Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Bertani dalam gelap

Adang permana petani dari kampung pasirhonje, sukawening, ciwidey, menderita buta sejak 16 tahun lalu. tapi mampu memelihara tanaman, membimbing kelompok-kelompok tani & mendapat beberapa penghargaan.(tk)

27 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN hati-hati lelaki itu meraba-raba daun padi yang tampaknya kurang segar. Ia menduga tanamannya terserang penggerek, semacam kutu hama tanaman. Segera ia mengoleskan kapas yang sudah dibasahi diazinon, sejenis obat antihama, pada lubang-lubang tempat hama itu bersarang. Kalau ada tanaman yang terlalu parah dimakan hama, langsung ia potong agar tidak menularkan penyakit ke tanaman lain. Untuk menentukan dosis pupuk yang diperlukan, ia juga cukup dengan meraba daun-daun saja. Ia mampu memperkirakan ukuran yang pas untuk tanamannya. "Bila terlalu banyak nitrogen, daun-daunnya memang gemuk, tapi tiak segar. Bila kekurangan nitrogen, daun bisa segar, tetapi rapuh. Sebaliknya bila cukup NIK, daun jadi kurus tapi segar," kata petani setengah umur itu. Nitrogen dan NPK (nitrogen, phosphat, kalium) adalah unsur-unsur dalam ramuan obat antihama itu. Adang Permana, petani 56 tahun itu, bahkan berhasil menemukan obat pembasmi hama bereng, sejenis ulat daun. Yaitu ramuan antara daun kacang dan batang pohon tembakau, ditumbuk, airnya dicampur minyak kelapa--agar bisa melekat pada daun bila disemprotkan. Setelah diteliti di laboratorium Dinas Pertanian Jawa Barat, ternyata penemuan Adang tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Suatu hari, akhir Februari lalu, belasan kelinci milik penduduk dicuri orang. Beberapa ekor di antaranya milik Adang. Ketika dua hari kemudian pencurinya tertangkap, berikut kelinci-kelincinya, para pemiliknya dikumpulkan di balai desa. Ketika Adang mendapat kesempatan pertama mengambil kelinci miliknya, ia segera meraba-raba sekujur tubuh ternak-ternak tersebut. Akhirnya ia mengambil tiga ekor saja. "Ini semua milik saya. Kelinci saya memang tinggal tiga ekor," ujar Adang. Semua yang hadir keheran-heranan. "Saya sendiri, sebagai orang melek, tidak bisa membedakan mana milik sendiri mana milik orang lain," kata H.A. Nurdin Raksawijaya, Kepala Desa Sukawening. Adang Permana, petani dari Kampung Pasirhonje, Desa Sukawening, Kecamatan Ciwidey, 35 km di selatan Kota Bandung ini buta sejak 16 tahun lalu. Meski begitu ia mampu membedakan anak ayam ras jantan dan yang betina. Padahal anak ayam itu baru berusia sebulan. Seorang petugas Dinas Peternakan Kabupaten Bandung terpaksa geleng-geleng kepala. Caranya? Adang cukup meraba tunggir atau brutu-nya. "Pada pinggir ayam ada yang dinamakan capit ulang. Bila capit itu renggang berarti betina, bila capitnya rapat berarti jantan," kata Adang. Kebolehan Adang juga tampak ketika ia mengikuti kursus pertanian pada 1978 di Balai Penelitian Teh. Ia datang dengan alat-alat tulis huruf Braille. "Dan ternyata kemampuannya menangkap pelajaran lebih baik dibanding rata-rata peserta lain yang tidak buta," kata Ir. Sulaiman Pinatabrata, Kepala Bidang Teknik dan Pemasaran Teh Rakyat merangkap Sekretaris HKTI Jawa Barat. Jurang Pada Hari Krida Pertanian di Kuningan, 1979, Adang meraih juara kedua dalam lomba memotong kayu. Kayu sepanjang dua meter sebesar paha harus dipotong persis di tengah-tengahnya. Adang berhasil. "Caranya, cukup dengan dijengkal saja, tak perlu diukur dengan meteran, " kata Adang. Peserta lain, yang melek, justru menggunakan meteran. Meskipun Man Adang hidup di dunia gelap, ternyata ia sangat dibutuhkan penduduk Kampung Pasirhonje. Suatu hari, misalnya, ia menghilang dari rumahnya, sampai sore tak kunjung pulang. Penduduk ribut, beramai-ramai mereka mencari Adang ke sana ke mari. Menjelang magrib, mereka menemukan si buta telentang kedinginan di sebuah jurang di pinggir sungai. "Ketika itu saya mencari kayu bakar di hutan. Waktu akan pulang kesasar, dan jatuh ke jurang," tuturnya. Kemauan nya memang keras. Pada tahun-tahun pertama matanya tak bisa melihat, ia sudah bersikeras pergi ke sawah atau kebun sendirian, meskipun istrinya melarang. Setelah beberapa kali dikawal oleh seorang di antara ketiga anaknya, ia mampu menghafal jalan-jalan yang harus ia lalui. Dan selanjutnya kakek dari sepuluh cucu ini sudah sanggup pulang-pergi ke sawah atau kebun sendirian, memelihara 2,5 hektar tanah, di antaranya berupa sawah dan kebun teh. "Ditambah sedikit tanaman tembakau dan cengkih, sebulan tanah itu rata-rata menghasilkan Rp 50.000 bersih," ujar Adan. Ditambah pensiunnya sebagai guru, setiap bulan ia menerima tak kurang dari Rp 100 ribu. "Uang sebesar itu lebih dari cukup, sebab kalau ingin daging, cukup menyembelih kelinci atau domba, ingin ikan tinggal mengail, sedang beras tak pernah membeli," tambahnya dengan nada biasa. Petani bertubuh jangkung (tinggi 170 cm) ini memang bekas guru SD di desanya. Sekarang, walaupun ia tunanetra, Adang bahkan masih dipercayai menjadi Ketua RK yang sudah dijabatnya sejak 1958. Lebih dari itu, Adang Permana juga menjadi Ketua kelompen Sipedes (kelompok pendengar siaran pedesaan RRI Bandung, bernama Daya Mekar, yang dibentuk pada April 1972. Mula-mula Daya Mekar beranggotakan 60 petani. Karena anggotanya bertambah banyak, kelompok pendengar itu lantas dipecah menjadi empat kelompok kecil, masing-masing beranggota antara 15-20 orang: dewasa, pemuda, kelompok petani teh dan kelompok wanita yang disebut Sekar Arum. Adang memimpin diskusi di antara kelompok-kelompok itu mengenai bercocok-tanam, sekaligus mempraktekkannya di lapangan bersama-sama. Karena kemampuannya memberi penyuluhan, ia juga diangkat sebagai juru-penerang BP4 (Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian) di desanya. "Peranan Mang Adang besar sekali," kata Sabaruddin, 34 tahun, ketua Kelompen Sipedes Tunas Muda Pasirhonje. "Pengetahuan pertanian yang ia dengar dari radio atau ceramah penyuluhan ia salin dalam huruf Braille, kemudian ia praktekkan. Terus-terang kami belajar bertani dari Mang Adang," umbah Sabaruddin. Adang sering minu anaknya membacakan brosur-brosur pertanian dari RRI Bandung, kemudian disalinnya ke dalam huruf Braille. Menurut Sabaruddin, sebelum Adang memimpin kelompok-kelompok diskusi pertanian itu, Pasirhonje yang dihuni 42 umpi (kepala keluarga) itu merupakan kampung miskin. Dulu mata pencaharian penduduk umumnya hanya sebagai buruh tani atau mencari kayu bakar di hutan Kini mereka sudah mulai bertani, berkebun dan membangun beberapa sarana desa secara swadaya. Sawah-sawah mula-mula hanya menghasilkan dua ton, kini meningkat jadi tujuh ton/hektar. "Tanah itu dulu hampir gundul, sekarang sudah mulai hijau," kata Sabaruddin menunjuk sebuah bukit di sebelah barat kampung. Kelompok pendengar yang dipimpin Adang, hanya setahun setelah didirikan sudah meraih juara pertama dalam lomba antarkelompok yang diselenggarakan RRI Bandung. Dan selanjutnya, sampai 1977, setiap tahun meraih kejuaraan. Pada 1974 Adang Permana bahkan diminta memperagakan cara dia memanfaatkan pengetahuan yang ia dengar dari siaran pedesaan itu dalam pameran pembangunan di Jakarta. Ketika itu ia mendapat kesempatan memperdalam pengetahuannya ke Malaysia, tapi ia tak bisa berangkat karena ayahnya meninggal. Teks Pidato Pengetahuan bercocok-tanam sesungguhnya sudah ia pelajari sejak berusia 10 tahun, ketika ia harus membantu ayahnya yang miskin di ladang. "Sejak kecil saya memang bercita-cita jadi petani," katanya mengenang. Setamat SD di zaman Belanda -- dan kemudian ditolak masuk sekolah pertanian dan sekolah guru karena dianggap bukan keturunan orang berpangkat--Adang Permana masuk beberapa pesantren sampai 1940. Di zaman Jepang sempat bekerja di perkebunan teh di Pengalengan, di zaman perang kemerdekaan sempat pula angkat senjata. Setelah mengikuti beberapa ujian persamaan sekolah guru, 1965 diangkat sebagai guru SD di Kecamatan Ciwidey. Pada 1965, terjadilah musibah yang mengubah jalan hidupnya. Waktu itu, 16 Agustus 1965, ia mendapat kepercayaan kepala desa membacakan teks pidato peringatan proklamasi. Sampai pukul 2 dinihari ia mempelajari dan memperbaiki teks pidato itu. Tapi ketika ia bangun tidur pada subuh 17 Agustus 1965 itu, dunia sudah gelap. Dua bulan dirawat di rumah sakit mata Cicendo Bandung, untung, ia bisa melihat kembali. Dua tahun kemudian mata itu kembali tidak berfungsi, "gara-gara saya sering membaca sambil tiduran." Waktu itu Adang lagi getol-getolnya belajar menghadapi ujian KGA (kursus guru tingkat atas) untuk mendapatkan ijazah setingkat SGA. Ia dirawat lagi di Cicendo selama sebulan dan matanya bisa kembali melek. Tapi suatu ketika untung tak bisa digenggam malang tak bisa ditampik, tiba-tiba mukanya ditampar pintu. Bekas jahitan pada kedua belah matanya putus, darah bercucuran dan dunia pun kembali gelap. Sejak itu, mula-mula ia pasrah. Tapi lama-kelamaan putus asa. "Ketika itu saya malah berdoa mudah-mudahan Tuhan segera mencabut nyawa saya," tuturnya. Untunglah, pada suatu hari di tahun 1969, secara kebetulan ia mendengar siaran pedesaan RRI Bandung, menceritakan cara-cara bertani. Sejak itu ia tak pernah absen mendengarkan obrolan Mang Baruno, pengasuh acara tersebut. Secara Kebetulan Pada 24 Seprcmber tahun itu juga, untuk pertama kali ia pergi ke kebun dengan dikawal anaknya. Ia mencoba mencangkul, membabat rumput dan mengambil kayu bakar. "Sejak itu harapan untuk hidup secara wajar timbul kembali. Saya pasrah kepada Tuhan, mohon jalan keluar dari musibah ini, katanya. Ia pun lantas lebih rajin sembahyang. Tahun berikutnya ia masuk Wiyaa Guna, sebuah lembaga pendidikan khusus buat kaum tunanetra di Bandung. Di sanalah ia belajar membaca dan menulis huruf Braille, hanya dalam waktu tujuh hari. Padahal peserta lainnya memerlukan waktu sekitar tiga bulan. Direktur Wiyata Guna, J. Malik, menawarkan kemungkinan belajar ke Nederland. Tapi Adang tak bersedia. "Saya belajar Braille ini kan hanya untuk memperdalam ilmu pertanian," katanya. Mengenai sukses-sukses yang diraihnya, Adang Permana cukup berendah hati. "Setiap orang sebenarnya punya kekuatan untuk maju dan berkembang. Hanya kadang-kadang orang lupa akan kekuatannya itu," katanya. "Saya sendiri hanya secara kebetulan disadarkan oleh penderitaan fisik. Coba kala,u doa saya dulu agar cepat mati dikabulkan Tuhan, bagaimana? Tuhan ternyata sangat bijaksana dan punya rencana lain," katanya. Kini Adang justru merasa lebih dapat menikmati hidup. Katanya: "Sekarang saya tidak tergiur oleh tv berwarna, kendaraan bermotor dan wanita cantik. Ketika masih bisa melihat, saya malah sering gelisah --ingin mendapatkan semua apa yang dilihat."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus