DENGAN hati-hati lelaki itu meraba-raba daun padi yang tampaknya
kurang segar. Ia menduga tanamannya terserang penggerek, semacam
kutu hama tanaman. Segera ia mengoleskan kapas yang sudah
dibasahi diazinon, sejenis obat antihama, pada lubang-lubang
tempat hama itu bersarang. Kalau ada tanaman yang terlalu parah
dimakan hama, langsung ia potong agar tidak menularkan penyakit
ke tanaman lain.
Untuk menentukan dosis pupuk yang diperlukan, ia juga cukup
dengan meraba daun-daun saja. Ia mampu memperkirakan ukuran yang
pas untuk tanamannya. "Bila terlalu banyak nitrogen,
daun-daunnya memang gemuk, tapi tiak segar. Bila kekurangan
nitrogen, daun bisa segar, tetapi rapuh. Sebaliknya bila cukup
NIK, daun jadi kurus tapi segar," kata petani setengah umur
itu. Nitrogen dan NPK (nitrogen, phosphat, kalium) adalah
unsur-unsur dalam ramuan obat antihama itu.
Adang Permana, petani 56 tahun itu, bahkan berhasil menemukan
obat pembasmi hama bereng, sejenis ulat daun. Yaitu ramuan
antara daun kacang dan batang pohon tembakau, ditumbuk, airnya
dicampur minyak kelapa--agar bisa melekat pada daun bila
disemprotkan. Setelah diteliti di laboratorium Dinas Pertanian
Jawa Barat, ternyata penemuan Adang tersebut dapat
dipertanggungjawabkan.
Suatu hari, akhir Februari lalu, belasan kelinci milik penduduk
dicuri orang. Beberapa ekor di antaranya milik Adang. Ketika dua
hari kemudian pencurinya tertangkap, berikut kelinci-kelincinya,
para pemiliknya dikumpulkan di balai desa. Ketika Adang mendapat
kesempatan pertama mengambil kelinci miliknya, ia segera
meraba-raba sekujur tubuh ternak-ternak tersebut. Akhirnya ia
mengambil tiga ekor saja.
"Ini semua milik saya. Kelinci saya memang tinggal tiga ekor,"
ujar Adang. Semua yang hadir keheran-heranan. "Saya sendiri,
sebagai orang melek, tidak bisa membedakan mana milik sendiri
mana milik orang lain," kata H.A. Nurdin Raksawijaya, Kepala
Desa Sukawening.
Adang Permana, petani dari Kampung Pasirhonje, Desa Sukawening,
Kecamatan Ciwidey, 35 km di selatan Kota Bandung ini buta sejak
16 tahun lalu.
Meski begitu ia mampu membedakan anak ayam ras jantan dan yang
betina. Padahal anak ayam itu baru berusia sebulan. Seorang
petugas Dinas Peternakan Kabupaten Bandung terpaksa
geleng-geleng kepala. Caranya? Adang cukup meraba tunggir atau
brutu-nya. "Pada pinggir ayam ada yang dinamakan capit ulang.
Bila capit itu renggang berarti betina, bila capitnya rapat
berarti jantan," kata Adang.
Kebolehan Adang juga tampak ketika ia mengikuti kursus pertanian
pada 1978 di Balai Penelitian Teh. Ia datang dengan alat-alat
tulis huruf Braille. "Dan ternyata kemampuannya menangkap
pelajaran lebih baik dibanding rata-rata peserta lain yang tidak
buta," kata Ir. Sulaiman Pinatabrata, Kepala Bidang Teknik dan
Pemasaran Teh Rakyat merangkap Sekretaris HKTI Jawa Barat.
Jurang
Pada Hari Krida Pertanian di Kuningan, 1979, Adang meraih juara
kedua dalam lomba memotong kayu. Kayu sepanjang dua meter
sebesar paha harus dipotong persis di tengah-tengahnya. Adang
berhasil. "Caranya, cukup dengan dijengkal saja, tak perlu
diukur dengan meteran, " kata Adang. Peserta lain, yang melek,
justru menggunakan meteran.
Meskipun Man Adang hidup di dunia gelap, ternyata ia sangat
dibutuhkan penduduk Kampung Pasirhonje. Suatu hari, misalnya, ia
menghilang dari rumahnya, sampai sore tak kunjung pulang.
Penduduk ribut, beramai-ramai mereka mencari Adang ke sana ke
mari. Menjelang magrib, mereka menemukan si buta telentang
kedinginan di sebuah jurang di pinggir sungai. "Ketika itu saya
mencari kayu bakar di hutan. Waktu akan pulang kesasar, dan
jatuh ke jurang," tuturnya.
Kemauan nya memang keras. Pada tahun-tahun pertama matanya tak
bisa melihat, ia sudah bersikeras pergi ke sawah atau kebun
sendirian, meskipun istrinya melarang. Setelah beberapa kali
dikawal oleh seorang di antara ketiga anaknya, ia mampu
menghafal jalan-jalan yang harus ia lalui. Dan selanjutnya kakek
dari sepuluh cucu ini sudah sanggup pulang-pergi ke sawah atau
kebun sendirian, memelihara 2,5 hektar tanah, di antaranya
berupa sawah dan kebun teh.
"Ditambah sedikit tanaman tembakau dan cengkih, sebulan tanah
itu rata-rata menghasilkan Rp 50.000 bersih," ujar Adan.
Ditambah pensiunnya sebagai guru, setiap bulan ia menerima tak
kurang dari Rp 100 ribu. "Uang sebesar itu lebih dari cukup,
sebab kalau ingin daging, cukup menyembelih kelinci atau domba,
ingin ikan tinggal mengail, sedang beras tak pernah membeli,"
tambahnya dengan nada biasa.
Petani bertubuh jangkung (tinggi 170 cm) ini memang bekas guru
SD di desanya. Sekarang, walaupun ia tunanetra, Adang bahkan
masih dipercayai menjadi Ketua RK yang sudah dijabatnya sejak
1958. Lebih dari itu, Adang Permana juga menjadi Ketua kelompen
Sipedes (kelompok pendengar siaran pedesaan RRI Bandung,
bernama Daya Mekar, yang dibentuk pada April 1972.
Mula-mula Daya Mekar beranggotakan 60 petani. Karena anggotanya
bertambah banyak, kelompok pendengar itu lantas dipecah menjadi
empat kelompok kecil, masing-masing beranggota antara 15-20
orang: dewasa, pemuda, kelompok petani teh dan kelompok wanita
yang disebut Sekar Arum. Adang memimpin diskusi di antara
kelompok-kelompok itu mengenai bercocok-tanam, sekaligus
mempraktekkannya di lapangan bersama-sama. Karena kemampuannya
memberi penyuluhan, ia juga diangkat sebagai juru-penerang BP4
(Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian) di
desanya.
"Peranan Mang Adang besar sekali," kata Sabaruddin, 34 tahun,
ketua Kelompen Sipedes Tunas Muda Pasirhonje. "Pengetahuan
pertanian yang ia dengar dari radio atau ceramah penyuluhan ia
salin dalam huruf Braille, kemudian ia praktekkan. Terus-terang
kami belajar bertani dari Mang Adang," umbah Sabaruddin. Adang
sering minu anaknya membacakan brosur-brosur pertanian dari RRI
Bandung, kemudian disalinnya ke dalam huruf Braille.
Menurut Sabaruddin, sebelum Adang memimpin kelompok-kelompok
diskusi pertanian itu, Pasirhonje yang dihuni 42 umpi (kepala
keluarga) itu merupakan kampung miskin. Dulu mata pencaharian
penduduk umumnya hanya sebagai buruh tani atau mencari kayu
bakar di hutan Kini mereka sudah mulai bertani, berkebun dan
membangun beberapa sarana desa secara swadaya. Sawah-sawah
mula-mula hanya menghasilkan dua ton, kini meningkat jadi tujuh
ton/hektar. "Tanah itu dulu hampir gundul, sekarang sudah mulai
hijau," kata Sabaruddin menunjuk sebuah bukit di sebelah barat
kampung.
Kelompok pendengar yang dipimpin Adang, hanya setahun setelah
didirikan sudah meraih juara pertama dalam lomba antarkelompok
yang diselenggarakan RRI Bandung. Dan selanjutnya, sampai 1977,
setiap tahun meraih kejuaraan. Pada 1974 Adang Permana bahkan
diminta memperagakan cara dia memanfaatkan pengetahuan yang ia
dengar dari siaran pedesaan itu dalam pameran pembangunan di
Jakarta. Ketika itu ia mendapat kesempatan memperdalam
pengetahuannya ke Malaysia, tapi ia tak bisa berangkat karena
ayahnya meninggal.
Teks Pidato
Pengetahuan bercocok-tanam sesungguhnya sudah ia pelajari sejak
berusia 10 tahun, ketika ia harus membantu ayahnya yang miskin
di ladang. "Sejak kecil saya memang bercita-cita jadi petani,"
katanya mengenang. Setamat SD di zaman Belanda -- dan kemudian
ditolak masuk sekolah pertanian dan sekolah guru karena dianggap
bukan keturunan orang berpangkat--Adang Permana masuk beberapa
pesantren sampai 1940.
Di zaman Jepang sempat bekerja di perkebunan teh di Pengalengan,
di zaman perang kemerdekaan sempat pula angkat senjata. Setelah
mengikuti beberapa ujian persamaan sekolah guru, 1965 diangkat
sebagai guru SD di Kecamatan Ciwidey.
Pada 1965, terjadilah musibah yang mengubah jalan hidupnya.
Waktu itu, 16 Agustus 1965, ia mendapat kepercayaan kepala desa
membacakan teks pidato peringatan proklamasi. Sampai pukul 2
dinihari ia mempelajari dan memperbaiki teks pidato itu. Tapi
ketika ia bangun tidur pada subuh 17 Agustus 1965 itu, dunia
sudah gelap. Dua bulan dirawat di rumah sakit mata Cicendo
Bandung, untung, ia bisa melihat kembali.
Dua tahun kemudian mata itu kembali tidak berfungsi, "gara-gara
saya sering membaca sambil tiduran." Waktu itu Adang lagi
getol-getolnya belajar menghadapi ujian KGA (kursus guru tingkat
atas) untuk mendapatkan ijazah setingkat SGA. Ia dirawat lagi di
Cicendo selama sebulan dan matanya bisa kembali melek. Tapi
suatu ketika untung tak bisa digenggam malang tak bisa ditampik,
tiba-tiba mukanya ditampar pintu. Bekas jahitan pada kedua
belah matanya putus, darah bercucuran dan dunia pun kembali
gelap.
Sejak itu, mula-mula ia pasrah. Tapi lama-kelamaan putus asa.
"Ketika itu saya malah berdoa mudah-mudahan Tuhan segera
mencabut nyawa saya," tuturnya. Untunglah, pada suatu hari di
tahun 1969, secara kebetulan ia mendengar siaran pedesaan RRI
Bandung, menceritakan cara-cara bertani. Sejak itu ia tak pernah
absen mendengarkan obrolan Mang Baruno, pengasuh acara tersebut.
Secara Kebetulan
Pada 24 Seprcmber tahun itu juga, untuk pertama kali ia pergi
ke kebun dengan dikawal anaknya. Ia mencoba mencangkul, membabat
rumput dan mengambil kayu bakar. "Sejak itu harapan untuk hidup
secara wajar timbul kembali. Saya pasrah kepada Tuhan, mohon
jalan keluar dari musibah ini, katanya. Ia pun lantas lebih
rajin sembahyang.
Tahun berikutnya ia masuk Wiyaa Guna, sebuah lembaga pendidikan
khusus buat kaum tunanetra di Bandung. Di sanalah ia belajar
membaca dan menulis huruf Braille, hanya dalam waktu tujuh
hari. Padahal peserta lainnya memerlukan waktu sekitar tiga
bulan. Direktur Wiyata Guna, J. Malik, menawarkan kemungkinan
belajar ke Nederland. Tapi Adang tak bersedia. "Saya belajar
Braille ini kan hanya untuk memperdalam ilmu pertanian,"
katanya.
Mengenai sukses-sukses yang diraihnya, Adang Permana cukup
berendah hati. "Setiap orang sebenarnya punya kekuatan untuk
maju dan berkembang. Hanya kadang-kadang orang lupa akan
kekuatannya itu," katanya. "Saya sendiri hanya secara kebetulan
disadarkan oleh penderitaan fisik. Coba kala,u doa saya dulu
agar cepat mati dikabulkan Tuhan, bagaimana? Tuhan ternyata
sangat bijaksana dan punya rencana lain," katanya.
Kini Adang justru merasa lebih dapat menikmati hidup. Katanya:
"Sekarang saya tidak tergiur oleh tv berwarna, kendaraan
bermotor dan wanita cantik. Ketika masih bisa melihat, saya
malah sering gelisah --ingin mendapatkan semua apa yang
dilihat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini