Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bepergian dengan Kacamata Gender

Buku ini menyelami suasana hati Nawal el Saadawi yang membentuknya menjadi penulis feminis yang kritis. Ia melihat banyak keanehan dalam 10 tahun perjalanannya.

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalananku Mengelilingi Dunia Pengarang: Nawal el Saadawi Penerjemah: Hermoyo Penerbit: Yayasan Obor Tebal: 305 halaman

Ia selesai menuliskan pengalamannya pada 1984. Yakni ketika men-diang Anwar Sadat memimpin Mesir, tanah tumpah darahnya; ketika sensor ketat terhadap buku-bukunya diberlakukan, dan kelompok-kelompok religius ekstrem perlahan-lahan mulai melakukan tekanan terhadap siapa saja yang berbeda pandang.

Ia, dokter psikiatri Nawal el Saadawi, kini 75 tahun, menulis tentang banyak hal dalam catatan perjalanannya ke negeri-negeri Timur pada 1960 sampai 1970-an, My Travels Around the World. Buku yang berkisah mengenai negeri-negeri dengan masyarakatnya yang religius, sekaligus maskulin dan patriarkal. Negeri dengan tata nilai yang menyediakan surga bagi pria, neraka bagi perempuan.

”Tapi, di sudut kota lain, pelacuran berkedok panti pijat telah merendahkan harga diri perempuan. Perempuan di panti-panti pijat dijual dengan har-ga yang tercetak di dada mereka (hlm. 239).” Ia memahami, di Bangkok, perempuan menjadi barang murah dan legit diperjualbelikan. Di Thailand yang eksotik, ia menjumpai suatu koeksistensi yang mencengangkan: di satu pihak, para biksu mengemis di sudut-sudut jalan—”derma untuk dewa-dewa”—di lain pihak, pelacuran dengan segala bentuk perkembangannya.

Nawal kerap terpesona oleh aneka ragam hal yang dilihatnya di sepanjang perjalanan. Tapi semua itu berujung pada kesimpulan tunggal: perempuan masih tetap menjadi warga kelas dua, tak berdaya. Bahkan harga tubuhnya ditentukan oleh germo mereka yang laki-laki.

Nawal mencoba menangkap yang tidak kasatmata. Ia menyamar menjadi pria hidung belang, memasuki sebuah panti pijat. Ketika semua membungkukkan punggungnya, Nawal berpikir: ”Untuk pertama kalinya, saya memahami apa artinya menjadi laki-laki (hlm. 239).” Ia berdiri berdesakan dengan para pria yang menawar deretan gadis yang duduk di depan mereka di balik jendela kaca. Gadis-gadis yang payudaranya menggantungkan nomor undian dan harga. Penawar tinggal menentukan nomor dada yang diinginkan, lantas masuk ke lorong bersama gadis pilihannya.

Buku yang ditulis dalam bahasa Arab ini, Perjalananku Mengelilingi Dunia, memang terbit di Kairo, pada 1986, dalam bahasa Arab. Dan kini, dua dasawarsa setelah itu, kita menghadapi terjemahan karyanya dalam bahasa Indonesia. Perjalananku Mengelilingi Dunia diluncurkan pekan lalu. Saat itu Nawal el Saadawi menghadiri dan menjadi pembicara utama dalam Women Playwrights International Conference, di Jakarta.

Buku ini kian melengkapi buku-buku Nawal sebelumnya. Antara lain, Perempuan di Titik Nol, Memoar Seorang Dokter Perempuan, Matinya Seorang Mantan Menteri, Catatan dari Penjara Perempuan, Tak Ada Kebahagiaan Baginya, dan Jatuhnya Sang Imam. Nawal masih setia pada ide cerita yang bersumber dari kisah nyata yang dijumpai atau dialaminya sendiri. Bedanya, buku ini termasuk dalam genre sastra perjalanan, seperti halnya Bill Bryson yang menulis Neither Here Nor There, African Diary, dan Notes from a Small Island. Perbedaannya dengan Bryson: Nawal menulis tentang manusia, bukan panorama alam.

Perjalanannya ke India mengambil porsi cerita paling banyak dalam Perjalananku Mengelilingi Dunia (hlm. 151-230). Ia mengambil posisi sebagai orang luar yang tersengat melihat fenomena di hadapannya. Sementara ribuan orang mati kelaparan, sejumlah besar makanan disumbangkan ke kuil-kuil agama. Ia menjumpai banyak perempuan membanting tulang menghidupi keluarganya dan menyenangkan suaminya, tapi tak punya daya kuasa. Baginya, ini sebuah lompatan mundur terhadap sistem matriarkal yang dulu mendominasi India.

Buku ini mengajak pembaca memahami perjalanan hati seorang Nawal el Saadawi. Dari buku inilah kita bisa memahami sepenuhnya pemihakan Nawal terhadap tokoh utama novelnya, Perempuan di Titik Nol. Empati untuk Firdaus, gadis yang memilih menjadi pelacur kelas atas yang merdeka.

Istiqomatul Hayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus