TIMSAR Zubil bagaikan lepas dari lubang maut. Tokoh gerakan apa yang dulu pernah disebut "Komando Jihad", dan disebut-sebut pula menjabat "Asisten I Komando Wilayah Pertempuran Sumatera" itu, awal bulan ini mendapat "anugerah" dari Mahkamah Agung. Vonis matinya dalam perkara subversi, yang sudah mendapat kekuatan pasti bahkan grasinya pun sudah ditolak -- ternyata diubah peradilan tertinggi menjadi penjara seumur hidup, dalam sebuah putusan peninjauan kembali (herziening). Inilah vonis mati pertama dalam perkara subversi yang "dianulir" Mahkamah Agung dan merupakan herziening kedua yang diterima setelah kasus Sengkon dan Karta. Majelis Hakim Agung, yang diketuai Hakim Agung Piola Isa, seperti juga Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang diketuai Koeswandi, 1980, sependapat bahwa Timsar terbukti melakukan tindak pidana subversi. Tapi vonis mati itu, kata majelis hakim agung, terlalu berat. "Dalam vonis itu disebutkan beberapa unsur yang meringankan terhukum, tapi pada vonis dijatuhkan hukuman yang terberat," begitu bunyi putusan Mahkamah Agung. Sebab itu, Mahkamah Agung membatalkan vonis mati dari Hakim Koeswandi. Timsar, kini 36 tahun, yang selama ini hanya tinggal menunggu eksekusi hukuman mati di depan regu tembak, tentu saja tidak bisa menahan sukacitanya ketika diberi tahu nasib baiknya itu oleh pengacaranya, Syaiful Jalil Hasibuan dan Faisal Oloan Nasution, pekan lalu. "Saya bahagia mendapat putusan Mahkamah Agung itu. Hanya terima kasih yang bisa saya ucapkan," kata Timsar Zubil, seraya memeluk erat kedua pengacaranya. Ayah dua anak -- satu didapatnya selama ia di tahanan -- itu memang pantas bersujud syukur. Enam tahun lalu, Majelis Koeswandi berkeyakinan kuat bahwa Timsar melakukan serangkaian tindakan jahat selaku pimpinan Komando Wilayah Pertempuran I di Sumatera, atau yang lebih dikenal dengan "Komando Jihad". Dalam gerakan itu, kata hakim, Timsar bertanggung jawab atas peledakan Masjid Nurul Iman di Padang, Rumah Sakit Imannuel di Bukittinggi Gereja Metodist, Bioskop Riang, dan Motei Apollo di Medan. Selain itu Timsar, bekas penerjun, dianggap hakim ikut pula mendalangi penggranatan acara MTQ di Pematangsiantar dan pembunuhan terhadap seorang sopir taksi di kota itu. "Semuanya itu dilakukan Timsar dalam rangka mendirikan Negara Islam di Indonesia," kata Majelis Koeswandi. Sebab itu, majelis memvonis Timsar dengan hukuman mati -- melebihi tuntutan jaksa yang hanya meminta hukuman penjara seumur hidup. Vonis itu dianggap Timsar emosional. "Wajah hakim waktu itu merah padam. Dan, sambil menggulung toganya, ia memerintahkan saya duduk," ujar Timsar di sidang herziening di Pengadilan Negeri Medan, tahun lalu. Konon, saking emosinya sampai hakim tidak sempat memberi tahu hak Timsar untuk banding. Barulah, setelah melewati jangka waktu banding -- 7 hari Timsar dipanggil Koeswandi dan diingatkan haknya -- tentu saja sudah percuma. Pada sidang waktu itu, memang, bukan hanya hakim yang emosional. Ketika hakim mengetukkan palunya, Timsar segera menantang, "Harap hukuman itu segera dilaksanakan di depan umum." Ia pun menolak untuk meminta grasi ke Presiden ketika pengacara membujuknya. Akibatnya 1981, grasi yang diajukan tim pengacara ditolak Presiden -- karena tidak ditandatangani Timsar sendiri. Belakangan ternyata sikap Timsar berubah. Apalagi, izin cuti pulang dari LP, ia mendapatkan tambahan anak dari istrinya Nur'aini, yang diberinya nama Laila Sari Dini. Ia konon menginsafi kesalahannya. Dan kebetulan pula seorang pengacara yang sama-sama menjalani hukuman dengan Timsar, Sahat Napitupulu, mengirim surat ke Mahkamah Agung agar meninjau kembali vonis mati Timsar. Permohonan Sahat itu ditolak oleh Mahkamah Agung. Tapi permohonan serupa dan Timsar, tim pembelanya, dan juga istrinya, akhirnya menggugah sikap peradilan tertinggi itu. Konon, bersamaan denan surat permohonan herziening itu, Timsar mengirimkan surat permintaan maaf ke Presiden Soeharto: "Andai kata herziening saya ditolak Mahkamah Agung dan saya harus menjalani eksekusi . . . tapi dengan kemaafan Bapak Presiden, insya Allah saya akan tenang menjalani kematian." Ternyata, ia tidak harus mati. Tahun lalu Pengadilan Negeri Medan diperintahkan Mahkamah Agung memproses herzieningnya. Setelah beberapa kali diadakan pemeriksaan lagi -- merupakan proses baru, karena Sengkon dan Karta langsung diputus Mahkamah Agung -- Hakim Siti Nurmala berkeyakinan Hakim Koeswandi -- yang kini sudah dipindahkan dari Medan melakukan kekhilafan. Sebab, menurut Nurmala, Koeswandi telah mempertentangkan hal-hal yang meringankan dengan hukuman maksimal. Kesimpulan Nurmala itulah yang belakangan diambil alih oleh Majelis Hakim Agung Piola Isa. "Sebab, kalau seseorang dijatuhi hukuman maksimal, berarti tidak ada lagi hal-hal yang dianggap meringankan dari pihak terpidana itu," kata Ketua Muda Mahkamah Agung Adi Andojo Sutjipto. Padahal, vonis Koeswandi menyebutkan bahwa umur Timsar yang masih muda, dan belum pernah dihukum, sebagai hal yang meringankan. "Tepatnya, vonis baru itu berdasarkan keadilan hakim," kata Adi Andojo. Hakim Agung itu juga tidak menganggap aneh bila sebuah vonis hakim yang sudah ditolak grasinya masih bisa diupayakan lagi. "Tidak ada larangan yang menentukan kalau sudah minta grasi tidak bisa lagi mengajukan herziening," kata Adi Andojo. Kini, setelah 10 tahun menghuni LP Sukamulia Medan, Timsar, yang rajin salat dan yoga, menurut tim pengacaranya, akan memohon grasi baru ke Presiden -- kendati permohonan serupa, 1981, telah ditolak. " 'Kan grasi yang ditolak dulu itu dalam hal vonis mati. Dan sekarang grasinya untuk vonis seumur hidup," kata Pengacara Syaiful. Akankah Presiden menganugerahkan kepadanya keringanan kedua? Istri Timsar, yang selama bertahun-tahun rajin mencarikan upaya pengampunan bagi suaminya, optimistis. "Doakanlah, mudah-mudahan berhasil," kata Nur'aini, dengan mata berbinar-binar, menyambut putusan baik buat suaminya itu. Karni Ilyas, Laporan Bersihar Lubis (Medan) & Happy S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini