Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nama Saya Bob Sick…

Rasa sakit dan kegilaan muncul dalam perilaku dan kanvas lukisan. Pelukis Bob Sick terasing dalam budaya arus besar.

5 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagian atas tubuhnya tak tertutup sama sekali, sedangkan pada bagian bawahnya hanya ada secarik celana pendek hitam. Maka kita pun bisa menyaksikan tato pada hampir setiap inci kulitnya.

Bob Sick Yudhita Agung, 36 tahun, memang bukan pemuda berpenampilan biasa. Ia pemuda bersepatu bot hitam yang menutupi hingga betis, juga berambut gimbal ala Bob Marley—bedanya cuma dia mengecat biru rambutnya. Jika kita mendekat, tampaklah langkahnya yang diseret dan suaranya yang sengau. Alkisah, pada suatu malam tiga tahun silam ia menjadi korban pemukulan, dan kini lihatlah hasilnya: tubuh yang tak sempurna.

Bob Sick artis seni rupa. Seniman Ugo Untoro menggolongkan karya Bob Sick sebagai Row Art atau juga disebut Art Brut. Dalam pameran karya-karyanya sepanjang 26 Oktober sampai 4 November di bekas kampus ASRI Yogyakarta, Bob Sick menampilkan potret dirinya yang ia olah dari citraan foto rontgen dengan garis tegas dan tebal dalam warna putih membentuk tubuh yang tak keruan. Semua muncul dalam porsi yang tak harmonis: bahu dan tangan membesar, dada dan perut mengecil, pinggul berbentuk persegi dengan kaki mengecil dan pendek di atas latar belakang hitam bercampur merah.

Potret diri ini mirip abstraksi bentuk tubuhnya yang bobrok setelah ”dipermak” habis-habisan tinimbang hasil deformasi bentuk (pemiuhan) yang biasa dilakukan pelukis dengan pertimbangan estetika. ”Ngapain menggambar pake mikir,” ujar Bob Sick yang pernah meraih Affandi Prize saat masih mahasiswa seni lukis ISI Yogyakarta.

Penggambarannya tentang tubuh nyaris brutal berdasarkan bentuk maupun komposisi warna. Kadang ekspresi Bob mirip pelukis kelompok Cobra di Eropa yang menggambarkan kehancuran kemanusiaan akibat kekejaman Perang Dunia I dengan menjungkirbalikkan logika bentuk dan ekspresi psike yang ganjil. Hal ini juga muncul bahkan ketika Bob menggambarkan ”kasih sayang bapak dan anak”. Kegilaan yang tak lazim muncul lewat dua figur seperti sedang berpelukan tapi dengan kepala berjauhan dan ada ular merambat di salah satu tangan. ”Semua orang gila, cuma kadarnya saja yang berbeda,” katanya.

Dalam khazanah seni rupa Barat istilah Row Art dicetuskan seniman Prancis Jean Debuffet sebagai karya seni yang dihasilkan di luar batas budaya resmi, khususnya karya seni yang dibuat pasien sakit jiwa. Karya Row Art biasanya berisi pernyataan mental secara ekstrem, gagasan tidak konvensional atau elaborasi dunia fantasi. Kreatornya adalah orang-orang yang tersisih secara sosial sehingga ia hidup di dunianya sendiri.

Dalam beberapa hal ciri-ciri itu ada pada Bob Sick dan karya-karyanya, tapi mungkin lebih tepat Bob Sick dan karyanya dilekatkan pada kegilaan dalam konteks berkesenian. Sebagian besar karya lukisnya berbentuk figuratif yang kebanyakan terbentuk dari garis tegas dan bergelung nyaris tak putus dalam komposisi warna kontras yang menyakitkan. Ia menggambar sosok orang yang ia kenal baik secara personal maupun sosok anonim yang mampir dalam khazanah pengetahuannya.

Ia melukis potret wajah kurator Hendro Wiyanto atau sosok sahabat sepemabukan perupa S. Teddy Darmawan de-ngan latar belakang merah dan botol (bir) hijau di depan. Saat lain ia menampilkan sosok hitam Godfather, nyaris berupa siluet seorang gangster tua mengenakan jas panjang dan topi laken dengan satu tangan bertumpu pada tongkat; dan entah dengan cara bagaimana Bob Sick yang bertubuh ceking ini berminat pada sosok bekas petinju Elias Pical yang ia gambarkan dengan ekspresi bentuk dan estetika yang paling purba.

Toh, Bob Sick belum sepenuhnya ”gila”. Ia menggambarkan ketenangan yang liris lewat sosok kaktus merah dengan latar hijau, atau gambar lanskap dengan komposisi bentuk dan warna yang sedap di mata. Ia mengorganisasi elemen estetika dalam karya bertajuk Equality yang lebih rapi, tertib baik komposisi maupun warnanya. Bujang bertubuh ceking ini sedang bicara tentang keseimbangan gizi.

”Nama saya Bob Sick Yudhita Agung, ada di KTP dan paspor. Saya suka menggambarkan kesakitan,” katanya. Suatu ketika dia menghadapi masalah identitas dengan aparat imigrasi setelah ia menusukkan jarum tato di seluruh wajah. Bob menjadi orang asing bagi budaya arus utama.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus