BLONG
Naskah & Sutradara Putu Wijaya
Produksi Teater Mandiri
PERINGATAN Hari Proklamasi Kemerdekaan kali ini terpaksa
tertunda. Bendera pusaka dinyatakan hilang. Hampir saja terjadi
perang saudara: saling tuduh, siapa yang menyembunyikan benda
yang "tiada satu pun foto kopinya di dunia" itu.
Dan itu hanya terjadi dalam sebuah sandiwara karya Putu Wijaya,
yang dipentaskannya sendiri bersama grupnya, Teater Mandiri, 17
- 18 - 19 Agustus di Teater Terbuka TIM.
Putu, seperti biasanya, menyuguhkan pementasan yang keras,
berotot dan di sana-sini banyolan. Lebih-lebih kali ini tak
hanya pementasan naskah drama saja yang terjadi di panggung.
Tapi ada drum band beneran, vocal group beneran, sekelompok
muda-mudi yang ajojing beneran dan ada pula kelompok silat
beneran.
Ketika lampu-lampu di bagian penonton padam, dan perlahan lampu
panggung mulai menyala, segerombolan anak panggung--sekitar 100
orang--memenuhi pentas. Pakaiannya aneka macam: dari jenis macam
Travolta sampai jenis latihan silat. Tiba-tiba petasan
diledakkan dan Sorak-sorak Bergembira menggema di Teater Terbuka
diiringi musik drum band, disusul Dari Barat Sampai ke Timur.
Intro seperti itu menciptakan suasana sebuah pesta dalam rangka
memperingati Hari Proklamasi. Dan suasana tetap terjaga sampai
dengan berakhirnya babak pertama sejumlah orang yang kehilangan
bendera pusaka dan mereka berusaha mencari.
Tapi ajojing yang menyusul dengan ditutupnya babak pertama,
terasa tak klop. Memang ada terasa semacam sindiran atau entah
apa dalam ajojing itu: bahwa generasi muda yang demikian lalai,
hanya berfoya-foya, bisa menyebabkan "hilangnya bendera pusaka."
Tapi toh tak enak melihat muda-mudi yang ajojing beneran tanpa
terkesan hubungannya yang jelas dengan situasi.
Babak yang kemudian, adegan di sarang perampok. Meski terasa
lepas dari suasana pesta tapi justru paling menarik. Paling
banyak mengundang tawa. Dalam babak inilah gaya karikatural,
gaya yang membayangi keseluruhan pementasan, paling terasa.
Dengan kostum putih-putih dan dengan potongan baju latihan
silat, wajah-wajah bertopeng itu tidak nampak serem tetapi
kocak. Mereka sedang membicarakan hasil rampokan terbesar dan
paling berharga dalam sejarah: bendera pusaka. Dan permainan
Budi Setiawan sebagai bos perampok memang sangat menolong.
Naskah memang menyajikan hal-hal yang konyol. Misalnya, ketika
para perampok tahu bahwa bendera pusaka hasil rampokan mereka
pun ternyata hilang, bos menyuruh mereka masing-masing mencari
bendera itu di tubuh sendiri. Lalu di tubuh teman terdekat.
Tapi sebelum adegan perampok ini ketahuan juntrungannya,
selingan datang. Grup vokal, terdiri dari empat orang, tampil
menyanyikan Butet. Baru setelah itu adegan parapermpok
diteruskan: mengadili Pertiwi, wanita tawanan mereka. Tak
dinyana, ternyata dia ini jago silat. Dan kalahlah para
perampok, begitu.
Setelah diramaikan dengan dua paket adegan silat, singkat cerita
bendera pusaka ditemukan kembali. Pertiwi berseru, dan seorang
tua keluar membawa bendera merah-putih yang berkibar pada
sebatang bambu. Pembawa bendera dielu-elukan, tapi kegembiraan
toh tak berlangsung lama. Terdengar letusan. Pembawa bendera
rebah. Suasana sunyi. Semua terkejut. Sejenak kemudian,
seseorang berbicara di corong pengeras suara, pelahan:
"Saudara-saudara. Siapakah di antara saudara-saudara yang telah
menembak orang ini" Selesai.
Semangat Patriotik
Dan bagus. Hanya, dalam kemeriahan sebuah pesta (ada ajojing,
ada grup vokal, ada silat, ada drum band), baik jalur maupun
moral cerita menjadi kabur. Segala selingan di situ sudah tak
bisa disebut selingan lagi: sudah terlibat dalam pokok pangkal
dan bagaimanapun membuat jalinan adegan kehilangan
kesinambungan. Sesudah tiap selingan, rasanya kita mulai lagi
dari awal. Itulah mungkin sebabnya pertunjukan yang berlangsung
dua jam lebih sedikit terasa demikian lama.
Bendera pusaka, yang dalam kemunculan terkadang terasa sebagai
menylmbolkan rasa cinta tanah air atau semangat patriotik, tak
pernah berkesempatan memberi warna penuh pada panggung, lebih
dari pestanya. Singkat kata, Blng yang merupakan revisi naskah
rutu Hitam Putih (memenangkan sayembara naskah drama TVRI 1977),
terasa tak mantap.
Ini memang "sebuah pesta hiburan untuk menyambut kemerdekaan
yang telah genap berusia 34 tahun," seperti disebut dalam
folder. Sudah tentu sebuah "pesta" bisa mencapai nilai seperti
misalnya Yellow Submarine Sardono W. Kusumo, 1977. Mungkin
karena Sardono tak punya pretensi bercerita, apalagi
mengemukakan masalah. Hanya menyuguhkan suasana-suasana yang
bukan main kocak, dan tanpa disengaja (dengan "naskah" yang
lahir dari latihan bersama) tiba-tiba banyak bagian yang
"mengena" dengan situasi aktuil. Sementara Putu memang bertolak
dari naskah yang bercerita--yang sebenarnya bagus, dan Putu tahu
itu.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini