Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berlebaran di kampung

Setelah beberapa tahun bekerja di jakarta, kromodirojo pulang kampung untuk berlebaran. ia bersilaturahmi dengan bupatinya. salah satu isi pidato bupati adalah mengajak warga yang di kota pulang ke desa.

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KROMODIRDJO sudah kerasukan modernisasi selama 5 tahun tinggal di Jakarta. Bininya tidak bunting-bunting lagi akibat menelan pil lebih dari sekaleng biskuit. Kesemuanya itu diperolehnya cuma-cuma dari Puskesmas terdekat sambil, disertai sanjungan yang ramah dan membesarkan hati. Namun, rasa manusiawinya masih ada tersisa dalam dirinya, terbukti dari rasa iba yang terkadang timbul mendengar kisah kerabat dari desa yang setengah mati ketakutan dianggap berindikasi Gestapu semata-mata karena tidak ikut ber-KB. Orang-orang tradisional yang dungu itu rupanya keliru berpikir beranak atau tidak beranak sama saja sengsaranya, khusus dalam hal ketidaksanggupan pengembalian kredit pupuk. Dan biarpun selama 5 tahun itu Kromodirdjo sudah dua kali berpindah atap, pertama karena rumahnya terpenggal untuk proyek jalanan hingga yang tersisa hanya bagian dapur dan kakus, kedua karena tergusur samasekali--tuntas menurut istilah orang sekarang --namun dia tetap segar-bugar bagai orang baru keluar dari restoran. Mengapa tidak, karena di atas reruntuhan rumahnya kini tegak berdiri sebuah toko besar yang acap diliriknya dengan rasa kagum walau tak pernah sekalipun berbelanja di sana. Di toko ajaib itu dijual orang hampir semua keperluan orang hidup, mulai dari jengkol yang tersimpan dalam lemari es hingga motor bot. Kalaulah ada saat-saat mengecilkan hati, ini hanyalah perkara keputusan bebas-becak yang memaksanya hidup bergelandangan sebulan dua. Tak jadi apa! Berkat modal asing banyak masuk, suatu mukjizat zaman tersembur bagai sudah seorang dewa, Kromodirdjo segera diterima bekerja di pabrik shampoo, suatu pekerjaan yang tak pernah dialami oleh 7 jenjang nenek-moyangnya ke atas. Setiap seruling pabrik bersiul di pagi hari dia bergegas dengan semangat yang menyala-nyala Cukup tidak cukup gaji tak pernah menggodanya untuk mogok karena dia sudah hakkul yakin mogok itu perbuatan setan. Perkembangan rohaninya secara keseluruhan menunjukkan kemajuan luar biasa. Kromodirdjo menaruh kpercayaan kepada pembesar - pembesar apa saja - tanpa ragu sedikit pun. Sikap ini amat penting buat kelestarian suatu pemerintahan, seperti halnya sikap yang diperlukan oleh setiap kepala stasiun terhadap lok kereta api. Andaikata pun mereka mengatakan matahari terbit di Barat dan tenggelam di Timur, dia kan menelannya tanpa dikunyah. Konon pula ucapan-ucapan berkenaan dengan angkutan di hari Lebaran yang dijamin serba kecukupan tak perlu ragu maupun bimbang. Hal ini pula yang mendorongnya berkeputusan bahwa Lebaran tahun ini mesti pulang kampung. Bukan Pulang Berlebaran Biasa Tapi, bukan pulang kampung berlebaran biasa seperti pikiran orang dulu-dulu melainkan jauh lebih mendalam dari itu. Dia tidak sekedar mau nyekar di kuburan, tidak sekedar Ingin bersilaturahmi dengan handai tolan sanak famili: Kromodirdjo ingin berminalaidin dengan Bupati beserta ibu yang menurut pendengarannya berkenan menerima salam sembali dari setiap peminat tanpa pandang bulu dari lepas lohor hingga asar. Bupati beserta ibu akan tegak berdiri di lendopo Kabupaten hingga kedua betis beliau kesemutan, saling bermaaf-maafan baik menyangkut dosa besar maupun kecil, seraya juadah dihidangkan tak putus-putusnya. Tak salah lagi, pikir Kromodirdjo, inilah salah satu hasil kemerdekaan yang penting. Jauh nian bedanya dengan nasib yang menimpa kakeknya di masa lampau, berulang kali dihardik ndoro Bupati hingga terkencing-kencing tanpa sebab-sebab yang jelas bahkan tanpa berbuat kekhilafan samasekali. Dan jauh nian bedanya dengan omong-kosong cerita Anton Chekov -- kalau saja sempat dibacanya -perihal rakyat jelata yang mati ketakutan hanya karena bersin hingga ingusnya jatuh di atas kepala seor.ang jenderal dari balkon sebuah teater. Orang Rus yang malang! Saat yang dinanti pun tiba. Sesudah berdesakan naik kereta api bagai kumpulan belut dalam keranjang, sesudah terlongo-longo melihat perubahan besar di kampungnya, sesudah segala macam yang tak ada gunanya disebut satu persatu di sini, Kromodirdjo berhasil menginjakkan kaki di pendopo Kabupaten tanah tumpah darahnya. Dengan kepercayaan kepada diri sendiri sebagaimana galibnya dimiliki penduduk urban, diterkamnya tangan Bupati, digenggamnya dengan takzim dan pesona, dipintanya beribu-ribu maaf dan pembesar tertinggi di kawasan itu pun meminta maaf kepadanya terhadap apa saja yang telah dilakukan baik sengaja maupun tidak, baik dalam artian dinas maupun pribadi. Seorang Bupati minta maaf kepada bekas warganya yang pindah ke kota besar mencari sesuap nasi bukanlah kejadian biasa! Ini peristiwa yang layak tercatat dalam buku sejarah pelajaran anak-anak sekolah. Sesudah itu ada sedikit pidato. Bupati yang tidak berpidato bukanlah Bupati samasekali. Seakan-akan khusus ditujukan kepada Kromodirdjo, Bupati menguraikan di luar kepala data-data kemajuan daerah, bukan saja jumlah rumah sekolah dan jumlah murid yang berhasil tertampung, melainkan juga jumlah hasil ikan dan bebek yang melonjak dibanding Lebaran lalu. Dan seakan-akan khusus ditujukan kepada Kromodirdjo, sang pembesar yang berpakaian serba putih dengan anak kancing kuning keemasan itu dengan kelembutan seorang paman menganjurkan agar warganya yang sudah terlanjur berhamburan ke kota besar supaya lekas-lekas kembali menetap di kampungnya masing-masing. Karena sesungguhnya pembangunan daerah bukanlah teruntuk Bupati dan ibu seorang, melainkan buat semua orang yang berakal sehat. Apalagi tak ada Bupati di atas dunia ini yang mampu melakukan apapun sendirian, hatta sebuah solokan sekecil apapun. Partisipasi, sekali lagi partisipasi, kunci dari segala-galanya, demikian Bupati menutup pidatonya setengah menjerit. Minal Aidin Wal Faizin! Nyaris menitik airmata Kromodirdjo mendengar pesanpesan keramat itu. Dia bertekad boyong ke desa asal pada kesempatan pertama yang memungkinkan, kalau perlu sambil jalan kaki. Yang sedikit menjadi pikirannya hanyalah kerja apa yang akan dilakukannya karena dia tidak punya tanah lagi walau sejengkal pun. Tapi itu soal kecil, bisa dipecahkan belakangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus