Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bendera di tengah pesta

Teater mandiri tampil di tim 17-19 agustus 1979 dengan karya putu wijaya blong, yang merupakan revisi naskah putu hitam putih terasa tak mantap. jalur maupun moral cerita kabur.(ter)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BLONG Naskah & Sutradara Putu Wijaya Produksi Teater Mandiri PERINGATAN Hari Proklamasi Kemerdekaan kali ini terpaksa tertunda. Bendera pusaka dinyatakan hilang. Hampir saja terjadi perang saudara: saling tuduh, siapa yang menyembunyikan benda yang "tiada satu pun foto kopinya di dunia" itu. Dan itu hanya terjadi dalam sebuah sandiwara karya Putu Wijaya, yang dipentaskannya sendiri bersama grupnya, Teater Mandiri, 17 - 18 - 19 Agustus di Teater Terbuka TIM. Putu, seperti biasanya, menyuguhkan pementasan yang keras, berotot dan di sana-sini banyolan. Lebih-lebih kali ini tak hanya pementasan naskah drama saja yang terjadi di panggung. Tapi ada drum band beneran, vocal group beneran, sekelompok muda-mudi yang ajojing beneran dan ada pula kelompok silat beneran. Ketika lampu-lampu di bagian penonton padam, dan perlahan lampu panggung mulai menyala, segerombolan anak panggung--sekitar 100 orang--memenuhi pentas. Pakaiannya aneka macam: dari jenis macam Travolta sampai jenis latihan silat. Tiba-tiba petasan diledakkan dan Sorak-sorak Bergembira menggema di Teater Terbuka diiringi musik drum band, disusul Dari Barat Sampai ke Timur. Intro seperti itu menciptakan suasana sebuah pesta dalam rangka memperingati Hari Proklamasi. Dan suasana tetap terjaga sampai dengan berakhirnya babak pertama sejumlah orang yang kehilangan bendera pusaka dan mereka berusaha mencari. Tapi ajojing yang menyusul dengan ditutupnya babak pertama, terasa tak klop. Memang ada terasa semacam sindiran atau entah apa dalam ajojing itu: bahwa generasi muda yang demikian lalai, hanya berfoya-foya, bisa menyebabkan "hilangnya bendera pusaka." Tapi toh tak enak melihat muda-mudi yang ajojing beneran tanpa terkesan hubungannya yang jelas dengan situasi. Babak yang kemudian, adegan di sarang perampok. Meski terasa lepas dari suasana pesta tapi justru paling menarik. Paling banyak mengundang tawa. Dalam babak inilah gaya karikatural, gaya yang membayangi keseluruhan pementasan, paling terasa. Dengan kostum putih-putih dan dengan potongan baju latihan silat, wajah-wajah bertopeng itu tidak nampak serem tetapi kocak. Mereka sedang membicarakan hasil rampokan terbesar dan paling berharga dalam sejarah: bendera pusaka. Dan permainan Budi Setiawan sebagai bos perampok memang sangat menolong. Naskah memang menyajikan hal-hal yang konyol. Misalnya, ketika para perampok tahu bahwa bendera pusaka hasil rampokan mereka pun ternyata hilang, bos menyuruh mereka masing-masing mencari bendera itu di tubuh sendiri. Lalu di tubuh teman terdekat. Tapi sebelum adegan perampok ini ketahuan juntrungannya, selingan datang. Grup vokal, terdiri dari empat orang, tampil menyanyikan Butet. Baru setelah itu adegan parapermpok diteruskan: mengadili Pertiwi, wanita tawanan mereka. Tak dinyana, ternyata dia ini jago silat. Dan kalahlah para perampok, begitu. Setelah diramaikan dengan dua paket adegan silat, singkat cerita bendera pusaka ditemukan kembali. Pertiwi berseru, dan seorang tua keluar membawa bendera merah-putih yang berkibar pada sebatang bambu. Pembawa bendera dielu-elukan, tapi kegembiraan toh tak berlangsung lama. Terdengar letusan. Pembawa bendera rebah. Suasana sunyi. Semua terkejut. Sejenak kemudian, seseorang berbicara di corong pengeras suara, pelahan: "Saudara-saudara. Siapakah di antara saudara-saudara yang telah menembak orang ini" Selesai. Semangat Patriotik Dan bagus. Hanya, dalam kemeriahan sebuah pesta (ada ajojing, ada grup vokal, ada silat, ada drum band), baik jalur maupun moral cerita menjadi kabur. Segala selingan di situ sudah tak bisa disebut selingan lagi: sudah terlibat dalam pokok pangkal dan bagaimanapun membuat jalinan adegan kehilangan kesinambungan. Sesudah tiap selingan, rasanya kita mulai lagi dari awal. Itulah mungkin sebabnya pertunjukan yang berlangsung dua jam lebih sedikit terasa demikian lama. Bendera pusaka, yang dalam kemunculan terkadang terasa sebagai menylmbolkan rasa cinta tanah air atau semangat patriotik, tak pernah berkesempatan memberi warna penuh pada panggung, lebih dari pestanya. Singkat kata, Blng yang merupakan revisi naskah rutu Hitam Putih (memenangkan sayembara naskah drama TVRI 1977), terasa tak mantap. Ini memang "sebuah pesta hiburan untuk menyambut kemerdekaan yang telah genap berusia 34 tahun," seperti disebut dalam folder. Sudah tentu sebuah "pesta" bisa mencapai nilai seperti misalnya Yellow Submarine Sardono W. Kusumo, 1977. Mungkin karena Sardono tak punya pretensi bercerita, apalagi mengemukakan masalah. Hanya menyuguhkan suasana-suasana yang bukan main kocak, dan tanpa disengaja (dengan "naskah" yang lahir dari latihan bersama) tiba-tiba banyak bagian yang "mengena" dengan situasi aktuil. Sementara Putu memang bertolak dari naskah yang bercerita--yang sebenarnya bagus, dan Putu tahu itu. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus