Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sinar merah vertikal itu melesat bersama sepasang garis luarnya yang bergetar. Bentuknya menjadi seperti senjata berliuk, gabungan antara sebilah pisau dan keris. Mereka menerobos bidang lapang berwarna kuning, merah, dan kecokelatan. Tabrakan warna itu membuat ujung garis menjadi mata anak panah runcing dan memunculkan warna hitam, seakan-akan membuat hangus di sekelilingnya. Lukisan Alif Menuju Langit itu mengesankan sebuah sinar yang perkasa.
Alif dalam deretan aksara bahasa Arab berada di awal. Bentuk penulisannya tak kaku sebagai garis lurus vertikal, tapi agak luwes dengan liukan tipis di bagian atas atau bawahnya. Bagi pelukisnya, Abdul Djalil Pirous, huruf alif dipakainya sebagai simbol nama Allah. Pada karya lain di kanvas yang tegas dibagi dua bidang oleh garis datar, ia memuja asma Tuhan dengan ejaan Arab lengkap beraneka warna, kontras dengan bidang bawahnya yang hanya berwarna hitam, cokelat, atau putih.
Merayakan milad A.D. Pirous, yang kini berusia 80 tahun, sejumlah alumnus serta dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung membuat acara khusus. Mereka menggelar pameran tunggal bertajuk "Ja’u Timu: Mengarahlah ke Timur" di dua galeri sejak 11 Maret hingga 8 April 2012. Seluruh ruang pamer di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, diborong untuk menampung 169 karya Pirous, mulai lukisan hingga esai, tesis, bahan kuliah, dan kliping koran. Sebanyak 40 karya seni grafis dari seniman kelahiran Meulaboh, Aceh, pada 11 Maret 1932 itu dipamerkan terpisah di Galeri Soemardja ITB, mulai Selasa pekan lalu hingga 8 April mendatang. Panitia pun mengadakan diskusi dan seminar untuk menunjukkan kiprah sang seniman di dunia seni dan pendidikan seni rupa Indonesia.
Lukisan abstrak mengawali gaya kariernya pada 1959-1965. Gaya itu, kata Pirous, mengagetkannya saat ada pameran lukisan Nasar, Affandi, dan lain-lain ketika ia masih di sekolah menengah atas di Medan. "Kok, bentuknya enggak keruan seperti itu?" katanya. Kemudian ia memutuskan menjadi mahasiswa Seni Rupa ITB pada 1955. Sempat terseret situasi politik dan menjadi pendukung Manifes Kebudayaan, ia kemudian memilih menyelesaikan skripsinya yang berjudul "Seni Pariwara Sebagai Alat Propaganda Perdjoangan" pada 1964. "Jadi seniman atau guru gambar? Saya pilih jadi guru, tapi mau melukis juga," katanya.
Pada era itu, Pirous melukis abstrak, seperti Mentari Setelah September 1965 dan Pesta, yang dibuat pada 1968. Pesta menampilkan keriuhan warna dengan sapuan garis panjang dan pendek berbentuk persegi, lonjong, dan segitiga kecil-kecil. Gambar seraut wajah tampak samping muncul di kiri atas lukisan cat minyak itu. Sedangkan Liukan Tanaman Air buatan 1974 menampilkan batang duri berwarna hitam yang meliuk-liuk di antara latar warna kuning.
Setelah tragedi gempa dan tsunami Aceh 2004, Pirous berkisah tentang tanah kelahirannya itu dengan lukisan abstrak disertai tempelan pecahan tembikar. Pada karya buatan 2008-2009 tersebut, pecahan keramik yang ukuran dan bentuknya tak rata ia susun berbaris memanjang ke samping atau ke bawah. Pada karya berjudul Relik Tembikar, Aceh Darussalam I (Malam), misalnya, deret horizontal serpihan tembikar di bagian atas sepertiga kanvas itu seperti atap-atap rumah yang sunyi. Sebab, dua pertiga bidang di bawahnya kosong, hanya terisi warna biru tua dan hitam.
Di ITB, Pirous berhadapan dengan persoalan identitas dan nilai seni universal. Dia dididik dalam tradisi seni Barat oleh beberapa dosen asal Belanda, tapi ternyata karya seniman Indonesia tak diakui oleh mereka. Kenyataan pahit itu dijumpainya ketika Pirous dikirim ITB sehubungan dengan pembukaan jurusan baru desain grafis. Dia pergi ke Institut Teknologi Rochester, New York, Amerika Serikat, selama dua tahun (1969-1971). Sambil melihat dan mencatat program desain di sana, Pirous juga menimba ilmu seni grafis dan menyambangi sejumlah museum. "Saya terguncang. Di sana tidak ada karya seniman kontemporer Indonesia. Ke mana Affandi dan Mochtar Apin?" katanya.
Rasa galaunya pupus ketika menyaksikan pameran seni Islam di Metropolitan Museum of Art pada 1970. Suami pelukis Erna Garnasih itu merasa terlempar ke kampung halamannya. Seni bercorak Islam dengan hiasan dan rangkaian huruf Arab seperti itu jamak terlihat di masjid hingga makam di Aceh. Terngiang lagi wasiat ayahnya agar ia perlu ja’u timu, melihat ke Timur. Pulang ke Indonesia, Pirous menggali budaya Aceh dan Islam di kampungnya. Pada 1972, ia menggelar pameran lukisan kaligrafi pertama di Indonesia.
Menurut Pirous, ia mengembangkan bentuk penulisan sendiri berdasarkan teknik dan bahan yang dipakai. Ia melukis tanpa pena, seperti lazimnya kaligrafer Indonesia saat itu. Torehan huruf demi hurufnya langsung dari pisau palet berbahan cat minyak, akrilik, atau pasta pualam yang menebalkan tekstur obyek pada kanvas. Karya pelopor itu tak pelak menimbulkan kontroversi dari kalangan seniman hingga ulama. Pirous menangkis sejumlah tudingan dengan bantahan ia sedang tidak berdakwah, tapi membuat catatan spiritualnya.
Salah satu lukisan kaligrafinya, Tulisan Putih, dinobatkan sebagai karya terbaik dalam Biennale Indonesia perdana pada 1974. Dalam perjalanannya, menurut Kenneth M. George dalam buku Melukis Islam, yang diluncurkan pada saat seminar seni rupa dan kebudayaan di Aula Barat ITB, Selasa pekan lalu, kesulitan membaca ayat Al-Quran pada lukisan Pirous menjadi dilema. Ia lalu mengubah kaligrafi yang dibuatnya dengan ekspresif menjadi mudah dibaca seperti dalam Kitab Suci agar berguna buat orang lain.
Kurator pameran ini, Aminudin T.H. Siregar, mengatakan ada dua ciri khas kaligrafi Pirous. Pertama, bentuk kaligrafi yang dibuat sengaja tidak terbaca karena Pirous ingin membangun kesan kuno. Gagasan itu dipungutnya dari tulisan-tulisan Arab dan kaligrafi pada nisan di Aceh yang lapuk atau rusak sehingga tak jelas bacaannya. Adapun kaligrafi yang terbaca biasanya pada kutipan ayat, surat pendek Al-Quran, dan hadis.
Ciri khas kedua ada pada pemakaian bahan. Menurut Aminudin, Pirous membuat kaligrafinya tak rata dengan kanvas. Ia menebalkan tekstur obyek dengan pasta pualam, campuran serbuk marmer dan pasta yang bisa menempel di kanvas ketika kering. Gaya ini, ujar Aminudin, dikembangkan Pirous setelah belajar seni grafis dengan teknik etsa viscosity. Selain bisa bermain aneka warna, hasil karya di kanvas jadi punya kedalaman.
Menurut Pirous, ia tidak sekadar mengandalkan estetika, tapi juga mengutamakan pesan sekaligus menanggapi masalah yang terjadi, mulai pertikaian warga dan tentara di Aceh hingga perilaku pejabat pada rezim Soeharto yang seakan-akan abadi berkuasa. Pada beberapa karya bertahun 2011, rasa muak Pirous terhadap kondisi sosial dan politik negerinya paling kini dibuat lebih benderang tanpa memakai ayat suci.
Di lukisan Etika Gonjang-ganjing antara Penguasa dengan Penguasa, misalnya, tertuang pantun berhuruf kapital yang berbunyi: "ada oebi ada talas, ada boedi ada balas". Di sekelilingnya bertebaran kata seperti "mafia", "hakim", "korupsi", "pajak", dan "kuasa". Sedangkan pada karya Siapa Takut?, dia memakai peribahasa "sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya". Menurut Pirous, masalah bangsa yang terjadi saat ini akibat orang terlalu menoleh pada nilai dan budaya Barat. Sebelum benar-benar luntur dan menjauh, ia mengajak siapa saja melihat serta menggali nilai ketimuran.
Anwar Siswadi
Al-Ikhlas dalam Grafis
Selain bergelut dengan cat dan kuas, A.D. Pirous membuat karya seni grafis sepanjang 1956-1996. Sebanyak 40 karya grafisnya kini tengah dipamerkan di Galeri Soemardja ITB. Tekniknya memakai etsa viscosity, linocut, dan cetak saring atau sablon. Karya grafis pertama dan satu-satunya dengan teknik viscosity adalah kaligrafi surat Al-Ikhlas. Teknik viscosity adalah teknik cetak yang memungkinkan seniman mencetak beberapa warna dengan hanya satu lempeng tembaga. Proses pembuatan ini hanya bisa dilakukannya di Amerika Serikat, ketika ia mempelajari seni desain grafis di Institut Teknologi Rochester, New York.
Teknik viscosity memberi kedalaman ruang pada gambar. Efek pelat tembaga itu, di antaranya, menghasilkan relief, kesan karat, dan bongkahan pada kertas gambar. Teknik itu tergolong sulit karena mengandalkan perbedaan kekenyalan karet roll dengan beragam warna pada satu pelat. Teknik itu juga sulit berkembang di Indonesia karena ketiadaan bahan dan alat.
Adapun karya grafis dengan teknik linocut, ragam cukil kayu dengan memakai bahan linoleum, dibuat Pirous ketika ia kuliah di ITB. Karyanya dengan teknik ini berukuran kecil, kira-kira seukuran kertas folio, karena harus menghemat bahan. Karyanya menampilkan obyek keseharian dan khayalan. Dua Kucing, misalnya, menampilkan sepasang kucing yang sedang bermalas-malasan. Di sekitarnya ada sisa tulang ikan dan ikan yang masih utuh. Berlatar warna merah, kedua kucing itu seperti bakal berperang memperebutkan sisa makanan.
Pada 1971, Pirous bersama teman-temannya, seperti Ahmad Sadali, Srihadi, Mochtar Apin, Rita Widagdo, Kaboel Suadi, dan Sananto Yuliman, berpameran di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mereka menamakan diri Grup 18. Saat itu mereka menerbitkan album kompilasi 18 karya cetak saring. Teknik itu dibawa Mochtar Apin sepulang dari Eropa. Sebagian seniman, seperti Pirous, Mochtar Apin, Kaboel Suadi, Haryadi Suadi, dan T. Sutanto, kemudian menggelar pameran seni grafis di tiga kota: Bandung, Jakarta, dan Surabaya.
Pirous bersama G. Sidharta Soegijo, Adriaan Palar, Sunaryo, T. Sutanto, Prijanto S., dan Machmud Buchari kemudian mendirikan kelompok Design Center Association (Decenta) pada 1973. Menurut Aminudin, saat itu Pirous sedang memasuki masa kedua pengembangan teknik seni grafisnya, yaitu cetak saring atau sablon. Kelompok itu melihat potensinya secara teknis, dengan bahan yang lebih mudah didapat, serta sangat berpeluang diapresiasi masyarakat luas.
Tantangan beratnya kala itu adalah karya grafis masih belum dianggap sebagai seni di Indonesia. Para seniman lain, misalnya, membandingkannya dengan lukisan, yang hanya bisa dibuat sekali, sedangkan karya grafis dicap sebagai barang kodian. Sebab, walaupun tetap asli, karya itu bisa digandakan berkali-kali.
Walau begitu, Pirous hingga 1974 tetap bereksperimen dan berhasil menyempurnakan karya sablon, yang biasanya berwarna hitam-putih, menjadi 12 warna. Uniknya, bingkai saring yang dia pakai hanya satu, bukan selusin. "Habis pakai, cuci, lalu pakai lagi," ujarnya.
Anwar Siswadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo