Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bunyi-bunyi aneh

Diskusi musik kontemporer di tim. sang instruktur dihujani pertanyaan oleh hadirin yang menganggap musik itu aneh.

28 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNYI motor berlari. Kemudian bunyi tabrakan. Lalu kicau burung. Lantas suara seorang wanita Perancis. Inilah musik kontemporer. Dapatkah anda menerimanya? Sekiranya tidak, anda seharusnya hadir pada 16 Mei yang lalu di Teater Arena TIM. Di sana seorang instruktur piano lulusan "Ecole Normale de Musique de Paris" sedang memberi ceramah untuk topik "Anatomi Musik Kontemporer". Abdul Syukur, instruktur kurus berkumis dan bercambang lebat yang berusia 42 tahun itu juga memperdengarkan bunyi pintu yang "krek-krek-krek" dari pita ril yang sudah disiapkannya. Pelukis Rusli, salah seorang di antara yang hadir sempat menyimpulkan, bahwa musik kontemporer pada dasarnya mengambil suara-suara yang ada, sehingga seperti "kerja mengasembling suara saja". "Kalau sudah demikian apakah musikus masih diperlukan?" tanya pelukis kawakan itu. Pertanyaan selanjutnya: "Kalau pada saudara diperdengarkan suara motor, selama setengah jam, atau suara burung selama setengah jam, bagaimanakah reaksi saudara?" Apa Musik Kontemporer Abdul Syukur yang hampir dua jam menjelaskan musik kontemporer itu menjawab: "Baik suara itu lewat rekaman, atau diperdengarkan langsung, saya tidak suka. Karena sebagai musikus, saya harus ikut berbuat sesuatu. Dua-duanya saya nggak tahan". Kemudian untuk menangkis pertanyaan pertama ia pun memberikan tendangan balik: "Lukisan itu pun, adalah asembling warna juga. Musik pun demikian. Rasanya suUt, kalau kita harus keras kepala mencari definisinya". Sayang sekali tidak sempat ditanyakan bagaimana kalau seorang musikus sedang naik motor, apakah suara yang diperdengarkan motornya bisa dianggap sebagai musik. Abdul Syukur tentunya punya tangkisan yang cerdik juga untuk pertanyaan itu, sebab ia seorang yang ahli dalam bidangnya. Barangkali terdorong karena ngebet ingin tahu, atau bisa jadi karena gemas, seorang malah bertanya, apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh istilah "musik kontemporer". "Bunyi pintu yang ngeak-ngeak, apa itukah musik kontemporer?" tanyanya. Ia menyatakan bahwa musik kontemporer itu hanya untuk kalangan elite, bukan untuk rakyat. Untuk menjawab ini penceramah memberikan jawaban tak langsung, tetapi yang cukup memukul. "Sangatlah tidak adil", katanya menukas, bahwa yang tidak mampu mendekati musik kontemporer itu terus memprotes. Sebab, kenapa mereka yang tidak mengerti astronomi atau fisika teori -- misalnya -- tidak melakukan protes? "Soal komunikatif, ibaratnya pemancar dengan radio penerima. Persoalannya adalah, radionya bagus apa nggak?" Seorang lain mengungkapkan bahwa mungkin sekali musik kontemporer itu akan lebih mudah dicerna atau dikuntit bila dibantu dengan gambar-gambar. Sebagaimana yang diceritakan oleh D. Djajakusuma, sumber bunyi yang dipergunakan oleh musik kontemporer itu sudah jamak pula dipergunakan untuk memberi ilustrasi film. "Malahan Mc Larren sudah memulainya dengan mencoret-coret jalur suara (sound track) pada soluloid, untuk menimbulkan bunyi itu", kata tokoh film itu. Terhadap ini Syukur menjawab pendek: "Bisa mendengarkan musik dengan telinga saja tanpa gambar tertentu". Nah, rasain. Syukur menjelaskan pula bahwa sumber bunyi bisa juga diambil dari bahan-bahan musik tradisionil. Misalnya biola, angklung, ataupun bentuk orkestra. Di samping dari barang-barang seperti gergaji besi, daun pintu atau ketukan kayu pedagang bakso. Rupanya yang membedakannya hanya konsep pemikirannya. Diterangkan Slamet, baru lepas tahun 1948, seorang Perancis menemukan tehnik elektro akustik, sehingga sumber bunyi tadi bertambah bahan. Dari sini mulailah terbuka babak baru, perkembangan musik listrik. "Instrumennya bukan alat musik yang dimainkan pemainnya. Sebab yang diambil adalah suara-suara sinus. Bisa murni dan bisa juga digabung dengan yang lain", ujar Slamet Syukur. Angklung Dengan pertolongan kerja komputer, generator listrik, oscilator, atau perlengkapan listrik mutakhir lainnya, bisa di hasilkan juga musik kontemporer. Tapi toh masih tetap ada peranan manusia sebagai faktor yang penting untuk menyeleksi hasil kerja komputer tersebut. Manusia memilih mana bagian yang dipakai. Manusia memotong-motong, mengelompok-ngelompokkan, atau menjungkir balikkan bunyi-bunyi itu lewat sebuah peta sehingga sampai pada hasil akhir. Penceramah sempat juga memperdengarkan rekaman yang sumber bunyinya angklung. Instrumen tradisionil itu digarap dengan pemikiran lain. "Saya tak akan berfikir modern, tapi naif. Pada dasarnya angklung itu 1 suara saja. Malangnya angklung selama ini hanya digunakan buat mengabdi melodi. Dia tak punya anatomi", kata Slamet. Lalu diperdengarkannya bunyi yang panjang pendek, lemah keras - bunyi-bunyi yang tidak biasa didengar selama ini, Penceramah itu menganggap kalau diringkas unsur musik cuma 4. Tinggi rendah nada, panjang pendek nada, keras lembut nada, dan timbre. "Dalam ke-4 unsur itu, sampai periode 1913 yang diutamakan hanya unsur tinggi rendah nada dan timbre, selebihnya hanya anak tiri", katanya. Memang tak semua orang setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Slamet. Dan banyak di antara mereka memang tidak bertanya atau bicara. Supaya tetap selamat dan aman. Seperti yang dikatakan oleh komponis Liberty Manik: "Anggap saja ini adalah malam informasi. Musik seperti itu sudah banyak direkam, nah, mari kita tunggu perkembangannya", katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus