Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH setengah bulan lebih tinggal di lokasi pengungsian di lereng Gunung Kelud, Sukardi memaksakan diri untuk pulang ke rumahnya. Bersama istri dan anaknya yang berusia enam tahun, petani dan peternak sapi perah ini meninggalkan lokasi pengungsian di Desa Tawang, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Selasa pekan lalu. Padahal, di saat yang sama, tim Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) masih mengevakuasi paksa warga lainnya yang tinggal di lereng gunung berketinggian 1.731 meter di atas permukaan laut ini untuk mengungsi.
Pria kelahiran Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, ini sebetulnya menikmati kehidupan di pengungsian. ”Jatah makan dan minum selalu tersedia,” katanya. Namun, ada dua hal yang membuatnya ia tak tahan pulang ke rumah, yakni mengurus sapi perah peliharaan serta menyalurkan hasrat biologisnya. Maklum, di tempat pengungsian tak tersedia tempat tersembunyi yang pantas digunakan untuk hajat yang satu itu. ”Kalau yang ’itu’ juga harus berpuasa, bikin hidup kami tambah tak keruan,” ujarnya sambil tertawa.
Sukardi memang satu dari 2.500 pengungsi asal Desa Sugihwaras yang memilih pulang ke rumah. Desa asal pria berusia 50 tahun ini memang termasuk 22 desa rawan bencana yang masuk radius 10 kilometer dari kawah Gunung Kelud yang saat ini berstatus Awas, status tertinggi untuk gunung yang sedang mual.
Sejak 16 Oktober lalu, sekitar 38 ribu warga lereng Kelud telah diungsikan di 19 lokasi yang ada di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Wates, Kepung, Puncu, dan Plosoklaten. Tim Satlak PB saat itu beralasan, kondisi gunung yang terletak di perbatasan Kabupaten Kediri dan Blitar ini sudah sangat membahayakan sehingga warga dalam radius 10 kilometer harus segera dievakuasi. Namun, setelah bedol desa dilaksanakan, sang gunung tak jua meletus.
Menginjak hari kesepuluh, pengungsi masih sabar menanti di lokasi pengungsian, namun keesokan harinya penduduk berkeras ingin kembali ke rumah. Alasan mereka, kondisi pengungsian yang makin lama makin sesak, kotor, becek, dan dingin, juga tak adanya uang sepeser pun di kantong.
Terang saja, selama di pengungsian, mereka tak bisa mengolah ladang, merumput, dan memerah susu, yang merupakan sumber penghasilan mayoritas warga di sekitar lereng Kelud. ”Kami menyadari persoalan yang dihadapi warga,” kata Sigit Rahardjo, juru bicara Pemerintah Kabupaten Kediri sekaligus juru bicara tim Satlak PB. Tetapi mereka, menurut Sigit, harus mengungsi karena situasi masih sangat berbahaya dan tidak bisa diprediksi.
Tekad warga sudah bulat. Sebagian pengungsi nekat pulang ke rumah, yang lain tetap bertahan di lokasi pengungsian. Menurut Pejabat Sementara Kepala Desa Sugihwaras, Susiyadi, warga desanya yang pulang dan bertahan di rumah masing-masing hingga Selasa malam pekan lalu mencapai lebih dari 2.500 orang. ”Yang bertahan di pengungsian tinggal 25 persen,” ujarnya. Desa Sugihwaras dihuni 3.259 warga dengan 790 rumah.
Mereka yang bertahan di pengungsian itu bukan takut pada letusan gunung. Mukram, 65 tahun, warga Desa Sempu, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, memilih tetap tinggal di pengungsian meski kondisinya pengap, lembab, dan tidur pun hanya beralas matras dan tikar pandan karena ”takut dikejar-kejar aparat”. Ia mengungsi bersama istri, tiga orang anak, serta cucunya.
Eksodus besar-besaran dari lokasi pengungsian yang dilakukan warga lereng gunung yang terakhir meletus pada 1990 ini membuat pemerintah desa setempat mengeluarkan kebijakan baru. Warga diwajibkan menandatangani pernyataan yang isinya siap menanggung sendiri segala akibat yang timbul jika sewaktu-waktu Kelud meletus. ”Surat pernyataan itu harus ditandatangani warga yang menolak diungsikan,” kata Susiyadi. Alasannya, pemda setempat tak ingin disalahkan jika kelak Kelud meletus dan memakan korban jiwa.
Mayoritas warga Desa Sugihwaras tak mengindahkan kebijakan tersebut. Mereka menganggap cara itu sangat intimidatif dan cenderung memaksakan kehendak. Diono, salah seorang warga Desa Sugihwaras, menyatakan tak akan menandatangani dan mengembalikan formulir. ”Kami tambah resah dengan munculnya formulir itu,” ujarnya.
Selain warga lereng Kelud, Tim Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung pun panik karena gunung yang telah menjadi komoditas wisata ini tak segera meletus. Mereka menghadapi dilema serius apakah akan menurunkan atau tetap mempertahankan status Kelud dalam posisi Awas. Jika mereka tetap merekomendasikan status Awas dan ternyata Kelud tidak meletus, tentu kepercayaan masyarakat akan hilang.
”Namun, dengan segala risiko, kami menyatakan saat ini status Kelud tetap Awas,” kata Muhammad Hendrasto, Kepala Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunung Api PVMBG Bandung. Pertimbangannya, masih adanya kenaikan signifikan dalam aktivitas Kelud, khususnya temperatur air danau kawah.
Lagi pula, menurut Bambang, jika saat ini Kelud diturunkan statusnya menjadi Siaga, kemudian ditingkatkan lagi menjadi Awas saat terjadi erupsi, akan sangat berisiko dalam upaya penyelamatan warga. Sebab, proses erupsi hingga meletusnya gunung dan mengalirnya muntahan material dari perut gunung berlangsung hanya sekitar tiga jam. ”Pertanyaannya, mampukah kita mengevakuasi seluruh warga ke pengungsian dalam waktu tiga jam,” papar Bambang.
Benar saja, aktivitas gunung berapi aktif ini kembali meningkat menjelang akhir pekan lalu. Pada pagi hingga tengah hari Kamis pekan lalu sempat terekam 548 kali gempa vulkanik dangkal, tiga kali gempa vulkanik dalam, 76 kali gempa tektonik jauh. ”Secara teoretis, Kelud seharusnya sudah meletus,” kata Kepala PVMBG Surono di Bandung.
Aktivitas gunung ini membuat tim Satlak PB Kabupaten Kediri kembali mengungsikan secara paksa warganya yang masih bertahan di lereng Gunung Kelud. Tidak main-main, petugas menurunkan aparat polisi dan TNI bersenjata lengkap yang mendatangi rumah penduduk satu per satu dan meminta warga mengosongkan rumah untuk segera pergi ke tempat pengungsian. ”Kami harus bergerak cepat karena tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi,” kata Kepala Pos Pengamanan Desa Sugihwaras, Inspektur Dua Iswahyudi.
D.A. Candraningrum, Dwidjo U. Maksum (Kediri), Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo