Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joss Wibisono*
Bayangkan Indonesia tanpa bahasa nasional, atau tepatnya jika bahasa Indonesia tidak ada. Bagaimana kita akan berkomunikasi dari Sabang sampai Merauke? Bagaimana pula orang Aceh bisa memahami orang Papua? Jangankan Aceh di Sumatera dan Papua di Indonesia timur yang secara geografis adalah dua pulau yang terpisah itu. Tanpa bahasa nasional, warga satu pulau saja tampaknya sudah akan kesulitan untuk bisa bertutur kata. Di Sumatera saja: bagaimana orang Aceh di kawasan utara harus menyapa orang Lampung di selatan? Dengan bahasa apa mereka bertegur sapa? Sudah jelas, tiadanya bahasa Indonesia tak akan pernah terbayangkan.
Bahasa nasional kita memang layak dibanggakan juga karena kita tak perlu berbahasa Belanda, bahasa kolonial. Sudah sejak dulu kala nenek moyang kita di seantero Nusantara memiliki bahasa pengantar untuk berdagang, itulah bahasa Melayu. Awal nasionalisme Indonesia ditunjukkan dari bahasa. Pada 1928, para pemuda progresif memaklumkannya sebagai bahasa nasional, selain satu tanah air dan satu bangsa. Adakah penegasan bahasa nasional itu juga berarti penolakan bahasa Belanda?
Pertanyaan seperti ini akan menarik jika kita menoleh ke negara-negara Asia Tenggara lain yang juga mengalami kolonialisme. Filipina, misalnya, sulit dikatakan memiliki bahasa nasional. Mereka memiliki bahasa Tagalog, tapi tetap menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, warisan Amerika Serikat yang menjadi penjajah berikut setelah Spanyol.
Di Malaysia, bahasa Malaysia juga tidak sepenuhnya diterima oleh kalangan Tionghoa, India, dan warga Dayak Sarawak. Bahasa ini dianggap hanya milik warga mayoritas Melayu. Alhasil, Malaysia juga harus memberlakukan bahasa kedua, yaitu bahasa bekas penjajah Inggris. Di Singapura, bahasa Inggris digunakan karena keturunan India dan Melayu tidak berbahasa Mandarin, bahasa mayoritas warganya. Setelah keluar dari Indonesia, Timor Leste melupakan bahasa Indonesia dan berpaling pada bahasa Portugis, penjajah awalnya, walau bahasa Tetun terus dikembangkan.
Mungkin pengalaman Vietnam dan Myanmar lebih mirip sejarah kita dalam beberapa hal. Begitu merdeka dari Prancis, Vietnam juga cabut dari Indochine, yang sempat menyatukannya dengan Kamboja dan Laos. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk menyisihkan bahasa Prancis. Bahasa Vietnam diangkat menjadi bahasa nasional. Begitu merdeka, penguasa militer Burma yang nasionalis fanatik mencampakkan bahasa Inggris, karena dianggap sebagai sisa kolonialisme. Ditambah isolasi dari dunia luar, dalam dua generasi praktis warganya tidak fasih lagi berbahasa Inggris. Sebenarnya pembentukan bahasa nasional di Vietnam dan Myanmar juga berarti penyingkiran banyak bahasa minoritas. Inilah yang membedakan kita dengan keduanya. Bahasa Indonesia tumbuh bersama bahasa daerah, bahkan setelah Orde Baru bubar, media massa daerah dengan bahasa setempat menjamur di mana-mana.
Tak pelak lagi, pengalaman kita bisa memiliki bahasa nasional adalah pengalaman unik tak ada duanya di Asia Tenggara, bahkan mungkin di dunia. Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional bukan lantaran kewajiban atau penentuan dari atas, tapi karena kemauan kita bersama, dan ini berarti tidak perlu mengorbankan bahasa daerah mana pun. Bahkan keduanya, bahasa Indonesia dan bahasa daerah, bisa hidup bersama tanpa bersaing atau saling meniadakan.
Ketika masih dikuasai Spanyol, Filipina wajib berbahasa penjajah itu. Sebagai Indochine, Vietnam, Laos, dan Kamboja wajib berbahasa Prancis. Malaysia dan Burma setali tiga uang, London mewajibkan bahasa Inggris bagi kedua jajahannya di Timur Jauh itu. Timor Portugis juga begitu, bahasa Portugis bukan hanya merupakan bahasa pemerintahan, melainkan juga diajarkan di sekolah-sekolah. Karena mewajibkan, penguasa kolonial juga menyediakan anggaran pendidikan bahasa. Prancis, misalnya, melancarkan apa yang disebut mission civilisatrice (misi pembudayaan) untuk menyebarkan budaya (baca: bahasa) Prancis di jajahannya, termasuk Indochine.
Sebaliknya, Belanda tak pernah mewajibkan Nusantara menggunakan bahasa mereka. Dalihnya Hindia sudah punya lingua franca, tapi jelas dengan menjalankan kolonialisme pengerukan Den Haag lebih tertarik menguras kekayaan alam kita (misalnya melalui Tanam Paksa) ketimbang mengajarkan bahasa Belanda. Padahal, seperti Spanyol, Prancis, Inggris, dan Portugal, Belanda sebenarnya bisa menerapkan kewajiban berbahasa Belanda.
Pada abad ke-20, politik penjajahan Belanda berubah. Den Haag melancarkan Politik Etis, antara lain membuka sekolah yang mengajarkan bahasa Belanda. Tapi ternyata bahasa Belanda tidak diajarkan secara luas. Pertama, pendidikan itu hanya untuk bangsawan serta kaum elite terpandang, bukan untuk rakyat jelata. Kedua, pengajaran bahasa Belanda masih juga dibedakan dari bahasa Belanda sebagai bahasa asing (untuk inlanders bumiputra, murid HIS) dan bahasa Belanda sebagai bahasa ibu (untuk keturunan Eropa kulit putih, murid ELS). Tentu saja murid ELS memperoleh lebih banyak waktu belajar bahasa Belanda ketimbang murid HIS.
Harus diakui pribumi yang fasih berbahasa Belanda memang meningkat. Sampai awal 1920-an peningkatan itu mencapai 10 kali lipat lebih. Ini terasa banyak, tapi nyatanya, ketika pada 1940-an penjajahan Belanda berakhir, jumlah pribumi yang fasih berbahasa Belanda mencapai 1,4 juta orang, tidak lebih dari dua persen seluruh penduduk Hindia Belanda.
Ini berarti kita bisa memiliki bahasa nasional karena memang politik penguasa kolonial tidak menghendaki Hindia Belanda berbahasa Belanda. Bahasa Melayu tidak pernah menghadapi pesaing, karena tak ada kewajiban berbahasa Belanda. Karena itu, kalau ada orang Indonesia sampai mencibir Filipina karena tidak punya bahasa nasional, jelas dia tidak punya wawasan sejarah. Yang tidak dipahami oleh orang Indonesia seperti itu adalah bahwa politik bahasa penjajah Spanyol dulu memang mengharuskan penduduk Filipina berbahasa Spanyol.
*) Penulis dan peneliti lepas, menetap di Amsterdam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo