RUMAH kediaman Ahmad Tohari (rumah mertuanya) berada di jalur
jalan Wangon-Jatilawang, di Desa Tinggarjaya Kabupaten Banyumas,
Jawa Tengah. Sederhana saja. Ruang tamu dihiasi potret Bung
Hatta berukuran besar, ditambah lukisan kaligrafi huruf Arab. Di
samping rumah terdapat sebuah langgar. Patut diketahui:
pengarang novel tentang ronggeng ini seorang pengasuh sebuah
pesantren kecil, Pondok Alfalah namanya, terletak di kompleks
kediaman mertuanya.
Tohari, 33 tahun, anak keempat dari 12 bersaudara, orangnya
lugu. Menikah 1970, ia dikaruniai lima anak. Kesibukannya
sehari-hari: selain di pesantren dan menulis, juga bertani dan
memelihara ikan di kolam. Tentu, ia amat dekat dengan warga
desa. Siapa pun mengenal Tohari, meski tidak semua tahu dialah
penulis Ronggeng itu.
Ia alumnus SMA Negeri II Purwokerto. Pernah jadi mahasiswa
Fakultas Kedokteran Ibnu Chaldun, Jakarta, dan jebol setelah
tiga tahun -- tak jelas di tingkat berapa. Pernah bekerja di BNI
1946 di Jakarta dan sempat mengelola majalah perbankan. Tidak
puas. Pernah pula tercatat sebagai redaktur harian Merdeka,
Jakarta. Lalu mengundurkan diri. Pernah mendapat penghargaan
dari Radio Nederland dalam sayembara Kincir Emas 1974, juga
tahun sebelumnya dari Dewan Kesenian Jakarta untuk penulisan
roman. Sedang novelnya Kubah dinyatakan sebagai terbaik untuk
1980 oleh Yayasan Buku Utama.
Toh menurut Suparno dari TEMPO, yang menemuinya, 'ciri desa'
nampak amat kuat dalam dirinya. Tidak berarti ia bukan
intelektual, bahkan dari jenis yang 'hangat'. Ia bicara terus
terang:
Bagaimana konsep kepengarangan Anda?
Saya berpegang teguh pada 'kejujuran'. Saya berusaha mengakui
dari mana saya berangkat. Saat ini, hanya sedikit pengarang yang
ingin membentuk pribadi yang mandiri. Banyak pemula yang hanya
cenderung menciptakan buku atau tulisan yang laris.
Tokoh dan seting dalam kedua novel Anda muncul sangat akrab.
Ya, memang tokoh-tokoh itu amat sangat dekat. Tapi untuk menulis
saya masih banyak bertanya. Misalnya tentang mantra-mantra yang
diucapkan. Saya mengumpulkan bahan-bahan dari para orag tua.
Soalnya, saya amat miskin studi kepustakaan.
Secara keseluruhan novel Ronggeng lebih memikat dibanding novel
Kubah. Apakah itu berarti secara sadar Anda telah meningkatkan
kualitas? Memang, saya mendapat kepuasan dari novel Ronggeng.
Karena saya merasa benar-benar mewakili masyarakat dari mana
saya berasal, yang masih terbelakang.
Adakah pada Anda "tema besar" yang segera diolah?
Secara jujur, memang ada. Tapi saya menjadi ragu. Dalam Kubah
terdapat beberapa hal yang disembunyikan, termasuk nama tokoh
Sekarmaji. (Kartosuwirjo, tokoh DI di Ja-Bar). Ternyata
penerbit Pustaka Jaya tidak berani menurunkannya. Sehingga saya
bertanya pada diri sendiri, untuk apa menulis "tema berat" tapi
tak ada yang mau menerbitkan. Meski demikian saya berusaha.
Berapa besar imbalan yang pernah Anda terima?
Tidak banyak. Dari imbalan itu saya membuat langgar.
Ada minat menjadi pengarang profesional?
Ya. Saat ini 'kan saya masih di tengah jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini