Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Pengarang ronggeng dari pesantren

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH kediaman Ahmad Tohari (rumah mertuanya) berada di jalur jalan Wangon-Jatilawang, di Desa Tinggarjaya Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sederhana saja. Ruang tamu dihiasi potret Bung Hatta berukuran besar, ditambah lukisan kaligrafi huruf Arab. Di samping rumah terdapat sebuah langgar. Patut diketahui: pengarang novel tentang ronggeng ini seorang pengasuh sebuah pesantren kecil, Pondok Alfalah namanya, terletak di kompleks kediaman mertuanya. Tohari, 33 tahun, anak keempat dari 12 bersaudara, orangnya lugu. Menikah 1970, ia dikaruniai lima anak. Kesibukannya sehari-hari: selain di pesantren dan menulis, juga bertani dan memelihara ikan di kolam. Tentu, ia amat dekat dengan warga desa. Siapa pun mengenal Tohari, meski tidak semua tahu dialah penulis Ronggeng itu. Ia alumnus SMA Negeri II Purwokerto. Pernah jadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Ibnu Chaldun, Jakarta, dan jebol setelah tiga tahun -- tak jelas di tingkat berapa. Pernah bekerja di BNI 1946 di Jakarta dan sempat mengelola majalah perbankan. Tidak puas. Pernah pula tercatat sebagai redaktur harian Merdeka, Jakarta. Lalu mengundurkan diri. Pernah mendapat penghargaan dari Radio Nederland dalam sayembara Kincir Emas 1974, juga tahun sebelumnya dari Dewan Kesenian Jakarta untuk penulisan roman. Sedang novelnya Kubah dinyatakan sebagai terbaik untuk 1980 oleh Yayasan Buku Utama. Toh menurut Suparno dari TEMPO, yang menemuinya, 'ciri desa' nampak amat kuat dalam dirinya. Tidak berarti ia bukan intelektual, bahkan dari jenis yang 'hangat'. Ia bicara terus terang: Bagaimana konsep kepengarangan Anda? Saya berpegang teguh pada 'kejujuran'. Saya berusaha mengakui dari mana saya berangkat. Saat ini, hanya sedikit pengarang yang ingin membentuk pribadi yang mandiri. Banyak pemula yang hanya cenderung menciptakan buku atau tulisan yang laris. Tokoh dan seting dalam kedua novel Anda muncul sangat akrab. Ya, memang tokoh-tokoh itu amat sangat dekat. Tapi untuk menulis saya masih banyak bertanya. Misalnya tentang mantra-mantra yang diucapkan. Saya mengumpulkan bahan-bahan dari para orag tua. Soalnya, saya amat miskin studi kepustakaan. Secara keseluruhan novel Ronggeng lebih memikat dibanding novel Kubah. Apakah itu berarti secara sadar Anda telah meningkatkan kualitas? Memang, saya mendapat kepuasan dari novel Ronggeng. Karena saya merasa benar-benar mewakili masyarakat dari mana saya berasal, yang masih terbelakang. Adakah pada Anda "tema besar" yang segera diolah? Secara jujur, memang ada. Tapi saya menjadi ragu. Dalam Kubah terdapat beberapa hal yang disembunyikan, termasuk nama tokoh Sekarmaji. (Kartosuwirjo, tokoh DI di Ja-Bar). Ternyata penerbit Pustaka Jaya tidak berani menurunkannya. Sehingga saya bertanya pada diri sendiri, untuk apa menulis "tema berat" tapi tak ada yang mau menerbitkan. Meski demikian saya berusaha. Berapa besar imbalan yang pernah Anda terima? Tidak banyak. Dari imbalan itu saya membuat langgar. Ada minat menjadi pengarang profesional? Ya. Saat ini 'kan saya masih di tengah jalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus