Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mereka dingin dan sepi

Pengalaman para petugas di stasiun relay banjarmasin, cemorosewu dan tangkuban perahu, sebelum dan sesudah adanya palapa. (sd)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERMASUK daftar orang-orang kesepian di Republik yang makin padat penduduknya ini, adalah penjaga stasiun relay tv. Seperti juga mereka yang terdampar di kaki mercu suar, atawa mereka yang menjaga dengkur kawah gunung, orang-orang ini hanya bergaul dengan pesawat tv dan dirinya sendiri. "Seperti dalam penjara, duduk melulu. Kawan kita dalam ruangan 4 kali, 3 meter, yah itu-itu juga," ujar Muhammad Yani (25 tahun) di stasiun pemancar TVRI Banjarmasin. Stasiun itu sebetulnya tidak terlalu sepi. Karena dihuni 3 tenaga teknisi dan 3 pembantu. Yani termasuk yang disebut belakangan. Namun ia mengaku tanggung jawabnya tak kalah gede. Dialah orang yang membersihkan rumput di halaman, membersihkan kamar-kamar dan ruangan operasi. Dan dialah juga yang menghidupkan dan mematikan siaran. "Saya ini pembantu apa saja. Yang bisa saya lakukan, saya lakukan," ucapnya. Jadi sebagaimana juga para teknisi, ia ikut siap tempur selama siaran berlangsung. Sesuai dengan watak agraris rata-rata orang Indonesia, Yani gatal melihat halaman stasiun yang letaknya tak jauh dari jalan raya. Lalu ia be.rcocok tanam di belakang. Tidak terlalu penting hasilnya. Maksud utamanya adalah untuk membunuh waktu. Barangkali itulah hiburannya yang paling penting saat ini, di samping gajinya Rp 30 ribu--dalam status calon pegawai. Tv sendiri sudah membosankan karena ditonton tiap hari -- meskipun ia pribadi tidak punya tv atau radio di rumah. Sementara itu yang menyenangkan adalah pandangan masyarakat kepadanya. Orang tidak mengenalnya sebagai pembantu--ia dianggap sebagai petugas pemancar. Sebutan yang cukup gagah buat orang daerah. "Jadi biarlah saya jadi pegawai negeri dengan pangkat yang rendah," kata Yani menandaskan tekad dan cintanya. Adi Harahap (23 tahun) salah seorang teknisi baru bekerja 6 bulan--setelah melewati latihan di stasiun TVRI Senayan, Jakarta. Baginya gaji yang hanya Rp 30 ribu masih merupakan soal, karena setiap akhir bulan, kayaknya ia hanya membubuhkan tanda tangan, lalu duit langsung dimakan hutang. "Bahkan tak sempat mampir di saku," ujarnva. Namun demikian, ia masih melihat nasa depan yang bagus pada pekerjaan itu. Paling tidak karena ia masih muda dan hari depan masih penuh dengan janji. Apalagi kalau diingat ia adalah salah satu dari 40 yang beruntung diterima dari 4 ribu calon pelamar. Sebagai lulusan STM jurusan elektro menjaga stasiun relay bagi Adi tidak sulit. Paling banter kerusakan kecil-kecil yang segera bisa dihajar. Kalau toh kadangkala muncul problem, itu lantaran alat-alat yang diperlukan tak ada. Dua kali sempat ia terpaksa minta bantuan ke Jakarta. Dua minggu paling cepat, baru alat-alatnya muncul. "Untungnya di sini kita punya 2 pernancar. Kecuali kalau kedua pemancar itu rusak berbarengan, baru masyarakat Kal-Sel tidak bisa nonton tv," kata Adi. Yang paling sering dihadapi oleh anak muda ini, adalah keluhan masyarakat bila gambar burem. Adi terpaksa menjelaskan terus menerus bahwa ada 6 saluran yang dilewati oleh gambar sebelum sampai ke layar pemilik tv Banjarmasin. Siaran dari Senayan (Jakarta), mula-mula ditarik ke Cibinong. Kemudian disodok ke Palapa. Dari situ dimuntahkan ke stasiun grown Madiangin (Kal-Sel) -- masih digulir ke perum (limk) Telekomunikasi Banjarmasin. Dari sana baru dioper ke stasiun relay "Kalau ada kerusakan gambar, masyarakat memang cuma tahu kalau kerusakan itu dari stasiun kita," kata Adi. Adi kini sudah terbiasa dengan pekerjaannya. Padahal, ketika berangkat dari ibukota, orang tuanya terlalu banyak pesan. Malah menyebut-nyebut tentang orang Dayak yang suka makan orang--supaya Adi berhati-hati. Nggak tahunya masyarakat sana sama saja dengan orang Indonesia lainnya. Sekarang Adi malah sempat melanjutkan kuliahnya di Universitas Lambung Mangkurat, IKIP jurusan Inggeris. Pekerjaan tak terganggu karena kuliah pagi atau siang. Bahkan kalau ada siaran siang, ia bisa atur kerja sama dengan rekan-rekannya. Menjaga stasiun relay tv memang bukan pekerjaan malang. Choesnoel Wathon yang terpental menghuni stasiun relay di Cemorosewu, Gunung Lawu, lawa Tengah--juga bernasib cukup baik. Setiap malm, sehabis siaran, ia tinggalkan stasiun yang memiliki antene setinggi 100 meter itu, pulang ke rumahnya di Tawangmangu. Sekitar 10 km jaraknya tapi tidak jadi soal, karena ada kendaraan dinas. Sebuah Toyota hardtop. Gaji yang diterimanya disamakan dengan pegawai negeri golongan II C. Tetapi dengan fasilitas yang lebih baik. "Bahkan kami mendapat tunjangan gunung Rp 9 ribu setiap bulan," katanya dengan bangga. Jumlah tunjangan ini bisa bertambah tergantung dari lokasi bekerja. Semakin ke puncak gunung, semakin mancung jumlahnya. Cemorosewu terletak 1000 meter di atas permukaan laut. Tidak terlalu sulit dicapai, karena dilintasi oleh jalan aspal. Stasiun yang diselimuti oleh hutan itu, dijaga oleh 9 orang petugas. Selain itu, 100 meter dari antene selalu tampak 2 anggota Polri. Stasiun ini diresmikan oleh Menpen Budiardjo tahun 1971. Tugasnya meneruskan siaran TVRI Jakarta ke wilayah Jawa Timur bagian barat. Ia menangkap gambar secara berantai dari stasiun relay Semarang, Tegal, Cirebon, Tangkuban Perahu dan Jakarta. Selebihnya diestapetkan lewat pemancar relay di Gunung Pandan, Mojokerto, Surabaya, Lumajang dan Jember -- sebelum adanya Palapa. Sekarang semuanya ditangani Palapa. Orang Solo Senang "Setelah ada Palapa, tanpa stasiun rela pun siaran TVRI Jakarta sudah bisa ditangkap di seluruh Jatim lewat stasiun bumi tapi kita tetap bekerja. Misalnya untuk jaga-jaga kalau listrik mati di stasiun Surabaya--siaran masih bisa diambil secara estapet kembali," kata Choesnoel. Di stasiun yang ditunggunya ada pesawat pengontrol, jadi sedikit saja ada gangguan, ia bisa mengetahuinya. "Sampai sekarang tidak ada gangguan keamanan baik dari binatang maupun manusia," kata lelaki itu lebih lanjut. Setelah Surabaya punya stasiun TVRI sendiri, tugas Cemorosewu adalah memperlancar siaran dari Surabaya. Hubungannya erat dengan relay di Gunung Pandan dan Mojokerto. "Tapi kalau ada kerusakan listrik di Surabaya, ia kembali berbalik arah, bukan meneruskan gambar dari relay di sebelah timurnya, tapi mengambil gambar dari Semarang untuk diestapetkan ke timur," kata penjaga itu lebih lanjut. Dengan begitu orang yang punya pesawat tv di Solo jadi seneng banget. Kenapa? Di kota itu pemilik tv bisa ganti-ganti saluran. Menangkap gambar dari Surabaya, Yogya dan Jakarta pada jam-jam tertentu. Cemorosewu adalah daerah yang mengasyikkan. Pelancong menyukainya karena berudara sejuk. "Tapi kita mulai tersiksa kalau sudah musim hujan. Kalau sehari semalam hujan tak berhenti suhu udara yang biasanya masih 16 derajat bisa anjlok jadi 7 derajat selcius," keluh Choesnoel. Untung ada tungku di dalam bangunan di bawah antene. "Kalau sudah begitu, ya satu-satunya jalan adalah menghidupkan tungku itu," katanya lebih lanjut. Dingin udara lama-lama sudah terbiasa. Yang mengkhawatirkan penjaga yang mulai dinas sejak 1965 ini (mulai dari Tangkuban Perahu) adalah batuknya Gunung Lawu. Pada awal tahun ini Lawu menggigil. Hampir selama 4 bulan gempa besar-kecil tak henti-hentinya menggoda Cemorosewu. "Kalau langit mulai mendung, kami mulai cemas, sebab gempa itu biasanya datang beruntun setelah turun hujan," kata Choesnoel, "kamipun sudah siap-siap menjauh ùari bangunan itu, kalau bumi terasa goyang khawatir bangunan roboh." Tatkala kemarau menendang musim hujan, Gunung Lawu mulai tenang. Choesnoel mengurut dada, apalagi mendengar kabar stasiun akan dipindahkan ke daerah yang lebih menjamin keamanan. Kini masih bisa terlihat retak-retak tembok bangunan yang selalu mencubit rasa ngeri. Ingin Diangkat Di tempatnya yang baru--mungkin juga lebih sepi--Choesnoel mengharapkan tidak berhadapan langsung dengan gunung yang batuk. Harapannya yang lain adalah ingin segera diangkat jadi pegawai negeri. "Asal fasilitas tetap," katanya cepat-cepat menambahkan. Dua tahun yang lalu pernah ada kabar soal pengangkatan. "Kami sudah menyiapkan kelengkapan administrasi, eh ternyata belum sampai sekarang." Ratmono (23 tahun) penjaga stasiun relay chanel 7 di Gunung Tangkuban Perahu (Jawa Barat), juga kedinginan mula-mula berdinas. Lulusan STM Yogya ini sebenarnya tak pernah bermimpi akan bertugas di gunung. Ketika ia mendaftar ke tv, bayangannya ditempatkan di Jakarta. Desember 1978 tiba-tiba ia ditempatkan di bukit Nagrak, 1900 meter di atas muka laut. "Selama sebulan ingat terus kampung halaman, soalnya di sini memang terisolir dari keramaian masyarakat. Apa boleh buat," katanya kepada TEMPO. Sebaliknya Suyono (27 tahun), di pos yang sama merasa tak pernah kesepian. Lulusan STM Bandung ini mengaku sejak semula sudah menyiapkan diri untuk kehidupan yang terasing. Ia memang sangat doyan menghirup udara pegunungan. "Sekarang pergi ke kota malah terasa sekali adanya perbedaan udara," kata Suyono. Ia menghuni Nagrak sejak 1976. Kendati ada libur tiga kali setiap minggu, ia tetap tinggal di gunung, berolahraga, menanam bunga atau sekedar membenahi ruangan. Di bukit Nagrak ada 3 pemuda, semuanya lulusan STM. Mereka ditemani oleh 3 pembantu. Fasilitas cukup. Ada mobil dinas untuk mengambil surat atau bacaan ke Lembang yang jaraknya 9 km. "Hanya celakanya, kalau turun hujan, seharian di sini bisa bau kentut," kata salah seorang penghuni. Yang dimaksudkan adalah bau uap belerang vang meruap dari lubang kawah. Tapi itu lama-lama biasa juga. Mungkin yang benar-benar belum terbiasa sekarang, kalau malam minggu tiba. "Nah itulah dukanya, kita cuma bisa membayangkan pacar di kampung halaman," kata Suyono. Terkesima Karena harus berdinas dari pukul 8 sampai pukul 2 siang, kemudian disambung dari pukul setengah empat sampai siaran selesai. Setelah itu para petugas ini jarang pulang ke kampung. Terkadang sampai setahun baru pulang. Bahkan pada bulan puasa (semuanya puasa di bulan Ramadhan ini) terkadang mereka tak sempat saur. Barangkali menyadari bagaimana rasanya kesepian, pimpinan TVRI Jakarta memberikan insentif khusus di samping gaji dan tunjangan lain yang disebut "uang kesepian". "Cukup untuk sekedar jajan," kata Suyono sambil tersenyum. Di stasiun itu tidak ada telepon. Kecuali hubungan antar stasiun relay dan TVRI pusat. Penerangan berupa diesel berkekuatan 50 kva. "Tapi kalau siaran selesai, penerangan diganti dengan lampu patromaks yang juga berfungsi sebagai pemanas ruangan," kata Suyono. Ia dan rekan-rekannya tidak pernah mendapat keluhan dari masyarakat perkara gambar burem. Rupa-rupanya masyarakat setempat faham kesalahan bukan terletak di stasiun relay. Sekali, tatkala pertandingan Thomas Cup, penduduk Padalarang tiba-tiba muncul satu colt. Mereka memprotes, marah-marah, karena pas pertandingan final, tiba-tiba tv Padalarang terganggu. Mereka merasa kehilangan momen sejarah. Suyono yang baru pertama kali diprotes karuan saja terkesima. Selidik punya selidik ketahuan daerah Padalarang memang belum bisa terjangkau oleh channel 7 dari Nagrak. Mereka bisa menikmati siaran berkat adanya siaran channel 5 milik ITB yang dipasang di puncak Gunung Tangkuban Perahu. Mengetahui keadaan itu, penduduk Padalarang yang marah menarik kemarahannya, malahan lantas maaf-maafan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus