Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Salut pada dokter terpencil

Depkes memilih 26 dokter puskesmas teladan. erdina hardiono djuned pusponegoro, agus firmansyah & soedjoko hariadi, 3 diantara dokter teladan mengisahkan suka dukanya bertugas di daerah. (ksh)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK pertama kali ada dokter puskesmas teladan. Dari 2.664 orang yang bertebaran di puskesmas seluruh penjuru tanah-air (tak termasuk Timor Timur) Departemen Kesehatan memilih 26 dokter yang dianggap paling jempolan dalam menjalankan tugas. Tiga di antaranya wanita. Pemilihan ini bertujuan merangsang para dokter untuk bekerja lebih baik, walaupun ditugaskan ke tempat terpencil. Telah ada tim pemilih yang terdiri dari unsur pemerintah daerah setempat, DPRD dan dinas kesehatan daerah. Tim itu memakai kriteria pengabdian mereka sebagai dokter kepada masyarakat, hubungan mereka sebagai pribadi dengan masyarakat, kemampuan mengorganisir puskesmas dan kepekaan mereka terhadap musibah seperti bencana alam dan epidemi penyakit. Panitia sendiri agak sulit dalam menentukan kriteria tadi. Semula ada yang berpikiran untuk menilai kemampuan dokter dalam menurunkan angka penyakit dan kematian. Tapi karena kondisi tiap daerah berbeda, sedang peralatan yang timpang, maka penilaian didasarkan pada pengabdian. Ikatan Dokter Indonesia tidak diajak serta. Tapi ketua umumnya, dr.Syamsudin, menganggap pemilihan dokter puskesmas teladan itu sangat bermanfaat. "Siapa lagi yang akan memberikan penghargaan kalau bukan Departemen Kesehatan. Kejelekan dokter sendiri sudah banyak dikecam oleh masyarakat, terutama oleh pers," katanya. Ke-26 dokter yang mujur itu adalah Hanafiah Hasan (Aceh), Bambang Hardjono (Sumatera Utara), Syahril Sani (Sumatera Barat), Singgih Atmo-Sutardjo (Riau), Nyoman Kandun MPEI (Jambi), Rosalina Lanasari (Sumatera Selatan), Purwanto (Bengkulu), Hb Bob Bazar (Lampung), Zulrasdi Djairas (Jakarta), Karna Muljadi (Jawa Barat), Elyas Winoto (Jawa Tengah), Sri Endarini (Yogyakarta), Soedjoko Hariadi (Jawa Timur), Chairil Hamid (Kalimantan Barat), Setiyono (Kalimantan Tengah), Wawan Suharwan (Kalimantan Selatan), August Wenas Ngantung (Kalimantan Timur), W. Kalalo (Sulawesi Utara), Albert 0. Agan (Sulawesi Tengah), N.K. Effendi P (Sulawesi Selatan), Suyudiana Nata wisastra (Sulawesi Tenggara), Nyoman Sugitha (Bali), Erdina Hardiono Djuned Pusponegoro (Nusa Tenggara Barat), Agus Firmansyah (Nusa Tenggara Timur), Ahmad Azis (Maluku) dan sudi Subijanto (Irian Jaya). Mereka memperoleh kenaikan pangkar luarbiasa. Kalau melalui prosedur normal kenaikan pangkat menunggu sampai empat tahun, sekarang cukup 2 tahun saja. Ada pula hadiah berupa materi. Di samping itu mereka dapat hadir bersama undangan terhormat lainnya di Istana Merdeka dalam upacara memperingati hari proklamasi. Selama di Jakarta mereka menginap di Hotel Sahid Jaya. Karena baru pertama kali dokter teladan dipilih, beberapa di antara mereka itu agak kecewa. Maklum sesampai di hotel mereka belum tahu di kamar mana mereka menginap. Di sini sedikit contoh suka-duka mereka:  Erdina Hardiono Djuncd Pusponegoro. Bagaikan pinang dibelah dua ia dan suaminya Hardiono (juga dokter) bertugas di kecamatan bersempadan di Pulau Lombok. Ia mengepalai puskesmas di Kecamatan Tanjung, sedang suaminya sejauh 6 km di Kecamatan Gangga. Pagi mereka berpisah. Sorenya bertemu kembali di rumah dinas yang terletak di seberang Puskesmas Tanjung. Mereka sebaya, 28 tahun. Erdina, kelahiran Medan, lulus dari FKUI Pebruari 1977. Sedangkan suaminya (anak bungsu Prof Sudjono Djuned Pusponegoro) Desember 1976. Mereka memilih Lombok sebagai daerah tugas praktek selama 3 tahun. Di sana sang suami ternyata tidak sekuat Erdina. Hadiono terserang malaria, penyakit endemis setempat. Dalam menjalankan tugasnya, Erdina terkadang harus berjalan kaki mendaki bukit sejauh 9 km. Ia turut menyebarkan kabar mengenai KB bersama para pejabat setempat (semuanya laki laki). Ketika hendak mencapai suatu kampung, karena saking lelahnya ia sempat bertanya! "Sampai kapan baru kita sampai" Ia juga harus memberanikan diri menumpang perahu untuk mencapai penduduk di pulau yang bertebar sekitar 10 km dari puskemasnya. Gempa menggoncang Lombok 30 Mei lalu. Rumah yang terbuat dari batu rubuh. Sejak itu suami-isteri dokter puskesmas ini pindah ke gubuk yang dibikin dari bambu. Tak berani mereka tinggal lagi di rumah dinas. Namun mereka gembira. "Kami bisa membeli televisi dengan gaji kami berdua," kata Erdina.  Agus Firrnansyah. Dokrer ini, 27 tahun, lahir dan dibesarkan di Jakarta. Katanya ia "jatuh cinta" pada daerah Nusa Tenggara Timur. Ia mengenal daerah itu lewat Karya Bhakti Husada yang diselenggarakan FKUI. Setelah lulus dari UI, ia memilih daerah yang sering ditimpa bencana itu. Agustus 1977, ia langsung ditempatkan di Puskesmas Eahun, nun terpencil di Pulau Roti. Ia mencapai daerah itu dengan perahu bermotor dalam 9 jam dari Kupang. Di Selat Fukuafu perutnya digoncang ombak ganas. Dalam radius 3 km tak ada penduduk di tempatnya itu. Dengan 3 pembantu dan sepeda motor Suuki ia mengenali medan. Hari-hari pertama tak ada pasien yang menampakkan diri. Dua minggu kemudian ada orang mengetuk pintu jam 2 dini hari, hujan lebat. "Ada pembunuhan, Pak!" lapor tamu yang ternyata 2 polisi. Jauhnya tempar pembunuhan itu 40 km. Dengan sepeda motor tak mungkin, karena becek dan jalan sempit. Ternyata tamu datang dengan 3 ekor kuda. Itulah perrama kali ia naik kuda. Di tempat tujuan ia menemukan korban dengan luka yang ternganga akibat bacokan parang. "Saya jahit luka itu dengan benang kelos, karena benang khusus tak tersedia," katanya. Satu bulan kemudian pasien itu pun sembuh. Ia diundang lagi. "Tapi saya tak datang. Ada tugas lain. Lagi pula saya tahu pasri akan dipuja setengah mati. Karena itu saya menghindar," ceritanya.  Soedjoko Hariadi. "Kalau didengar cerita teman-teman dari daerah terpencil, saya langsung merasa hasil yang saya peroleh iru belum apa apa," kata dokter ini yang beristeri sarjana hukum. Mereka dikaruniai 3 putera. Lulus dari Universitas Airlangga tahun 1972, ia langsung bekerja di Puskesmas Kecamatan Taman, Sidoarjo, Jawa Timur. Saban hari rata-rata ia melayani 80 pasien. Pembantunya banyak. Fasilitasnya lengkap. "Jadi bisa dikatakan nggak ada masalah. Medannya enak, tinggal bagaimana melakukan pendekatan pada masyarakat," katanya. Ia mengaku sebagai anak desa. Tak ada kesulitan baginya bertugas di desa. Gajinya per bulan Rp 60.000, ditambah Rp 30.000 lagi untuk jabatannya di asuransi kesehatan. Listerik ada. Mobil ada, apalagi televisi. "Tapi mobil itu pemberian orang tua. Holden tahun 1960," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus