Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayi-bayi putih terbungkus kain bedong putih itu mengambang di antara atap dan lantai galeri. Mata mereka tertutup, seakan-akan polos, nyaman, dan pasrah dalam lilitan kain itu. Namun di ujung-ujung bawah kaki mereka mencuat pisau-pisau yang mengancam.
Waiting for the Signal (2011), instalasi terkenal karya Haris Purnomo, langsung membetot perhatian pengunjung Melbourne Intercultural Fine Art Gallery di Melbourne, Australia, sepanjang Juli ini. Patung bayi dari bahan resin ini telah dibawa keliling oleh perupa lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (kini ISI) Yogyakarta itu dalam berbagai pamerannya di mancanegara.
Kali ini karya itu dipajang bersama sejumlah lukisan terbarunya dalam pameran "Beyond the Mirror Stage", yang dikuraÂtori Joseph C. Roberts. Tema pameran itu memang mengingatkan kita pada konsep "tahap cermin" dalam psikoanalisis. Jacques Lacan, ahli psikoanalisis abad ke-20, menyebutkan bahwa pada usia enam bulan bayi baru mengenali dirinya lewat cermin. Pada tahap ini, bayi melihat refleksi dirinya sebagai obyek di luar dirinya sendiri.
Namun tema ini sebetulnya hanya bagian dari proses kreativitas Haris dalam mengeksplorasi subyek bayi. Seniman kelahiran Delanggu, Jawa Tengah, pada 1956 itu sudah membuat ratusan karya dengan subyek bayi, bahkan sejak masih duduk di bangku akademi seni rupa. Dia terlibat dalam Gerakan Seni Rupa Baru pada 1970-an dan anggota Kepribadian Apa (Pipa), gerakan protes mahasiswa seni rupa Yogyakarta atas kondisi akademik dan sosial-politik yang mengekang kreativitas. Dalam pameran Pipa yang menggegerkan di Jakarta dan Yogyakarta pada akhir 1970-an, yang sempat dibubarkan aparat keamanan saat digelar di Galeri Senisono, Yogyakarta, Haris sudah menampilkan instalasi kotak yang berisi boneka-boneka bayi.
Dalam pameran-pameran berikutnya, bayi menjadi subyek utamanya. Bayi-bayi itu muncul dalam kepolosan dan kerentanannya di kanvas-kanvas besar. Haris melukis bayi-bayi itu secara realistis, dengan ketepatan pada detail tubuh dan posenya. Belakangan, bayi-bayi itu tak cuma berwajah mulus, tapi ada pula yang diÂhiasi tato naga di sebagian muka, dada, atau punggungnya.
Roberts menangkap karya Haris yang, dalam istilahnya, "menghantui secara indah dan abadi secara aneh". "Tato-tato pada bayi-bayi itu indah, dan kekerasan yang indah," kata kurator di Centre of Contemporary Art, Seattle, Amerika Serikat, itu.
"Kepolosan, ketidakberdayaan," ujar Haris tentang kesannya terhadap obyek bayi. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pada keseluruhan kondisi bayi-bayi mungil polos dalam karyanya. Sesuatu yang tak layak, tapi kita juga tak sanggup menyingkirkan ganjalan ini. Ciptaan Tuhan yang normalnya lahir mulus itu seolah-olah kena sentuhan sihir yang menakutkan.
Dalam lukisan Construction, tato naga itu tampak menyeringai, mempertontonkan deretan gigi tajamnya, menatap kita dari torso bayi bugil berwajah polos. Tapi coba tengok lukisan Baby Burger, yang menggambarkan bayi-bayi bergulingan di antara daun kol, tomat, brokoli, cabai merah, dan potongan mentimun. Tak ada darah di situ. Tapi gagasan tentang burger bayi tentulah menyesakkan dada. Sebuah kekejian yang disampaikan dengan sangat lugu, sehingga jadi begitu menakutkan.
Karya Haris sebetulnya menyodorkan paradoks yang kentara. Pada kepolosan bayi itu muncul pula kekerasan, yang dilambangkan dengan tato naga, pisau, bom, dan lainnya. Haris mengakui, pada mulanya dia tertarik menggunakan bayi sebagai subyek dan metafora karena kepolosan itu, tapi lama-lama menyadari pula dia selalu menghadirkan obyek-obyek yang bertentangan pada karyanya.
Subyek "bayi" itu perlahan bergeser menjadi "orang kecil", yang, bagi Haris, mewakili rakyat kebanyakan. Karya-karyanya kemudian jadi gambaran dari kehidupan masyarakat di sekelilingnya. Lingkungan sosial di matanya juga mengandung paradoks. "Orang sibuk bersujud (kepada Tuhan), tapi di belakang juga melakukan korupsi," katanya.
Orang-orang kecil itu seperti tak berdaya, seperti bayi yang diam dengan mata tertutup. Mereka mengharapkan perlindungan dan kemurahan hati dari penguasa, tapi justru masuk cengkeraman kekuasaan yang melumpuhkan. Dalam perspektif ini, mereka memang jadi orang yang dihujani bencana, seperti dalam Rolling ÂStone; dimanfaatkan suaranya melalui media dalam The Concert; dimanfaatkan tubuhnya dalam formasi apik dalam Three Dog Night dan Two Dragon Child.
Tapi apakah orang-orang kecil ini hanya bisa berdiam diri? Dalam perspektif lain, paradoks pada karyanya justru mengindikasikan adanya perlawanan dan ancaman. Lihatlah Pink Rose 1 yang menampilkan sederet bayi dengan sumbu-sumbu bom berwarna merah yang menyembul dari balik selubung selimut putihnya. Yang paling nyata, tentu saja, adalah instalasi Waiting for the Signal itu, yang seakan-akan juga menunggu aba-aba untuk bertindak.
Kurniawan, Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo