PEMILU yang lalu telah menyeret banyak pimpinan gereja Katolik -
terutama di pelosok-pelosok terpencil - dari posisi
tradisionilnya yang tak berpihak. Di Samarinda. ada seorang
pastor yang dicalonkan oleh Golkar. Juga di kabupaten Ende,
Flores, pastor Robert Rewu SVD diizinkan oleh Uskup Ende Donatus
Djagom SVD untuk menjadi calon Golkar untuk DPRD Kabupaten Ende.
Kemudian ternyata, nama Robert Rewu SVD tiba-tiba muncul pula di
daftar calon Golkar untuk DPR-RI.
Namun di pihak lain, lebih banyak lagi pastor yang berkampanye
untuk PDI di pulau Flores. Terutama di kabupaten Sikka yang
terkenal dengan Seminar Tinggi Ledalero-nya (TEMPO, 21 Mei).
Dilempari Batu
Makanya tidak mengherankan, bahwa setelah penghitungan suara
membuktikan masih juga ada yang memilih PDI, instansi gereja di
Flores Timur dan kabupaten Sikka menjadi sasaran gangguan
kalangan lain. Susteran di Larantuka dilempari batu. Karyawan
kebun kelapa milik gereja di Maumere dipaksa 'kerja bakti' atas
instruksi pamongpraja di proyek pemerintah. Walhasil, hubungan
antara pemerintah dan gereja yang biasanya sangat mesra, mulai
mengalami keretakan di sana-sini.
Dalam suasana begini, kabar yang diterima Uskup Medan Datubara
dan Uskup Agung Jakarta Leo Soekoto yang sedang bertamu ke sana,
cukup mengejutkan. Dikabarkan, bahwa seorang pastor di Pulautelo
di kepulauan Batu (Nias Selatan) telah ditahan oleh Polri Komres
212 Gunungsitoli sejak 28 April 1977. Mula-mula pastor Walfred
itu ditahan di kantor Komres 212 di Gunungsitoli, Nias, namun
kini kabarnya hukumannya sudah diperingan menjadi tahanan rumah.
Alasan penahanan di minggu tenang itu: pastor Walfred dituduh
berkampanye untuk kepentingan salah satu kontestan Pemilu
melalui mimbar gerejanya di Pulautelo. Adapun yang disebut
"berkampanye untuk salah satu kontestan" itu adalah tindakan
pastor Walfred membaca Surat Gembala MAWI berkenaan dengan
Pemilu 1977, yang sudah dikeluarkan di Jakarta 15 Nopember 1976.
Uskup Agung Leo Soekoto SY yang diminta tanggapannya oleh TEMPO
selaku Sekretaris MAWI, merasa tindakan Polri itu "sangat aneh".
Pertama, pembacaan Surat Gembala MAWI itu umumnya sudah
dilakukan di daerah-daerah dalam bahasa daerah setempat antara
bulan Desember 1976 s/d Januari 1977. Jadi jauh-jauh hari
sebelum Pemilu. Kedua, isi Surat Gembala itu sendiri oleh
sementara kontestan Pemilu - khususnya unsur-unsur eks Partai
Katolik dalam PDI -- dianggap terlalu umum.
Satu-satunya hal yang bisa dianggap 'mensabot pemilu' dalam
Surat Gembala itu adalah konsensus para Uskup yang dapat
membenarkan umat Katolik untuk "tidak memilih". Dengan demikian
tuduhan 'Golput' (Golongan Putih - seperti gerakan intelektuil
1971 yang tak mau memilih) mungkin lebih kena, ketimbang tuduhan
"berkampanye untuk salah satu kontestan Pemilu".
Adapun keanehan lainnya, menurut Mgr Leo Soekoto SY, adalah
tuduhan berkampanye itu sendiri. Sebab semenjak tahun 1975, ada
konsensus MAWI yang tidak membenarkan para Imam bergerak dalam
bidang politik praktis. "Kecuali kalau terpaksa, misalnya tidak
ada awam yang cakap untuk pekerjaan itu. Tapi itupun harus ada
izin Uskup setempat", begitu sang Sekretaris MAWI menjelaskan.
Menyangkut soal larangan bagi pastor untuk berpolitik praktis
ini, Uskup Agung lakarta ini juga heran mengapa rekannya di
Samarinda dan Ende meng izinkan bawahannya menjadi calon Golkar.
Sebaliknya, pastor yang resmi menjadi calon PDI sampai sekarang
ternyata belum ada. Meskipun sampai tingkat simpatisan dan
juru-kampanye banyak. Seperti misalnya pastor FredeAcus da Lopez
di Maumere, yang terang-terangan menjadi juru-kampanye PDI. Juga
Uskup Ruteng Vitalis Djebarus SVD kepada TEMPO dan umatnya di
kabupaten Manggarai terang-terangan menyatakan dirinya
"simpatisan PDI". Dia pulalah yang langsung menghadap pimpinan
PDI di Jakarta untuk menyampaikan kasus pengekangan kebebasan
memilih di daerahnya, dengan menggunakan fasilitas gereja.
Alasan: membela pihak yang tertekan dan lemah. Karena inilah Mgr
Leo Soekoto juga menyampaikan simpatinya atas sikap para
rohaniwan dan seminaris di Flores. Mereka berjuang untuk
menegakkan "kebebasan suara hati", bukan karena apriori berpihak
pada kekuatan politik tertentu.
Partai Gurem
Ditanyai soal pendapat pribadinya atas hasil Pemilu ini, Uskup
Agung Jakarta terus terang menyatakan "tidak puas". "Saya
kecewa", katanya. Ia melihat komposisi politik yang dihasilkan
masih tidak seimbang. "Buat saya, bukan soal siapa yang menang
atau siapa yang kalah, tapi soal komposisi yang seimbang".
Menurut Leo Soekoto "meskipun secara resmi tidak ada oposisi,
kita harus ingat kecenderungan manusia kalau kuat sekali juga
merasa dirinya yang paling pintar dan benar". Meskipun kita
menganut sistim musyawarah, kata rohaniwan ini, secara
psikologis yang kecil selalu kurang dianggap, meskipun tidak
bodoh. "Apalagi loting masih dimungkinkan dalam sistim demokrasi
kita", begitu Doktor Hukum Kanonik lulusan Universitas
Gregoriana Roma ini mengemukakan pendapatnya.
Justru sesudah kekuatan politik dikurangi jadi tiga, soal
keseimbangan menurut Mgr Leo Soekoto SY makin penting, sebab
pilihan makin sedikit. Dan sementara kekuatan politik tinggal
tiga, ada partai yahg malah terus merosot jumlah pemilihnya
sampai kurang dari lOo: PDI kini tinggal 8,665,. "Padahal",
begitu sang Uskup mencoba mengingat kembali perdebatan soal
penyederhanaan struktur politik di DPR dan MPR, "dulu ada yang
mengusulkan supaya syarat eksistensi suatu partai harus
memperoleh suara minimal 10%. Kurang dari itu dicap partai
gurem, dan tidak punya hak hidup lagi". Ia tidak mengharapkan
perkembangannya mengarah pada dua kekuatan pqlitik saja.
"Apalagi kalau yang satu terang-terangan berdasarkan satu agama
tertentu, sedang lainnya, apa ya?" tukas sang Uskup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini