BUNYI motor berlari. Kemudian bunyi tabrakan. Lalu kicau burung.
Lantas suara seorang wanita Perancis. Inilah musik kontemporer.
Dapatkah anda menerimanya? Sekiranya tidak, anda seharusnya
hadir pada 16 Mei yang lalu di Teater Arena TIM. Di sana seorang
instruktur piano lulusan "Ecole Normale de Musique de Paris"
sedang memberi ceramah untuk topik "Anatomi Musik Kontemporer".
Abdul Syukur, instruktur kurus berkumis dan bercambang lebat
yang berusia 42 tahun itu juga memperdengarkan bunyi pintu yang
"krek-krek-krek" dari pita ril yang sudah disiapkannya. Pelukis
Rusli, salah seorang di antara yang hadir sempat menyimpulkan,
bahwa musik kontemporer pada dasarnya mengambil suara-suara yang
ada, sehingga seperti "kerja mengasembling suara saja". "Kalau
sudah demikian apakah musikus masih diperlukan?" tanya pelukis
kawakan itu. Pertanyaan selanjutnya: "Kalau pada saudara
diperdengarkan suara motor, selama setengah jam, atau suara
burung selama setengah jam, bagaimanakah reaksi saudara?"
Apa Musik Kontemporer
Abdul Syukur yang hampir dua jam menjelaskan musik kontemporer
itu menjawab: "Baik suara itu lewat rekaman, atau diperdengarkan
langsung, saya tidak suka. Karena sebagai musikus, saya harus
ikut berbuat sesuatu. Dua-duanya saya nggak tahan". Kemudian
untuk menangkis pertanyaan pertama ia pun memberikan tendangan
balik: "Lukisan itu pun, adalah asembling warna juga. Musik pun
demikian. Rasanya suUt, kalau kita harus keras kepala mencari
definisinya".
Sayang sekali tidak sempat ditanyakan bagaimana kalau seorang
musikus sedang naik motor, apakah suara yang diperdengarkan
motornya bisa dianggap sebagai musik. Abdul Syukur tentunya
punya tangkisan yang cerdik juga untuk pertanyaan itu, sebab ia
seorang yang ahli dalam bidangnya.
Barangkali terdorong karena ngebet ingin tahu, atau bisa jadi
karena gemas, seorang malah bertanya, apa sebenarnya yang
dimaksudkan oleh istilah "musik kontemporer". "Bunyi pintu yang
ngeak-ngeak, apa itukah musik kontemporer?" tanyanya. Ia
menyatakan bahwa musik kontemporer itu hanya untuk kalangan
elite, bukan untuk rakyat.
Untuk menjawab ini penceramah memberikan jawaban tak langsung,
tetapi yang cukup memukul. "Sangatlah tidak adil", katanya
menukas, bahwa yang tidak mampu mendekati musik kontemporer itu
terus memprotes. Sebab, kenapa mereka yang tidak mengerti
astronomi atau fisika teori -- misalnya -- tidak melakukan
protes? "Soal komunikatif, ibaratnya pemancar dengan radio
penerima. Persoalannya adalah, radionya bagus apa nggak?"
Seorang lain mengungkapkan bahwa mungkin sekali musik
kontemporer itu akan lebih mudah dicerna atau dikuntit bila
dibantu dengan gambar-gambar. Sebagaimana yang diceritakan oleh
D. Djajakusuma, sumber bunyi yang dipergunakan oleh musik
kontemporer itu sudah jamak pula dipergunakan untuk memberi
ilustrasi film. "Malahan Mc Larren sudah memulainya dengan
mencoret-coret jalur suara (sound track) pada soluloid, untuk
menimbulkan bunyi itu", kata tokoh film itu. Terhadap ini Syukur
menjawab pendek: "Bisa mendengarkan musik dengan telinga saja
tanpa gambar tertentu". Nah, rasain.
Syukur menjelaskan pula bahwa sumber bunyi bisa juga diambil
dari bahan-bahan musik tradisionil. Misalnya biola, angklung,
ataupun bentuk orkestra. Di samping dari barang-barang seperti
gergaji besi, daun pintu atau ketukan kayu pedagang bakso.
Rupanya yang membedakannya hanya konsep pemikirannya.
Diterangkan Slamet, baru lepas tahun 1948, seorang Perancis
menemukan tehnik elektro akustik, sehingga sumber bunyi tadi
bertambah bahan. Dari sini mulailah terbuka babak baru,
perkembangan musik listrik. "Instrumennya bukan alat musik yang
dimainkan pemainnya. Sebab yang diambil adalah suara-suara
sinus. Bisa murni dan bisa juga digabung dengan yang lain", ujar
Slamet Syukur.
Angklung
Dengan pertolongan kerja komputer, generator listrik, oscilator,
atau perlengkapan listrik mutakhir lainnya, bisa di hasilkan
juga musik kontemporer. Tapi toh masih tetap ada peranan manusia
sebagai faktor yang penting untuk menyeleksi hasil kerja
komputer tersebut. Manusia memilih mana bagian yang dipakai.
Manusia memotong-motong, mengelompok-ngelompokkan, atau
menjungkir balikkan bunyi-bunyi itu lewat sebuah peta sehingga
sampai pada hasil akhir.
Penceramah sempat juga memperdengarkan rekaman yang sumber
bunyinya angklung. Instrumen tradisionil itu digarap dengan
pemikiran lain. "Saya tak akan berfikir modern, tapi naif. Pada
dasarnya angklung itu 1 suara saja. Malangnya angklung selama
ini hanya digunakan buat mengabdi melodi. Dia tak punya
anatomi", kata Slamet.
Lalu diperdengarkannya bunyi yang panjang pendek, lemah keras -
bunyi-bunyi yang tidak biasa didengar selama ini, Penceramah itu
menganggap kalau diringkas unsur musik cuma 4. Tinggi rendah
nada, panjang pendek nada, keras lembut nada, dan timbre. "Dalam
ke-4 unsur itu, sampai periode 1913 yang diutamakan hanya unsur
tinggi rendah nada dan timbre, selebihnya hanya anak tiri",
katanya.
Memang tak semua orang setuju dengan apa yang dikemukakan oleh
Slamet. Dan banyak di antara mereka memang tidak bertanya atau
bicara. Supaya tetap selamat dan aman. Seperti yang dikatakan
oleh komponis Liberty Manik: "Anggap saja ini adalah malam
informasi. Musik seperti itu sudah banyak direkam, nah, mari
kita tunggu perkembangannya", katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini