gunungsitoli, Nias, namun kini kabarnya hukumannya sudah diperingan menjadi tahanan rumah. Alasan penahanan di minggu tenang itu: pastor Walfred dituduh berkampanye untuk kepentingan salah satu kontestan Pemilu melalui mimbar gerejanya di Pulautelo. Adapun yang disebut "berkampanye untuk salah satu kontestan" itu adalah tindakan pastor Walfred membaca Surat Gembala MAWI berkenaan dengan Pemilu 1977, yang sudah dikeluarkan di Jakarta 15 Nopember 1976. Uskup Agung Leo Soekoto SY yang diminta tanggapannya oleh TEMPO selaku Sekretaris MAWI, merasa tindakan Polri itu "sangat aneh". Pertama, pembacaan Surat Gembala MAWI itu umumnya sudah dilakukan di daerah-daerah dalam bahasa daerah setempat antara bulan Desember 1976 s/d Januari 1977. Jadi jauh-jauh hari sebelum Pemilu. Kedua, isi Surat Gembala itu sendiri oleh sementara kontestan Pemilu - khususnya unsur-unsur eks Partai Katolik dalam PDI -- dianggap terlalu umum. Satu-satunya hal yang bisa dianggap 'mensabot pemilu' dalam Surat Gembala itu adalah konsensus para Uskup yang dapat membenarkan umat Katolik untuk "tidak memilih". Dengan demikian tuduhan 'Golput' (Golongan Putih - seperti gerakan intelektuil 1971 yang tak mau memilih) mungkin lebih kena, ketimbang tuduhan "berkampanye untuk salah satu kontestan Pemilu". Adapun keanehan lainnya, menurut Mgr Leo Soekoto SY, adalah tuduhan berkampanye itu sendiri. Sebab semenjak tahun 1975, ada konsensus MAWI yang tidak membenarkan para Imam bergerak dalam bidang politik praktis. "Kecuali kalau terpaksa, misalnya tidak ada awam yang cakap untuk pekerjaan itu. Tapi itupun harus ada izin Uskup setempat", begitu sang Sekretaris MAWI menjelaskan. Menyangkut soal larangan bagi pastor untuk berpolitik praktis ini, Uskup Agung lakarta ini juga heran mengapa rekannya di Samarinda dan Ende meng izinkan bawahannya menjadi calon Golkar. Sebaliknya, pastor yang resmi menjadi calon PDI sampai sekarang ternyata belum ada. Meskipun sampai tingkat simpatisan dan juru-kampanye banyak. Seperti misalnya pastor FredeAcus da Lopez di Maumere, yang terang-terangan menjadi juru-kampanye PDI. Juga Uskup Ruteng Vitalis Djebarus SVD kepada TEMPO dan umatnya di kabupaten Manggarai terang-terangan menyatakan dirinya "simpatisan PDI". Dia pulalah yang langsung menghadap pimpinan PDI di Jakarta untuk menyampaikan kasus pengekangan kebebasan memilih di daerahnya, dengan menggunakan fasilitas gereja. Alasan: membela pihak yang tertekan dan lemah. Karena inilah Mgr Leo Soekoto juga menyampaikan simpatinya atas sikap para rohaniwan dan seminaris di Flores. Mereka berjuang untuk menegakkan "kebebasan suara hati", bukan karena apriori berpihak pada kekuatan politik tertentu. Partai Gurem Ditanyai soal pendapat pribadinya atas hasil Pemilu ini, Uskup Agung Jakarta terus terang menyatakan "tidak puas". "Saya kecewa", katanya. Ia melihat komposisi politik yang dihasilkan masih tidak seimbang. "Buat saya, bukan soal siapa yang menang atau siapa yang kalah, tapi soal komposisi yang seimbang". Menurut Leo Soekoto "meskipun secara resmi tidak ada oposisi, kita harus ingat kecenderungan manusia kalau kuat sekali juga merasa dirinya yang paling pintar dan benar". Meskipun kita menganut sistim musyawarah, kata rohaniwan ini, secara psikologis yang kecil selalu kurang dianggap, meskipun tidak bodoh. "Apalagi loting masih dimungkinkan dalam sistim demokrasi kita", begitu Doktor Hukum Kanonik lulusan Universitas Gregoriana Roma ini mengemukakan pendapatnya. Justru sesudah kekuatan politik dikurangi jadi tiga, soal keseimbangan menurut Mgr Leo Soekoto SY makin penting, sebab pilihan makin sedikit. Dan sementara kekuatan politik tinggal tiga, ada partai yahg malah terus merosot jumlah pemilihnya sampai kurang dari lOo: PDI kini tinggal 8,665,. "Padahal", begitu sang Uskup mencoba mengingat kembali perdebatan soal penyederhanaan struktur politik di DPR dan MPR, "dulu ada yang mengusulkan supaya syarat eksistensi suatu partai harus memperoleh suara minimal 10%. Kurang dari itu dicap partai gurem, dan tidak punya hak hidup lagi". Ia tidak mengharapkan perkembangannya mengarah pada dua kekuatan pqlitik saja. "Apalagi kalau yang satu terang-terangan berdasarkan satu agama tertentu, sedang lainnya, apa ya?" tukas sang Uskup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus