TERMASUK daftar orang-orang kesepian di Republik yang makin
padat penduduknya ini, adalah penjaga stasiun relay tv. Seperti
juga mereka yang terdampar di kaki mercu suar, atawa mereka yang
menjaga dengkur kawah gunung, orang-orang ini hanya bergaul
dengan pesawat tv dan dirinya sendiri. "Seperti dalam penjara,
duduk melulu. Kawan kita dalam ruangan 4 kali, 3 meter, yah
itu-itu juga," ujar Muhammad Yani (25 tahun) di stasiun pemancar
TVRI Banjarmasin.
Stasiun itu sebetulnya tidak terlalu sepi. Karena dihuni 3
tenaga teknisi dan 3 pembantu. Yani termasuk yang disebut
belakangan. Namun ia mengaku tanggung jawabnya tak kalah gede.
Dialah orang yang membersihkan rumput di halaman, membersihkan
kamar-kamar dan ruangan operasi. Dan dialah juga yang
menghidupkan dan mematikan siaran. "Saya ini pembantu apa saja.
Yang bisa saya lakukan, saya lakukan," ucapnya. Jadi sebagaimana
juga para teknisi, ia ikut siap tempur selama siaran
berlangsung.
Sesuai dengan watak agraris rata-rata orang Indonesia, Yani
gatal melihat halaman stasiun yang letaknya tak jauh dari jalan
raya. Lalu ia be.rcocok tanam di belakang. Tidak terlalu penting
hasilnya. Maksud utamanya adalah untuk membunuh waktu.
Barangkali itulah hiburannya yang paling penting saat ini, di
samping gajinya Rp 30 ribu--dalam status calon pegawai. Tv
sendiri sudah membosankan karena ditonton tiap hari -- meskipun
ia pribadi tidak punya tv atau radio di rumah. Sementara itu
yang menyenangkan adalah pandangan masyarakat kepadanya. Orang
tidak mengenalnya sebagai pembantu--ia dianggap sebagai petugas
pemancar. Sebutan yang cukup gagah buat orang daerah. "Jadi
biarlah saya jadi pegawai negeri dengan pangkat yang rendah,"
kata Yani menandaskan tekad dan cintanya.
Adi Harahap (23 tahun) salah seorang teknisi baru bekerja 6
bulan--setelah melewati latihan di stasiun TVRI Senayan,
Jakarta. Baginya gaji yang hanya Rp 30 ribu masih merupakan
soal, karena setiap akhir bulan, kayaknya ia hanya membubuhkan
tanda tangan, lalu duit langsung dimakan hutang. "Bahkan tak
sempat mampir di saku," ujarnva. Namun demikian, ia masih
melihat nasa depan yang bagus pada pekerjaan itu. Paling tidak
karena ia masih muda dan hari depan masih penuh dengan janji.
Apalagi kalau diingat ia adalah salah satu dari 40 yang
beruntung diterima dari 4 ribu calon pelamar.
Sebagai lulusan STM jurusan elektro menjaga stasiun relay bagi
Adi tidak sulit. Paling banter kerusakan kecil-kecil yang segera
bisa dihajar. Kalau toh kadangkala muncul problem, itu lantaran
alat-alat yang diperlukan tak ada. Dua kali sempat ia terpaksa
minta bantuan ke Jakarta. Dua minggu paling cepat, baru
alat-alatnya muncul. "Untungnya di sini kita punya 2 pernancar.
Kecuali kalau kedua pemancar itu rusak berbarengan, baru
masyarakat Kal-Sel tidak bisa nonton tv," kata Adi.
Yang paling sering dihadapi oleh anak muda ini, adalah keluhan
masyarakat bila gambar burem. Adi terpaksa menjelaskan terus
menerus bahwa ada 6 saluran yang dilewati oleh gambar sebelum
sampai ke layar pemilik tv Banjarmasin. Siaran dari Senayan
(Jakarta), mula-mula ditarik ke Cibinong. Kemudian disodok ke
Palapa. Dari situ dimuntahkan ke stasiun grown Madiangin
(Kal-Sel) -- masih digulir ke perum (limk) Telekomunikasi
Banjarmasin. Dari sana baru dioper ke stasiun relay "Kalau ada
kerusakan gambar, masyarakat memang cuma tahu kalau kerusakan
itu dari stasiun kita," kata Adi.
Adi kini sudah terbiasa dengan pekerjaannya. Padahal, ketika
berangkat dari ibukota, orang tuanya terlalu banyak pesan. Malah
menyebut-nyebut tentang orang Dayak yang suka makan
orang--supaya Adi berhati-hati. Nggak tahunya masyarakat sana
sama saja dengan orang Indonesia lainnya. Sekarang Adi malah
sempat melanjutkan kuliahnya di Universitas Lambung Mangkurat,
IKIP jurusan Inggeris. Pekerjaan tak terganggu karena kuliah
pagi atau siang. Bahkan kalau ada siaran siang, ia bisa atur
kerja sama dengan rekan-rekannya.
Menjaga stasiun relay tv memang bukan pekerjaan malang.
Choesnoel Wathon yang terpental menghuni stasiun relay di
Cemorosewu, Gunung Lawu, lawa Tengah--juga bernasib cukup baik.
Setiap malm, sehabis siaran, ia tinggalkan stasiun yang
memiliki antene setinggi 100 meter itu, pulang ke rumahnya di
Tawangmangu. Sekitar 10 km jaraknya tapi tidak jadi soal, karena
ada kendaraan dinas. Sebuah Toyota hardtop.
Gaji yang diterimanya disamakan dengan pegawai negeri golongan
II C. Tetapi dengan fasilitas yang lebih baik. "Bahkan kami
mendapat tunjangan gunung Rp 9 ribu setiap bulan," katanya
dengan bangga. Jumlah tunjangan ini bisa bertambah tergantung
dari lokasi bekerja. Semakin ke puncak gunung, semakin mancung
jumlahnya. Cemorosewu terletak 1000 meter di atas permukaan
laut. Tidak terlalu sulit dicapai, karena dilintasi oleh jalan
aspal.
Stasiun yang diselimuti oleh hutan itu, dijaga oleh 9 orang
petugas. Selain itu, 100 meter dari antene selalu tampak 2
anggota Polri. Stasiun ini diresmikan oleh Menpen Budiardjo
tahun 1971. Tugasnya meneruskan siaran TVRI Jakarta ke wilayah
Jawa Timur bagian barat. Ia menangkap gambar secara berantai
dari stasiun relay Semarang, Tegal, Cirebon, Tangkuban Perahu
dan Jakarta. Selebihnya diestapetkan lewat pemancar relay di
Gunung Pandan, Mojokerto, Surabaya, Lumajang dan Jember --
sebelum adanya Palapa. Sekarang semuanya ditangani Palapa.
Orang Solo Senang
"Setelah ada Palapa, tanpa stasiun rela pun siaran TVRI Jakarta
sudah bisa ditangkap di seluruh Jatim lewat stasiun bumi tapi
kita tetap bekerja. Misalnya untuk jaga-jaga kalau listrik mati
di stasiun Surabaya--siaran masih bisa diambil secara estapet
kembali," kata Choesnoel. Di stasiun yang ditunggunya ada
pesawat pengontrol, jadi sedikit saja ada gangguan, ia bisa
mengetahuinya. "Sampai sekarang tidak ada gangguan keamanan baik
dari binatang maupun manusia," kata lelaki itu lebih lanjut.
Setelah Surabaya punya stasiun TVRI sendiri, tugas Cemorosewu
adalah memperlancar siaran dari Surabaya. Hubungannya erat
dengan relay di Gunung Pandan dan Mojokerto. "Tapi kalau ada
kerusakan listrik di Surabaya, ia kembali berbalik arah, bukan
meneruskan gambar dari relay di sebelah timurnya, tapi mengambil
gambar dari Semarang untuk diestapetkan ke timur," kata penjaga
itu lebih lanjut. Dengan begitu orang yang punya pesawat tv di
Solo jadi seneng banget. Kenapa? Di kota itu pemilik tv bisa
ganti-ganti saluran. Menangkap gambar dari Surabaya, Yogya dan
Jakarta pada jam-jam tertentu.
Cemorosewu adalah daerah yang mengasyikkan. Pelancong
menyukainya karena berudara sejuk. "Tapi kita mulai tersiksa
kalau sudah musim hujan. Kalau sehari semalam hujan tak berhenti
suhu udara yang biasanya masih 16 derajat bisa anjlok jadi 7
derajat selcius," keluh Choesnoel. Untung ada tungku di dalam
bangunan di bawah antene. "Kalau sudah begitu, ya satu-satunya
jalan adalah menghidupkan tungku itu," katanya lebih lanjut.
Dingin udara lama-lama sudah terbiasa. Yang mengkhawatirkan
penjaga yang mulai dinas sejak 1965 ini (mulai dari Tangkuban
Perahu) adalah batuknya Gunung Lawu. Pada awal tahun ini Lawu
menggigil. Hampir selama 4 bulan gempa besar-kecil tak
henti-hentinya menggoda Cemorosewu. "Kalau langit mulai mendung,
kami mulai cemas, sebab gempa itu biasanya datang beruntun
setelah turun hujan," kata Choesnoel, "kamipun sudah siap-siap
menjauh ùari bangunan itu, kalau bumi terasa goyang khawatir
bangunan roboh."
Tatkala kemarau menendang musim hujan, Gunung Lawu mulai tenang.
Choesnoel mengurut dada, apalagi mendengar kabar stasiun akan
dipindahkan ke daerah yang lebih menjamin keamanan. Kini masih
bisa terlihat retak-retak tembok bangunan yang selalu mencubit
rasa ngeri.
Ingin Diangkat
Di tempatnya yang baru--mungkin juga lebih sepi--Choesnoel
mengharapkan tidak berhadapan langsung dengan gunung yang batuk.
Harapannya yang lain adalah ingin segera diangkat jadi pegawai
negeri. "Asal fasilitas tetap," katanya cepat-cepat menambahkan.
Dua tahun yang lalu pernah ada kabar soal pengangkatan. "Kami
sudah menyiapkan kelengkapan administrasi, eh ternyata belum
sampai sekarang."
Ratmono (23 tahun) penjaga stasiun relay chanel 7 di Gunung
Tangkuban Perahu (Jawa Barat), juga kedinginan mula-mula
berdinas. Lulusan STM Yogya ini sebenarnya tak pernah bermimpi
akan bertugas di gunung. Ketika ia mendaftar ke tv, bayangannya
ditempatkan di Jakarta. Desember 1978 tiba-tiba ia ditempatkan
di bukit Nagrak, 1900 meter di atas muka laut. "Selama sebulan
ingat terus kampung halaman, soalnya di sini memang terisolir
dari keramaian masyarakat. Apa boleh buat," katanya kepada
TEMPO.
Sebaliknya Suyono (27 tahun), di pos yang sama merasa tak pernah
kesepian. Lulusan STM Bandung ini mengaku sejak semula sudah
menyiapkan diri untuk kehidupan yang terasing. Ia memang sangat
doyan menghirup udara pegunungan. "Sekarang pergi ke kota malah
terasa sekali adanya perbedaan udara," kata Suyono. Ia menghuni
Nagrak sejak 1976. Kendati ada libur tiga kali setiap minggu, ia
tetap tinggal di gunung, berolahraga, menanam bunga atau sekedar
membenahi ruangan.
Di bukit Nagrak ada 3 pemuda, semuanya lulusan STM. Mereka
ditemani oleh 3 pembantu. Fasilitas cukup. Ada mobil dinas untuk
mengambil surat atau bacaan ke Lembang yang jaraknya 9 km.
"Hanya celakanya, kalau turun hujan, seharian di sini bisa bau
kentut," kata salah seorang penghuni. Yang dimaksudkan adalah
bau uap belerang vang meruap dari lubang kawah. Tapi itu
lama-lama biasa juga. Mungkin yang benar-benar belum terbiasa
sekarang, kalau malam minggu tiba. "Nah itulah dukanya, kita
cuma bisa membayangkan pacar di kampung halaman," kata Suyono.
Terkesima
Karena harus berdinas dari pukul 8 sampai pukul 2 siang,
kemudian disambung dari pukul setengah empat sampai siaran
selesai. Setelah itu para petugas ini jarang pulang ke kampung.
Terkadang sampai setahun baru pulang. Bahkan pada bulan puasa
(semuanya puasa di bulan Ramadhan ini) terkadang mereka tak
sempat saur. Barangkali menyadari bagaimana rasanya kesepian,
pimpinan TVRI Jakarta memberikan insentif khusus di samping gaji
dan tunjangan lain yang disebut "uang kesepian". "Cukup untuk
sekedar jajan," kata Suyono sambil tersenyum.
Di stasiun itu tidak ada telepon. Kecuali hubungan antar stasiun
relay dan TVRI pusat. Penerangan berupa diesel berkekuatan 50
kva. "Tapi kalau siaran selesai, penerangan diganti dengan lampu
patromaks yang juga berfungsi sebagai pemanas ruangan," kata
Suyono. Ia dan rekan-rekannya tidak pernah mendapat keluhan dari
masyarakat perkara gambar burem. Rupa-rupanya masyarakat
setempat faham kesalahan bukan terletak di stasiun relay.
Sekali, tatkala pertandingan Thomas Cup, penduduk Padalarang
tiba-tiba muncul satu colt. Mereka memprotes, marah-marah,
karena pas pertandingan final, tiba-tiba tv Padalarang
terganggu. Mereka merasa kehilangan momen sejarah. Suyono yang
baru pertama kali diprotes karuan saja terkesima. Selidik punya
selidik ketahuan daerah Padalarang memang belum bisa terjangkau
oleh channel 7 dari Nagrak. Mereka bisa menikmati siaran berkat
adanya siaran channel 5 milik ITB yang dipasang di puncak Gunung
Tangkuban Perahu. Mengetahui keadaan itu, penduduk Padalarang
yang marah menarik kemarahannya, malahan lantas maaf-maafan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini