Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI Negeri Singa, bau busuk itu tercium. Bukan soal hubungan Indonesia-Singapura yang tengah buruk akibat perjanjian ekstradisi yang tak mulus, melainkan soal korupsi pejabat Indonesia di negara kota tersebut.
Warga Indonesia mencuri di Singapura? Tak persis begitu. Yang benar: warga Indonesia ditengarai melakukan korupsi di kantor Kedutaan Besar RI di Singapura. Diperkirakan negara dirugikan hingga Rp 10 miliar. Modusnya: penggelembungan anggaran proyek renovasi Kedutaan Indonesia di sana.
Ceritanya berawal pada 2003. Ketika itu, Kedutaan Indonesia berniat merenovasi kantor, wisma duta besar dan wakil duta besar, serta rumah dinas pejabat kedutaan.
Alasannya, kondisi bangunan tersebut sudah rusak dimakan usia. Dalam laporan, ditulis sebagian cat dinding mengelupas, plafon akan roboh, partisi dan kusen dimakan rayap, lemari hancur, serta talang air dan karpet atap sudah tua.
Kompleks bangunan di Chatsworth Road yang didirikan pada 1985 ini pernah diberitakan sebagai tempat terkotor di Negeri Merlion itu. ”Untuk menjaga image Kedutaan Besar Indonesia di Singapura di mata penduduk setempat, orang asing, dan tamu-tamu dinas yang berkunjung ke kedutaan,” demikian tertulis dalam laporan Duta Besar Mochamad Slamet Hidayat kepada Departemen Luar Negeri. Kedutaan mengajukan dana renovasi US$ 1,988 juta atau sekitar Rp 17 miliar.
Permintaan anggaran ini kemudian diteruskan Sudjadnan Parnohadiningrat, Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri saat itu, ke Departemen Keuangan. Hampir seluruh permintaan disetujui. Departemen Keuangan mengucurkan Rp 16,4 miliar untuk merenovasi kantor dan kediaman para diplomat Indonesia itu.
Kongkalikong sejak awal sudah terjadi. Menurut sumber Tempo, sejak awal, proyek ini diarahkan agar digarap Ben Soon Heng Engineering Enterprise, perusahaan milik John Lee Ah Kuang, warga Singapura. ”Jumlah anggaran yang diajukan sama persis dengan yang diminta perusahaan itu,” kata sumber Tempo itu. John sudah 10 tahun menjadi rekanan Kedutaan RI. Ia adalah penyedia jasa kebersihan (cleaning services). Dia dipilih agar ”lebih mudah diajak kongkalikong,” kata sumber itu.
Pada November, pekerjaan selesai. John kemudian menagih pembayaran, yang dibayar pada 31 Desember 2003. Dalam lembar tagihan, John menulis jumlah S$ 3,38 juta dan dibayarkan kedutaan S$ 3,284 juta. Sisanya, S$ 96.164 (sekitar Rp 570 juta), dinyatakan sebagai utang kedutaan.
Menurut hasil penyelidikan jaksa, yang sebenarnya terjadi, uang yang diterima John cuma S$ 1,68 juta. Itu pun dicicil sepuluh kali. Sisanya, S$ 1,697 juta (sekitar Rp 10,1 miliar), dikantongi pejabat kedutaan. Duit itu dibagikan kepada beberapa orang.
Bancakan duit renovasi ini mungkin saja tak terungkap bila tidak dilaporkan ”seseorang” ke Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Agustus 2006. Tim ini bahkan melakukan penyelidikan langsung ke Singapura.
Maret lalu, penyelidikan kasus ini dinyatakan selesai oleh Hendarman Supandji, Ketua Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ”Sudah selesai, tinggal expose (gelar perkara),” kata Hendarman, kini Jaksa Agung. Pemeriksaan terhadap orang-orang yang terlibat sudah dilakukan, termasuk pengecekan fisik. ”Tinggal mengumpulkan alat bukti,” katanya saat itu.
Hasil penyelidikan itu dikumpulkan oleh satu tim dari Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang khusus dikirim ke Negeri Singa. Dalam gelar perkara, dinyatakan kasus itu layak ditingkatkan ke penyidikan. Lima orang pejabat Departemen Luar Negeri dinyatakan sebagai tersangka. Menurut Wakil Ketua Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Brigjen Polisi Indarto, kasus tersebut kemudian diserahkan ke kejaksaan.
Jaksa kemudian memberkas para tersangka. Mereka diperiksa, tapi tidak ditahan. Namun, hingga Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibubarkan Juni lalu, kasus ini tak kunjung dilimpahkan ke pengadilan. ”Belum ada perkara kedutaan di Singapura di meja saya,” kata Salman Naryadi, Direktur Penuntutan Pidana Khusus Kejaksaan Agung, pekan lalu.
Padahal, menurut sumber Tempo, kasus itu sudah terang-benderang. Tim jaksa, misalnya, sudah mengantongi pernyataan tertulis dari bendahara kedutaan, Erizal, dan John Lee. Erizal, misalnya, mengaku telah memotong dana renovasi gedung Kedutaan RI sebesar S$ 1.134.000. Duit tersebut, atas arahan Duta Besar Mochamad Slamet Hidayat, dibagikan kepada lima orang. Di antaranya Sudjadnan Parnohadiningrat—saat itu Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri—sebesar US$ 200 ribu. Duit dolar tersebut diserahkan tunai saat Sudjadnan berada di Singapura. ”Kejadiannya antara Maret dan April 2004,” kata sumber Tempo.
Selain itu, duit dikucurkan kepada Slamet Hidayat sendiri sebesar $S 220 ribu, Eddie Suryanto Harijadhi (wakil duta besar dan penanggung jawab tender renovasi) sebesar S$ 190 ribu, dan staf Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan sebesar S$ 120 ribu. Sisanya, S$ 120 ribu, diterima untuk Erizal sendiri.
Semula tak mudah mengorek keterangan dari Erizal. Belakangan, ketika Erizal dipanggil ke Kejaksaan Agung, Januari lalu, seorang penyidik menggertak. ”Pak Erizal, besok ke sini lagi bawa koper, ya, buat tempat baju,” ujar sang jaksa. Erizal kaget. Ia mengira bakal ditahan. Akhirnya, ia ”bernyanyi”. Ia bahkan menuliskan ke mana saja uang itu mengalir dalam kertas bermeterai.
Kepala Bagian Penyusunan Anggaran Kedutaan Besar RI ini juga mengaku mengirim sebagian uang Slamet Hidayat kepada Taslim Qodri. Nama yang terakhir ini adalah pemborong rumah pribadi Duta Besar Slamet di Kalimalang, Jakarta Timur. Tim jaksa menemukan dokumen renovasi rumah yang diteken Taslim dan Kartini Hidayat, istri Duta Besar. Nilai pekerjaannya mencapai Rp 1,3 miliar.
John Lee semula juga tak mudah dikorek. Karena tak mungkin diperiksa di Jakarta, warga Singapura itu diperiksa di kedutaan. Awalnya, John Lee banyak berbohong. Hingga akhirnya jaksa tidak sabar. ”Kalau Anda tidak mau mengaku, kami beri tahu petugas pajak Singapura,” kata sang jaksa. John Lee ketakutan. Bukan apa-apa, bos perusahaan cleaning services ini bakal repot bila diketahui petugas pajak merangkap jadi pemborong bangunan.
Dari John diketahui bahwa pekerjaan renovasi tidak selesai tepat waktu. Pekerjaan itu molor sampai 2004 karena dikerjakan bertahap atas perintah Erizal. Setiap pembelian material dan penyiapan kuitansi juga dikontrol Erizal. ”Saya diminta membuat tagihan fiktif. Alasannya, uangnya akan dibagi ke staf administrasi,” kata John Lee kepada jaksa.
Sayangnya, hampir semua nama yang terlibat kini bungkam. Sudjadnan, yang kini Duta Besar Indonesia di Washington, Amerika Serikat, sempat berbalas pesan pendek dengan Tempo, yang meminta wawancara. Namun, ketika dia tahu wawancara itu tentang skandal renovasi kedutaan, SMS darinya mendadak mampet. Ia juga tak mengangkat telepon dari Tempo.
Slamet Hidayat mengaku tak tahu soal penyimpangan proyek renovasi kedutaan. ”Saya tidak tahu soal itu. Tapi, waktu renovasi, saya memang dubes,” kata pria yang kini Direktur Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri itu. Adapun Erizal menolak berbicara. ”Sebaiknya Anda tanya ke inspektorat jenderal,” katanya. Eddie Harijadhi idem dito. ”Saya tak bisa berkomentar,” kata Direktur Jenderal Amerika Eropa itu.
Arif Kuswardono, Yophiandi
Kutipan Asoi di Negeri Singa
21 Juli 2003 Kedutaan Indonesia mengirim surat penawaran ke lima perusahaan Singapura untuk mengerjakan proyek renovasi gedung. Di antaranya Ben Song Heng Engineering Enterprise, Victor Chern M & E Pte. Ltd., dan Son Lek Denovation Contractor.
6 Agustus 2003 Perusahaan-perusahaan itu mengajukan estimasi harga proyek dan Ben Song memberikan penawaran paling murah, S$ 3,380 juta.
7 Agustus 2003 Duta besar Indonesia untuk Singapura Slamet Hidayat mengirim usulan anggaran biaya tambahan (ABT) ke Biro Keuangan Departemen Luar Negeri untuk perbaikan gedung kantor, wisma duta besar, dan DCM serta rumah-rumah dinas KBRI Singapura US$ 1,9 juta sesuai dengan bujet usulan Ben Son Heng. Surat itu dilampiri memori penjelasan proyek tertanggal 5 Agustus 2003.
16 September 2003 Sekjen Departemen Luar Negeri Sudjadnan Parnohadiningrat mengirim surat ke Dirjen Anggaran Departemen Keuangan, berisi usulan anggaran tambahan untuk renovasi gedung KBRI Singapura.
4 Oktober 2003 Pembentukan tim prakualifikasi dan panitia tender di KBRI Singapura.
13 Oktober 2003 Dirjen Anggaran Departemen Keuangan memerintahkan pencairan dana Rp 16,4 miliar untuk membiayai proyek renovasi KBRI Singapura.
14 Oktober 2003 Tim prakualifikasi dan lelang proyek dibentuk oleh duta besar di Singapura dengan ketua E.D.S. Syamsoeri.
16 Oktober 2003 Ben Song Heng ditunjuk sebagai pelaksana proyek renovasi dengan nilai S$ 3,38 juta.
29 Desember 2003 Ben Son Heng menagih pembayaran pekerjaan S$ 3,38 juta
31 Desember 2003 Kedutaan Indonesia memotong biaya proyek dan hanya membayar ongkos renovasi S$ 3,28 juta kepada Ben Song Heng.
Januari 2004 Erizal, bendaharawan kedutaan, memberikan dana tunai/transfer ke Duta Besar Slamet Hidayat US$ 280 ribu dan kepada Eddi Harijadhi US$ 190 ribu.
Pebruari 2004 Erizal menitipkan komisi US$ 120 ribu untuk pejabat Dirjen Anggaran Departemen Keuangan lewat staf keuangan Departemen Luar Negeri.
Maret – April 2004 Erizal, bendaharawan keduataan di Singapura, menyerahkan komisi US$ 200 ribu dalam bentuk tunai kepada Sudjadnan di Singapura.
Agustus 2006 Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi turun menyelidiki kasus renovasi gedung KBRI Singapura.
Sumber: Dokumen Tim Pemberantasan Korupsi Kejaksaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo