Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sopan santun di jalan

Di as orang yang mengendarai melebihi kecepatan di denda. sedang di inggris, orang telah terbiasa antri dalam menunggu bis. kini ada impian terciptanya ketertiban bis kota di jakarta.

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI pinggiran kota, mobil John Morgan meluncur dengan kecepatan tinggi menuju Washington. Ia berusaha keras menepati janji, pada jam 10.00 pagi menemui penasehtnya di Universitas George Washington. John sadal, batas kecepatan maksimum 50 mil per jam di jalan yang tidak terlalu lebar dan sepi itu telah ia langgar. Tetapi ia juga tidak ingin terlambat dari janji dengan gurunya. Setelah beberapa menit ia melaju dengan kecepatan 70 mil, raung sirine patroli jalan raya pun terdengar seperti yang dapat ia duga. Setelah mendahului beberapa puluh meter, mobil polisi itu pun berhenti. Dengan sikap sempurna, hamba hukum itu pun berhormat sopan. Ujarnya: "Sir, maaf saya telah mengganggu perjalanan Anda. Saya dapat memahami, anda mungkin perlu cepat sampai di tujuan. Tetapi telah 15 mil batas kecepatan maksimum telah anda lampaui. Silakan tanda tangan pada lembar tiket ini, dan denda dapat anda selesaikan pada bank terdekat. Selamat Jalan." John Morgan tersenyum, penuh penghargaan pada polisi yang menjalankan tugas dengan korek itu. Tetapi yang lebih mentakjubkan ialah bahwa pada kesempatan pertama ia melihat bank, John segera mampir. Dituliskan di atas ceknya sejumlah dollar yang tercantum dalam tiket denda. Begitu wajar, tiada maki, tiada sesal. Sewajar ia minum coke atau makan hamburger. Kesadaran hukumnya tidak lagi terasa sebagai beban. Juga tidak sebagai pemenuhan panggilan suci. Biasa saja. *** Di West Terminal, London, Sakala, anak muda dari Uganda yang baru tiba itu, tertegun. Ia hendak ke Oxford Street, dengan bis kota bersusun. Di pinggir jalan yang ditandai hanya dengan sekeping kaleng bergambar bus dan bertuliskan nomor-nomor, satu deretan yang terdiri dari belasan orang berdiri bertumpu pada tiang penyangga rambu tersebut. Mereka antri. Padahal bus kelihatan pun belum. Begitu otomatis, begitu tabularasa, tiada berdesak, tiada berjqal. Masing-masing dengan kesibukannya sendiri membaca koran, membaca buku saku, atau mengunyah perman karet, sambil antri. Untuk antri dengan tertib teratur itu, bagi orang Inggeris ternyata tidak dibutuhkan patriotisme yang meluapluap. Sebaliknya untuk Sakala, terbiasa dengan cara naik bus di negerinya, tidak dapat memahami sama sekali rituil perantrian ini. Ia tidak mau jadi nomor. Sakala adalah insan yang mempunyai identitas dan kepribadian yang dibawa dari kampungnya yang merdeka. Maka tatkala si bus susun yang meliuk-liuk, menyeret penumpang dan ketuaan usianya itu datang, Sakala pun tiada sabar. Ia menerobos, memotong konvensi antri yang tradisinya telah tegak berabad-abad di Inggeris itu. Dengan ketidakpedulian, aturan main telah dilanggar. Nenek-nenek kondektur yang galak mulut itupun sia-sia memaksa turun Sakala yang kekar. Pandang kejijikan dan kebencian penumpang lain tidak menyentuh perasaan hatinya yang membatu. Pelanggaran konvensi itu tampaknya tidak terselesaikan dalam bus. Tetapi sesungguhnya telah ada penyelesaian. Sakala memang berada dalam bus itu. Tetapi ia bukan sebagian dari keutuhan kesadaran hukum yang dihayati penumpang-penumpang lainnya. Bus nomor 41 itu meluncur dengan kecepatan sekitar 40 km per jam di Jalan Letjen Suprapto, Jakarta. Supir begitu cekatan, sehingga tarikan berangkat maupun injakan rem waktu berhenti tiada terasa menghentak-hentak. Begitu halus, begitu hati-hati, begitu trampil. Kecepatan pun hampir rata sepanjang jalan. Mesin mobil terpelihara, dan plat kopling tiada menunjukkan keausan yang mencemaskan. Bus yang sederhana namun terpelihara itu hanya berhenti di tempat pemberhentian yang telah ditetapkan. Dengan sigap kondektur mendahului turun, dengan wajah cerah mengamati penumpang yang mengakhiri perjalanannya. Ia begitu ringan tangan terhadap orang tua atau ibu-ibu yang membutuhkan pegangan, untuk menuruni tangga bus yang cukup tinggi itu. Semuanya dikerjakan dengan ikhlas tiada gerutu, tiada bentakan. Di sana-sini ia menyapa penumpang yang baru dikenal itu dengan lelucon segar, menghalau kepenatan. Penumpang yang baru naik, mengatur diri sendiri. Mereka yang tak kebagian tempat duduk, menggeser tempat berdirinya, sehingga beban berjubel itu kurang menyiksa karena tersebar merata. Tanpa diminta, uang limapuluhan telah mereka siapkan. Begitu kondektur lewat, dengan santai ongkos itu dibayarkannya. Supir itu bersiul kecil, menggambarkan wajah yang sabar dan cerah. Gaji memang kecil tetapi pasti. Tiada yang mengejar dalam pelaksanaan tugasnya, kecuali keselamatan penumpang, kehormatan perusahaan dan integritas ketrampilannya menyetir Bus yang dapat ia andalkan dalam menjamin kepastian masa depan diri dan keluarganya. Saudara, jangan salah sangka. Saya memang sedang bermimpi tentang tertib lalu lintas di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus