UNTUK pertama kali ada dokter puskesmas teladan. Dari 2.664
orang yang bertebaran di puskesmas seluruh penjuru tanah-air
(tak termasuk Timor Timur) Departemen Kesehatan memilih 26
dokter yang dianggap paling jempolan dalam menjalankan tugas.
Tiga di antaranya wanita.
Pemilihan ini bertujuan merangsang para dokter untuk bekerja
lebih baik, walaupun ditugaskan ke tempat terpencil. Telah ada
tim pemilih yang terdiri dari unsur pemerintah daerah setempat,
DPRD dan dinas kesehatan daerah. Tim itu memakai kriteria
pengabdian mereka sebagai dokter kepada masyarakat, hubungan
mereka sebagai pribadi dengan masyarakat, kemampuan
mengorganisir puskesmas dan kepekaan mereka terhadap musibah
seperti bencana alam dan epidemi penyakit.
Panitia sendiri agak sulit dalam menentukan kriteria tadi.
Semula ada yang berpikiran untuk menilai kemampuan dokter dalam
menurunkan angka penyakit dan kematian. Tapi karena kondisi tiap
daerah berbeda, sedang peralatan yang timpang, maka penilaian
didasarkan pada pengabdian.
Ikatan Dokter Indonesia tidak diajak serta. Tapi ketua umumnya,
dr.Syamsudin, menganggap pemilihan dokter puskesmas teladan itu
sangat bermanfaat. "Siapa lagi yang akan memberikan penghargaan
kalau bukan Departemen Kesehatan. Kejelekan dokter sendiri sudah
banyak dikecam oleh masyarakat, terutama oleh pers," katanya.
Ke-26 dokter yang mujur itu adalah Hanafiah Hasan (Aceh),
Bambang Hardjono (Sumatera Utara), Syahril Sani (Sumatera
Barat), Singgih Atmo-Sutardjo (Riau), Nyoman Kandun MPEI
(Jambi), Rosalina Lanasari (Sumatera Selatan), Purwanto
(Bengkulu), Hb Bob Bazar (Lampung), Zulrasdi Djairas (Jakarta),
Karna Muljadi (Jawa Barat), Elyas Winoto (Jawa Tengah), Sri
Endarini (Yogyakarta), Soedjoko Hariadi (Jawa Timur), Chairil
Hamid (Kalimantan Barat), Setiyono (Kalimantan Tengah), Wawan
Suharwan (Kalimantan Selatan), August Wenas Ngantung (Kalimantan
Timur), W. Kalalo (Sulawesi Utara), Albert 0. Agan (Sulawesi
Tengah), N.K. Effendi P (Sulawesi Selatan), Suyudiana Nata
wisastra (Sulawesi Tenggara), Nyoman Sugitha (Bali), Erdina
Hardiono Djuned Pusponegoro (Nusa Tenggara Barat), Agus
Firmansyah (Nusa Tenggara Timur), Ahmad Azis (Maluku) dan sudi
Subijanto (Irian Jaya).
Mereka memperoleh kenaikan pangkar luarbiasa. Kalau melalui
prosedur normal kenaikan pangkat menunggu sampai empat tahun,
sekarang cukup 2 tahun saja. Ada pula hadiah berupa materi. Di
samping itu mereka dapat hadir bersama undangan terhormat
lainnya di Istana Merdeka dalam upacara memperingati hari
proklamasi.
Selama di Jakarta mereka menginap di Hotel Sahid Jaya. Karena
baru pertama kali dokter teladan dipilih, beberapa di antara
mereka itu agak kecewa. Maklum sesampai di hotel mereka belum
tahu di kamar mana mereka menginap.
Di sini sedikit contoh suka-duka mereka:
Erdina Hardiono Djuncd Pusponegoro. Bagaikan pinang dibelah dua
ia dan suaminya Hardiono (juga dokter) bertugas di kecamatan
bersempadan di Pulau Lombok. Ia mengepalai puskesmas di
Kecamatan Tanjung, sedang suaminya sejauh 6 km di Kecamatan
Gangga. Pagi mereka berpisah. Sorenya bertemu kembali di rumah
dinas yang terletak di seberang Puskesmas Tanjung. Mereka
sebaya, 28 tahun.
Erdina, kelahiran Medan, lulus dari FKUI Pebruari 1977.
Sedangkan suaminya (anak bungsu Prof Sudjono Djuned Pusponegoro)
Desember 1976. Mereka memilih Lombok sebagai daerah tugas
praktek selama 3 tahun. Di sana sang suami ternyata tidak sekuat
Erdina. Hadiono terserang malaria, penyakit endemis setempat.
Dalam menjalankan tugasnya, Erdina terkadang harus berjalan kaki
mendaki bukit sejauh 9 km. Ia turut menyebarkan kabar mengenai
KB bersama para pejabat setempat (semuanya laki laki). Ketika
hendak mencapai suatu kampung, karena saking lelahnya ia sempat
bertanya! "Sampai kapan baru kita sampai" Ia juga harus
memberanikan diri menumpang perahu untuk mencapai penduduk di
pulau yang bertebar sekitar 10 km dari puskemasnya.
Gempa menggoncang Lombok 30 Mei lalu. Rumah yang terbuat dari
batu rubuh. Sejak itu suami-isteri dokter puskesmas ini pindah
ke gubuk yang dibikin dari bambu. Tak berani mereka tinggal lagi
di rumah dinas. Namun mereka gembira. "Kami bisa membeli
televisi dengan gaji kami berdua," kata Erdina.
Agus Firrnansyah. Dokrer ini, 27 tahun, lahir dan dibesarkan di
Jakarta. Katanya ia "jatuh cinta" pada daerah Nusa Tenggara
Timur. Ia mengenal daerah itu lewat Karya Bhakti Husada yang
diselenggarakan FKUI. Setelah lulus dari UI, ia memilih daerah
yang sering ditimpa bencana itu. Agustus 1977, ia langsung
ditempatkan di Puskesmas Eahun, nun terpencil di Pulau Roti. Ia
mencapai daerah itu dengan perahu bermotor dalam 9 jam dari
Kupang. Di Selat Fukuafu perutnya digoncang ombak ganas.
Dalam radius 3 km tak ada penduduk di tempatnya itu. Dengan 3
pembantu dan sepeda motor Suuki ia mengenali medan. Hari-hari
pertama tak ada pasien yang menampakkan diri. Dua minggu
kemudian ada orang mengetuk pintu jam 2 dini hari, hujan lebat.
"Ada pembunuhan, Pak!" lapor tamu yang ternyata 2 polisi.
Jauhnya tempar pembunuhan itu 40 km. Dengan sepeda motor tak
mungkin, karena becek dan jalan sempit. Ternyata tamu datang
dengan 3 ekor kuda. Itulah perrama kali ia naik kuda.
Di tempat tujuan ia menemukan korban dengan luka yang ternganga
akibat bacokan parang. "Saya jahit luka itu dengan benang kelos,
karena benang khusus tak tersedia," katanya. Satu bulan kemudian
pasien itu pun sembuh. Ia diundang lagi. "Tapi saya tak datang.
Ada tugas lain. Lagi pula saya tahu pasri akan dipuja setengah
mati. Karena itu saya menghindar," ceritanya.
Soedjoko Hariadi. "Kalau didengar cerita teman-teman dari
daerah terpencil, saya langsung merasa hasil yang saya peroleh
iru belum apa apa," kata dokter ini yang beristeri sarjana
hukum. Mereka dikaruniai 3 putera. Lulus dari Universitas
Airlangga tahun 1972, ia langsung bekerja di Puskesmas Kecamatan
Taman, Sidoarjo, Jawa Timur.
Saban hari rata-rata ia melayani 80 pasien. Pembantunya banyak.
Fasilitasnya lengkap. "Jadi bisa dikatakan nggak ada masalah.
Medannya enak, tinggal bagaimana melakukan pendekatan pada
masyarakat," katanya.
Ia mengaku sebagai anak desa. Tak ada kesulitan baginya bertugas
di desa. Gajinya per bulan Rp 60.000, ditambah Rp 30.000 lagi
untuk jabatannya di asuransi kesehatan. Listerik ada. Mobil ada,
apalagi televisi. "Tapi mobil itu pemberian orang tua. Holden
tahun 1960," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini