Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Batavia Sebelum Kamera

Perpustakaan Nasional memiliki ribuan gambar cat air yang melukiskan Indonesia mulai tahun 1600-an. Setelah terbengkelai sekian lama, restorasi dilakukan. Bebeberapa dipamerkan di Erasmus Huis Jakarta.

5 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 10 Oktober 1824, pukul 10 pagi. Kijang-kijang berlarian di Istana Bogor. Gempa bumi melanda kota itu; sisi tengah istana ambrol dan bangunan di sebelah kanannya runtuh. Tak banyak yang tahu bahwa Istana Bogor pernah hancur lebur karena gempa. Tapi lukisan yang diperkirakan dibuat oleh seorang bernama Willem Troost itu merekamnya melalui sapuan cat air.

Ada dua lukisan cat air lain yang menggambarkan Istana Bogor pada 1800-an dalam pameran bertajuk Wondering at Indonesia 1600-1950 yang digelar di Erasmus Huis Jakarta itu.

Seorang kapten Inggris bernama James George menggambarkan Istana Bogor dari arah sebuah desa yang letaknya di belakang istana. Diperkirakan lukisan itu dibuat antara 1811 dan 1816. Bangunan istana masih sederhana. Tampak Gunung Salak berdiri kukuh. Dari gambar lain, kelihatan sisi depan istana pada 1860. Tampak jelas halaman depannya belum ada pepohonan rimbun seperti kita lihat sekarang.

Melihat bentuk istana dari tiga lukisan itu, kita pun mafhum betapa banyak istana itu telah berubah. Istana yang desainnya mengacu Istana Blenheim dekat Oxford Inggris itu luasnya mula-mula dikatakan 236 kilometer—atau sekitar dua kali lebih besar dari Istana Bogor plus Kebun Raya-nya sekarang. Dan setelah gempa, istana itu juga pernah hancur akibat perang VOC-Banten. Dari kejadian terakhir inilah mereka memugar sekaligus mengubah bentuknya menjadi seperti sekarang.

Itulah yang tak terduga. Fotografi baru ditemukan pada 1850. Salah satu cara melihat masa lalu secara visual adalah dengan menyaksikan lukisan, sketsa, litografi yang merekam sejarah. Perpustakaan Nasional memiliki lebih dari 3.000 lukisan cat air, mengenai aneka rupa Indonesia di masa lalu. Gambar-gambar itu dibuat oleh orang Belanda, Inggris, Prancis, dan lainnya yang tinggal atau singgah di sini. Itulah sebabnya mereka disebut koleksi varia. Sebelumnya, koleksi itu dimiliki Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen (Komunitas Seni dan Ilmu Pengetahuan Kerajaan Batavia). Ketika Indonesia merdeka, koleksi itu terbengkalai.

Kini koleksi itu direstorasi. Kita bisa melihat gambar yang menakjubkan. Lihatlah bagaimana di abad ke-19 anggota klub joki elite Hindia Belanda berlatih di pacuan kuda Koningsplein (kini Jalan Medan Merdeka). Atau lihatlah bagaimana trem yang ditarik kuda menjadi alat transportasi utama di Batavia pada 1750-an. Ada jalur rel melintang di tanah tak beraspal. Penumpangnya masih mengenakan pakaian menurut ciri-ciri etnisnya: orang Arab mengenakan sorban, orang Tiongkok masih berkuncir, orang berdarah Eropa mengenakan topi.

”Kami pada 2000 menandatangani nota kesepahaman dengan Museum Rijk Amsterdam untuk restorasi,” kata Anna Soraya, Kepala Bidang Konservasi Perpustakaan Nasional. Tim konservasi Perputakaan Nasional dibantu ahli restorasi dari Belanda Peter Poldervaart. Selama setahun, 2002-2003, restorasi terhenti, dan kini dilanjutkan. ”Sementara 39 buah dulu kami pamerkan di sini,” kata Meity Setianingrum, kurator pameran.

Menurut Anna, restorasi itu lebih sulit daripada di Belanda. Sebab, noda-noda yang ada di gambar-gambar lebih parah dari yang di Belanda. ”Jamur yang menempel di koleksi sulit dibunuh,” katanya. Apalagi bila merestorasi gambar yang kertasnya sudah aus dan sobek. ”Bila ada lubang, kita harus mencari kertas yang bahannya sama dengan yang asli, kertas itu mahal sekali,” kata Max de Bruijn, kurator dan sejarawan Utrecht, yang menjadi konsultan Perpustakaan Nasional. ”Menambalnya harus menggunakan kertas washi dari Jepang,” tutur Anna. Tingkat kesulitan restorasi memang tergantung kondisi kertasnya. ”Ada lukisan tentang Gresik dari abad ke-19, kertasnya kuat, kita bisa membilasnya dengan air,” tambah Max de Bruijn.

Sekarang, menurut Anna, sudah ada 700 gambar yang selesai direstorasi. Di antaranya adalah karya-karya pelukis Johannes Rach (1720-1783). Rach adalah orang Denmark. Ia bekerja sebagai seniman gambar topografis untuk kemiliteran VOC. Ia banyak menggambar rumah peristirahatan elite Belanda saat itu. Restorasi karya Rach memerlukan waktu dua tahun. ”Perpustakaan Nasional memiliki gambar Rach 200 buah, semuanya asli, di Belanda hanya 40 buah,” kata Anna.

Menurut Anna, pihaknya menginginkan restorasi atas semua koleksi varia dilakukan secepatnya. Bila tidak, kerusakannya akan makin parah. ”Tapi ini tergantung pemerintah juga, mau ngasih dana atau tidak,” katanya. Dana dari Dutch Cultural Fund sendiri hanya mencukupi untuk restorasi awal.

Tentu, bila restorasi telah lengkap, bukan tidak mungkin kita akan menemukan banyak hal tak terduga dari sejarah. Berkat karya-karya Johanes Rach dan para asistennya yang menggambarkan secara terperinci seluruh sudut Batavia pada abad ke-18, kita misalnya bisa membayangkan bagaimana wujud asli bangunan-bangunan di daerah Kota kini. Beberapa waktu lalu, misalnya, sewaktu membuat terowongan di depan Stasiun Beos (Stasiun Kota), para tukang menemukan ada pagar di bawah tanah.

Dari 39 gambar yang tampil dalam pameran itu saja sudah banyak yang menarik. Selain Istana Bogor yang hancur itu, misalnya, kita menjadi mengerti bahwa dahulu ternyata ada tradisi pertunjukan berburu buaya di Pasuruan, Jawa Timur. Kita juga tahu, bendera-bendera kerajaan lokal kita ternyata cukup ”ganas”. Bayangkan, gambar di bendera Kesultanan Madura menunjukkan seekor harimau loreng tengah mencaplok tengkuk seorang bangsawan.

Seno Joko Suyono, Anton Septian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus